AKSORO KOLOJIWO
hujan. sebuah mobil pickup modifikasi tahun 90'an baru saja melintas sepanjang jalan, sopir tak henti-hentinya memandang jalanan berkelok, kiri kanan hanya terlihat pohon tinggi besar dengan kegelapan yg menyelimutinya, semua berjalan lancar sampai terdengar suara gadis menangis
mentions si sopir menghentikan mobil. memandang kernet yg tengah asyik tidur di sampingnya, "Jo, koen iku ojok turu ae, rungokno" (Jo, kamu itu jangan tidur aja, dengerin tuh)
"apa toh cak, ra seneng ndelok aku turu tah" (ada apa sih mas, gak suka lihat saya tidur tah)
sopir dan kernet saling memandang sengit, sebelum, rintik suara hujan yg turun tak mengurangi suara syahdu yg membuat dua lelaki itu saling memandang
"onok sing nangis cak?" (ada yg nangis mas?)
"lha tadi aku wes ngomong, perikso" (kan aku udah bilang, cepat periksa)
Kernet melangkah turun, berbekal senter besar di tangan, ia menuju bak tertutup di belakang pickup, hujan masih turun deras sementara di samping kiri kanan tak di temui seorang manusia satu pun, kendaraan pun tampak sepi, meski di selimuti ngeri namun kernet tetap harus memeriksa
dengan cekatan ia membuka gembok, namun sekejap ia merasakan perasaan merinding berdiri di tempat ini, "asu!! mene nek aku dadi sopir, kernetku bakal tak sikso koyok ngene" (Anj*ng!! besok kalau aku udah jadi sopir, kernetku juga akan aku siksa kaya gini) gerutunya,
suara tangisan itu memang berasal dari bak belakang pickup, tempat si kernet sedang membukanya, tiba-tiba "Piye, sopo sing nangis?" (gimana, siapa yg nangis?)
"Jancok! sek ta lah, iki tak perikso" (jancuk, bentar, ini lagi ku periksa) teriaknya melihat si sopir tiba-tiba muncul,
pintu bak terbuka, si kernet mengarahkan senter ke dalam, di lihatnya pemandangan itu, mencari-cari sampai berhenti di satu titik, si sopir dan si kernet saling memandang, melihat seorang gadis kecil menangis di antara gadis-gadis kecil lain yg tengah terlelap dalam obat tidurnya
"halo" kata si kernet, "sini.. kenapa nangis, takut ya, sama om aja ya"
si gadis menatap dua lelaki di luar mobil bak, ia masih diam memandang bingung, "namanya siapa, nanti om kasih permen"
"Mayang" ucapnya polos, si kernet tak menyerah, "mayang kalau takut sini.." bujuknya,
"kesuwen jo" (kelamaan jo) kata si sopir tak sabar, ia melangkah masuk sebelum mengambil sapu tangan di saku, menekan hidung si gadis, tangannya mengelepar berusaha melawan namun perbedaan kekuatan membuat si gadis tak berdaya, ja akhirnya terjatuh, terlelap dalam mimpi buruknya
si sopir melangkah keluar sembari menatap tajam rekannya, "Goblok, mene nek kerjo sing bener!!"(bodoh!! besok kalau kerja yg bener!!)
"Lah bos, aku wes nuruti lambemu, wes tak" (Lah bos, saya sudah nuruti mulutmu sudah tak) belum selesai bicara, si sopir berteriak "taek!! masuk"
si sopir dan kernet masuk kembali ke dalam mobil setelah menutup bak belakang, mobil kembali melaju tenang, tanpa mereka sadari, di antara anak-anak itu ada satu yg masih terjaga, ia tahu apa yg terjadi bila ia menunjukkan dirinya dalam kondisi terjaga
kemana mereka di bawa
mobil berhenti di sebuah jalan setapak, sudah berkali-kali mereka bertemu dengannya namun tempat pertemuan selalu berubah-ubah, si kernet menatap si sopir, "cak, wes iki terakhir ae, ojok urusan ambek menungso model ngunu, sampeyan gak eroh arek iki bakal di apakno kan"
(mas, sudahi saja, jangan berurusan sama manusia kaya gini, kamu gak tau kan mau di apakan anak-anak ini)
"menengo, aku gak ngurus soal iku, sing penting duwike akeh" (diam saja, aku gak peduli soal itu, yg penting duitnya banyak)
tak beberapa lama, terlihat seseorang muncul
ia mendekati mereka dengan kereta kuda, di atasnya ada seorang lelaki tua yg mengenakan penutup kepala, dia yg sudah di tunggu oleh mereka,
"wes, siapno arek-arek iku, tangane juragan wes teko"
(sudah siapkan anak-anak, tangan kanannya sudah datang)
lelaki tua itu turun, memandang si sopir tajam sebelum pandangannya beralih pada mobil tua itu, "rongsokan ngene buaken ae" (benda
rongsokan gini, buang saja!!) katanya, si sopir hanya mengangguk, sembari menyesap rokok, "Aman kirimane" (kirimannya aman) si sopir mengangguk lagi,
tiba-tiba entah ada apa, di tengah hujan turun, si lelaki tua itu seperti mencium sesuatu sebelum memandang tajam si sopir, "aku gak butuh cah lanang goblok!!" (aku tidak butuh anak lelaki bodoh!!)
si sopir tampak bingung, "maksude piye to mbah?" (maksudnya bagaimana mbah)
saat itulah mereka menuju tempat si kernet berada, di sana, lelaki tua itu masuk sebelum menarik rambut panjang salah satu anak yg tengah pura-pura tidur, anak lelaki itu merintih kesakitan, "iki opo gak arek lanang?" (apa ini bukan anak lelaki?)
kedua orang itu bingung,
"sak iki berarti sing mok gowo mek enem" (ini berarti yg kalian bawa cuma enam)
dua orang itu saling berbisik, "iku yo opo ceritane arek lanang kok isok mok gowo" (itu gimana ceritanya kok bisa bisanya anak lelaki yg kau bawa)
"rambute dowo e bos, tak pikir yo wedok"
(rambutnya panjang bos, ya aku kira perempuan)
si sopir tampak geram sembari memasang wajah sengit, "teros gak mok perikso nduwe perkutut ta gak?" (terus gak kamu periksa lebih dulu, dia punya perkutut atau tidak?)
si kernet tampak bingung, "ora bos, waktune mepet soale"
"ngeten mawon mbah" ucap si sopir, "peyan bayar piro ae, kulo purun" (anda bayar berapa saja, saya terima)
si mbah menatap tajam sebelum tersenyum licik, "teros, cah lanang iki gawe opo?" (lalu, si anak lelaki ini buat apa?)
si sopir terdiam sebelum mengambil parang di mobil
si sopir mendekati anak lelaki itu, menjambak rambutnya sebelum menghunus parang tepat di tenggorokan, si kernet membuang muka, ia tak tega melihat pemandangan itu sementara si lelaki tua
mengamatinya tampak seperti menikmatinya
hujan turun semakin deras,
"hop" (berhenti) kata si lelaki tua, "wes tak ramute cah iki, mene bakal dadi ajengku" (sudah biar aku rawat anak ini biar jadi penerusku)
si sopir mengurungkan niatnya menatap si lelaki tua,
"gowoen kabeh cah iku nang keretoku, wulan ngarep kudu jangkep, aku moh koyok ngene"
(bawa semua anak itu ke keretaku, bulan depan harus lengkap tujuh, aku tidak mau seperti ini lagi)
si sopir mengangguk takut,
mereka segera mengangkat satu persatu anak perempuan, sementara anak lelaki itu tertunduk lemas, gemetar, si lelaki mendekati, "siapa namamu?"
"Agus"
kereta kuda mulai berjalan di atas tanah berlumpur meningalkan dua lelaki yg hanya diam tak berkomentar, mereka menatap anak lelaki yg kini bersanding di samping lelaki tua itu,
"sak iki, tak kenalno kowe ambek tuan Codro"
(sekarang akan ku kenalkan kamu dengan tuan Codro)
kereta kuda berhenti, si lelaki tua turun sebelum menggandeng Agus kecil tak beberapa lama, orang-orang lain yg mengenakan pakaian putih mendekat mengangkat satu per satu gadis kecil dari kereta kuda, agus kecil hanya bisa mengamatinya tanpa tahu kemana anak-anak itu akan di bawa
"wes bengi, turu yo le, mene baru tak duduhi cara urip nang omah iki" (sudah malam nak, tidur ya, besok saya ajarin cara hidup di rumah ini) pintu tertutup, si lelaki tua itu pergi, sementara Agus menatap seorang wanita berambut panjang tengah mengamatinya dari langit-rumah
pagi sudah datang, si lelaki tua mendatanginya kembali, Agus menceritakan semuanya, namun si lelaki tua itu tertawa, "iku jenenge jagrang, gak popo, mek ngetok tok ora bakal mangan awakmu" (itu namanya jagrang, gak papa, hanya menampakkan diri, gak akan memakanmu)
lelaki tua itu memperkenalkan dirinya, "jenengku mbah Ratno, celuk ae mbah kakung, aku iki mek abdi daleme tuan Codro, kerjoku mek ngurus jaran" (namaku mbah Ratno, panggil aja mbah kakung, aku hanya abdi dalam tuan Codro, kerjaku cuma ngurus kuda)
mbah Ratno tertawa, bercerita banyak hal kepada Agus kecil, tentang rumah ini, tentang siapa saja abdi dalam lain, hingga sampai ke titik terakhir yg membuat Agus kecil penasaran, "nek bengi, ojok metu teko kamar yo le, soale.. onok Rinjani"
(kalau malam, jangan keluar kamar ya nak, karena ada Rinjani)
Agus kecil yg masih sulit untuk bicara tak berani bertanya, wajah mbah Ratno tampak ngeri saat mengatakannya, tiba-tiba terdengar suara tawa anak perempuan, Agus keluar dari kamar, di lihatnya anak-anak itu bermain
Agus ikut berbaur, berlarian kecil bersama anak-anak perempuan lain,
namun Agus kecil merasa janggal pasalnya ketika ia dan anak lain
bermain semua lelaki dewasa yg mengenakan pakaian putih dengan
penutup kepala, mengawasi mereka meskipun tersenyum namun Agus tetap merasa aneh,
namun Agus perlahan melupakan perasaannya yg janggal ketika melihat seorang perempuan yg ia kenal, Agus mendekatinya,
"la wes tak omongi ojok nangis" (kan sudah ku bilang, jangan nangis) kata Agus, perempuan itu menoleh ia berdiri menatap Agus, "Agus" katanya lirih,
Mayang dan Agus bermain hampir seharian, semua berakhir ketika lelaki-lelaki yg menjaga mereka mengatakan hari hampir gelap, Agus di jemput oleh mbah Ratno, tak ada yg aneh di rumah ini sampai-sampai Agus sendiri lupa bila dia punya rumah sendiri, tapi, ketika malam, rumah ini..
seperti menyimpan kengeriannya sendiri, seperti ada sesuatu yg hidup di kegelapan dan baru keluar ketika malam datang,
Agus meringkuk di dalam selimut, ia mendengar suara wanita tertawa cekikikan dari luar ruangan, terkadang mereka ikut masuk, melotot menatap Agus sendirian
tak hanya satu, namun banyak sekali makhluk seperti itu di sini, mereka melayang, kadang hanya mengintip dari celah almari, dari langit-langit, dan semakin Agus takut, mereka semakin senang, namun, suatu ketika, Agus pernah melihat mereka ketakutan saat suara itu datang.
suara itu parau, nyaris seperti suara yg tengah sekarat, bila di dengarkan dengan telinga, membuat Agus begidik ngeri namun tak hanya dirinya, semua jagrang lenyap, pergi, sejujurnya Agus pernah hampir keluar dari kamar, sebelum ia merasa suara itu begitu dekat, mendekatinya
Agus mengurungkan niat, ia meringkuk di bawah meja, mamandang pintu, dan sosok itu melewati kamarnya, bayangannya begitu hitam, ia berjalan seperti seseorang yg pincang, namun satu yg tidak akan pernah Agus lupakan, bayangan itu begitu panjang, seperti tak habis- habis
pagi kembali, Agus bermain dengan yg lain lagi, namun aneh, setiap hari terkadang satu persatu perempuan yg datang berkurang, namun anehnya tak ada satupun dari mereka yg merasa kehilangan temannya, kecuali Mayang, ia lebih sering murung sendirian,
hari itu datang, Mayang tak lagi terlihat di antara yg lain, Agus menemui mbah Ratno di kandang kuda, namun lelaki tua itu seperti tak perduli, "ra usah di reken, gedekno ae manokmu ben siap tak uruki" (gak usah di perdulikan, besarkan aja kemaluanmu biar bisa segera tak ajarin)
namun Agus tak menyerah, malam itu juga ia berniat mencari Mayang, mbah Ratno pernah bilang jangan pernah keluar dari kamar karena tak seorangpun berani untuk keluar, itu artinya Agus bisa leluasa mencari di mana Mayang berada, ia mendekati pintu saat suara tertawa itu muncul,
Agus melihat sosok Jagrang di depan matanya, kulitnya putih pucat dengan rambut sepinggang, ia menggeleng seakan memberitahu agar Agus tidak pergi, namun Agus menolak, ia ingin tahu rumah apa ini dan di mana Mayang dan perempuan perempuan lain, Agus keluar,
hening. setiap Agus melangkah terdengar lantai kayu berderit, Agus tersadar sesuatu, bagaimana sosok itu bisa berjalan tanpa bersuara sepertinya, Agus menyusuri lorong, namun ia tak menemukan apapun selain kegelapan di mana-mana, tak ada satupun lampu petromaks di nyalakan,
tiba-tiba, sekelibat seorang perempuan berlari menatap Agus dari jauh, ia tersenyum kepadanya memanggil-manggil, Agus pernah melihatnya, dia salah satu perempuan yg hilang, namun saat Agus mendekat, perempuan kecil itu lari lenyap di balik tembok kayu, Agus terdiam
hal itu terjadi terus menerus, mereka muncul dan menghilang kemudian tertawa terbahak-bahak menertawakan Agus, sampai akhirnya, Agus melihat anak itu menunjuk sebuah pintu, ia
mengangguk sembari tersenyum, sebelum pergi lagi, Agus mendekati pintu itu, ia mencium aroma bangkai
Agus membuka pintu, di baliknya ada anak tangga, meski ragu namun Agus sudah bertekad untuk mencari di mana keberadaan Mayang, ia menuruni anak tangga, di bawah Agus melihat banyak sekali rumput pakan kuda, Agus tak mengerti tempat macam apa ini, hingga ia melihat pintu lain,
terdengar suara berkisik di balik pintu, membuat Agus semakin penasaran, ia mengamati tempat itu sebelum menemukan lubang di tembok, Agus mengintip dari lubang itu, di dalamnya ada seorang wanita tengah duduk di kursi di belakangnya ada seseorang yg tengah menyisir rambutnya hal yg membuat Agus tersentak kaget adalah saat Agus tau ruangan itu
di penuhi gumpalan rambut yg begitu banyak, Agus tercekat mundur, ia mencoba mencerna apa yg baru saja dia lihat sebelum kembali mengintip saat di depannya wanita itu ikut mengintip dirinya,
Agus sontak berlari dari tempat itu namun pintu terkunci secara tiba- tiba dan dari belakang sosok itu mendekat, Agus berteriak-teriak meminta siapapun membukakan pintu, namun tiba-tiba, sosok itu melotot dengan mulut mengangah terus menerus mengeluarkan darah hitam kental,
ia menunjuk Agus, sembari berteriak parau, "Sopo koen le?" (siapa kamu nak?)
entah apa yg terjadi, Agus mulai menangis dan dari bola matanya darah merembas keluar di ikuti hidung sampai mulutnya, ia mendekati si wanita sebelum menunduk merengkuh kakinya yg cacat
rasa nyeri yg Agus rasakan begitu menyiksa, untuk anak sekecil itu Agus hanya bisa meronta-ronta, seperti ia di kuliti dalam keadaan sadar, karena ia kemudian menggaruk wajahnya terus menrus tak perduli kuku jarinya mulai patah satu persatu, tiba-tiba terdengar suara yg ia kenal
"niku rencang kulo buk" (dia teman saya ibuk)
sosok wanita itu berhenti, sementara Agus masih berkutat di kepalanya, ia terus menarik kulit wajahnya menariknya hingga ada sentuhan yg ia kenal, ia terus berbisik, "kamu ngapain Gus, gila kamu! apa gak ada yg kasih tau"
tak beberapa lama, pintu terbuka dan suara lain yg Agus kenal datang, ia mengangkat tubuh Agus sebelum membawanya pergi dari tempat itu, namun Agus masih mengelepar karena kulitnya masih terasa terbakar, Agus tak bisa melihat apapun,
"koen golek pekoro, lapo cah lanang mok gowo mrene, tuwek goblok" (kamu cari perkara, ngapain bawa anak lelaki kesini, tua bodoh!!) Agus hanya bisa mendengar perdebadan itu, mbah Retno sepertinya di marahi oleh yg lain, Agus masih terus menahan sakit, ia tak tau apa yg terjadi
hingga terdengar suara pintu di buka, dan kedatangannya
mendatangkan keheningan, tak ada suara lain, Agus melihat bayangan seorang lelaki, aromanya begitu harum yg sejenak membuatnya tak merasakan sakit, mbah Retno lalu bicara, "tuan Codro" katanya dengan suara yg halus,
"onok opo toh iki?" (ada apa ini?)
Agus masih meraba, matanya tak begitu jelas menangkap sosok yg ada di depannya, terdengar suara berbisik-bisik yg di jawab dengan "Wes, petnono ae, ra isok urip cah iki, timbang kesikso, ndase isok pendem nang nisor wit ngarep"
"sudah matikan saja anak ini, dia gak akan bisa hidup, daripada kesiksa, kepalanya kan bisa di pendam di bawah pohon depan"
Agus terkesiap saat mendengarnya, karena kemudian beberapa orang melangkah mendekatinya.
tiba-tiba seseorang masuk, "ojok di pateni, cah iku isok urip gawe
getihku, dee gak salah mergo gak sengojo ngambu ilmuku" (jangan di bunuh, anak itu masih bisa hidup pakai darahku, dia gak salah karena gak sengaja mencium aroma ilmuku)
si lelaki menjawab, "getihmu ra isok"
"darahmu gak bisa. dia tetap mati, kecuali dia bisa belajar Aksara kolojiwo dan belum tentu anak ini kuat nanggung akibatnya, lagipula, mati ya mati saja, opo bedone"
"CODRO!! KOEN NGERTI SOPO AKU??"
Agus tercekat, suara itu begitu mengguncang, Agus seketika merasa dingin,
tak beberapa lama, mbah Ratno berbisik pada Agus, "habis ini kamu akan minum darah yg akan jadi tanggunganmu gus, ini akibatmu kalau ndak nurut sama saya"
mbah Ratno membantu Agus membuka mulut, dan cairan amisitu masuk ke tenggorokan Agus,
"cah iki bakal dadi siji Rojot sing bakal melok nang dalane pituh lakon, iling-ilingen omonganku, sak iki gowoen aku adoh tekan omahmu, aku gak isok nang kene maneh"
(anak ini kelak akan jadi Rojot yg akan ikut jadi orang yg penting, ingat pesanku, sekarang bawa aku pergi)
(bawa aku pergi jauh dari rumahmu, aku tidak bisa di sini lagi)
suara lelaki itu menjawab pelan, "iya Rinjani, Padusan pituh wes tak siapno kanggo kowe" (Padusan pituh sudah saya siapkan semuanya)
si lelaki kemudian berbicara lagi, "No, basi Rinjani nguripi arek iki, aku gak isok nerimo, tapi aku isok nerimo nek cah iki isok urip tekan Benggolo sing tak gowo" (No, biarpun Rinjani sudah memberi kehidupan ke anak ini aku gak bisa terima, jadi aku akan mengujinya apakah dia-
-masih bisa hidup setelah ku buat setengah mati dengan Benggoloku)
Agus masih belum bisa menerima apa yg masuk ke dalam mulutnya, karena setelahnya, ia di paksa lagi membuka mulut saat sesuatu di paksa masuk lagi ke dalam perutnya, Agus meronta-meronta
Mira tersentak sebelum memuntahkan isi perutnya, seorang petugas stasiun mendekatinya, "kenapa mbak? mimpi buruk lagi?"
Mira menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu baru saja melihat apa, ia melihat seorang anak lelaki, Mira melirik buku di atas mejanya di sana tertulis sesuatu
"Aksara Kolojiwo"
Mira terdiam lama, ia harus tahu, apa itu Kolojiwo.
Mira masih menuggu di bangku stasiun saat dua orang lelaki dan satu perempuan mendekatinya
"mbak Mira ya" kata si lelaki jangkung, Mira berdiri, mengangguk sebelum menyalaminya
"oh oke, ini Guntur, ini Eka, dan saya Rasyid" kata si lelaki, Mira mengangguk mengerti,
"saya gak tau darimana anda tau kalau kami mau naik gunung, tiba-tiba anda telephone dan mengatakan kalau mau ikut pendakian, saya kaget, tapi sudahlah, lebih enak kalau naik gunung itu memang bawa orang banyak" kata Rasyid,
Mira hanya tersenyum, ia seakan di tuntun oleh sesuatu
"jadi hanya kita saja berempat ya yg naik?" tanya Mira,
Rasyid menggeleng lalu menatap sekeliling sampai matanya tertuju pada seorang perempuan berambut panjang yg berjalan mendekati mereka,
"ada satu lagi mbak Mira, namanya, Mayang" ucap Rasyid,
Mira melihatnya, tempat itu begitu gelap. dipenuhi sarang laba-laba. aromanya apak, lantainya terbuat dari batu bata solid yg di tumbuhi lumut. tak ada yg bisa di lihat di sini selain kekosongan.
Mira menatap kesana kemari memperhatikan setiap detail apa yg ada di sini
banyak sekali kerangka pintu tersebar di sepanjang lorong, Mira tak tahu ada apa di setiap ruangan gelap itu sampai suara yg bertahun- tahun terpendalam dalam ingatannya terdengar lagi.
Rinjani memanggil
Mira melangkah dengan kaki telanjang. sentuhan lantai batu bata yg dingin membuatnya bisa merasakan bahwa tempat ini sudah lama di tinggalkan, disepanjang ruangan gelap yg Mira lewati terdengar jeritan anak-anak kecil namun Mira tak bergeming karena Rinjani tak menghendakinya
di temukan sebuah pintu kayu tua yg dipilin dengan darah, Mira menyentuhnya sesaat, merasakan setiap emosi dari darah anak-anak yg di tumpahkan untuk mengunci Rinjani dari tidurnya sebelum akhirnya ia kembali terjaga, Mira membuka pintu perlahan sebelum melangkah masuk
Mira terdiam. matanya terbelalak menyaksikan ruangan itu di penuhi dengan anak perempuan yg sudah terbujur kaku, mereka di letakkan begitu saja di atas ranjangnya masing-masing.
meski takut namun Mira terus berjalan melewati mayat anak-anak perempuan itu. pikirannya berkemelut.
dari ratusan anak yg di letakkan di sepanjang ruangan, Mira melihat hal yg berbeda, tepat di ujung ada sebuah tiang kokoh, di atasnya di gantung 6 anak perempuan, mata mereka terbuka seakan melotot menatap Mira
Mira tertuju pada sepotong tali kosong, tempat seharusnya ia berada
Mira masih diam menatap tali kosong sebelum ia menyadari sesuatu di belakangnya tengah bergerak, Mira menoleh memperhatikan sekeliling, satu persatu anak perempuan itu terbangun dari tempatnya. mereka menatap Mira yg masih tertegun.
serempak mereka menunjuk Mira
Mira tak tahu apa yg terjadi karena ratusan anak-anak itu menunjuk seraya membuka mulut seakan ingin mengatakan sesuatu
hingga Mira menyadari di belakangnya ia merasakan sesuatu sedang berdiri di sana
kehadirannya begitu dingin, perlahan Mira menoleh saat sosok itu menghisapnya
Mira tersentak dari tidurnya, ia menatap Rasyid di bangku kemudi yg kemudian tersenyum tak enak saat melihatnya.
"Maaf Mir, Rasyid baru bisa nyetir, jadi ya gini masih kasar" kata Guntur di samping bangku Rasyid
Eka menatap Mira, ia meminta agar Mira kembali tidur karena ia yang
paling terlihat begitu lelah. Mira mengangguk sebelum matanya bertemu dengan mata Mayang.
sejak awal entah kenapa Mira merasa tak nyaman saat berada di sekitarnya, dan tampaknya perasaan ini tak akan berubah
ada hal-hal yg membuat Mira merasa ada yg janggal dari seorang Mayang, meski ia tak pernah melakukan apapun yg membuat Mira tak suka tapi di dalam dirinya seakan ada yg membuatnya harus menjaga jarak, sesuatu yg tidak bisa Mira cari jawabannya.
Rasyid menghentikan mobil, di depannya ada anak-anak yg di pandu oleh seorang guru menyebrang jalan, Mira menatap anak-anak itu, ia teringat dengan mimpi-mimpi tentang anak yg terus berulang-ulang datang kepadanya, Mira tak tahu maksud mimpi-mimpinya.
di tengah pikiran kacaunya, tiba-tiba Mira merasa aneh, semua yg ada di sekitarnya mendadak sunyi, semua orang bergerak dengan semestinya namun tak ada satupun suara yg bisa Mira dengar.
Mira menatap sekeliling, memperhatikan satu-satu namun tetap saja. hening.
wajah kebingungan Mira tak di sadari oleh yg lain, namun Mira merasakan akan terjadi sesuatu yg tak enak, benar saja, dari jauh sebuah Truk besar tengah melaju kencang menuju anak-anak yg tengah menyebrang, Mira tercekat ia berusaha membuka pintu mobil untuk memperingatkan,
namun aneh, pintu mobil seakan terkunci dan semua berjalan dengan sangat cepat karena setelah semua itu terjadi, Mira kembali mendengar suara-suara itu, suara Eka yg tengah menjerit,
di depannya, anak-anak itu tewas di lindas truk, sekilas Mira melihat Mayang tersenyum
semua orang yg ada di dalam mobil buru-buru keluar termasuk warga sekitar, Mira tertegun berjalan mendekat, langkahnya lunglai melihat darah membanjiri jalanan, Mira melirik Mayang yg masih duduk di dalam mobil, Mira yakin menangkap suara aneh dari bibir Mayang, hanya suara itu
Mayang seperti membaca sesuatu, dan di keheningan itu Mira hanya samar-samar mendengarnya, Rasyid akhirnya menarik semua
temannya pergi, ia cepat-cepat menjalankan mobil, Eka masih histeris, menyaksikan kejadian itu di depan matanya benar-benar melukai perasaannya.
Mayang menenangkan Eka, ia ikut menangis dan berkata bahwa ia tak bisa keluar karena terlalu takut melihat darah, namun Mira
memperhatikan tatapan Mayang yg tertuju kepadanya, ia sedang menghina dirinya.
anak ini seperti tengah menantangnya.
mobil kembali melaju. setelah kejadian itu tak ada satupun orang yg berbicara, semua memilih untuk diam. bergelut dengan pikiran masing- masing.
setelah menempuh perjalanan berjam-jam sampailah mereka di pemberhentian terakhir.
"ambil yg perlu aja. yg paling penting persediaan airnya, jangan sampe kehabisan sebelum sampai di puncak. ngerti"
Mira menatap toko peralatan itu, Rasyid dan yg lain melangkah turun, Mira akhirnya ikut. ia masih mengawasi mayang namun gadis itu memilih untuk menyendiri.
Mira mendekati Eka yg tengah sibuk memilih bahan yg harus dia bawa, "Kalian itu sudah kenal lama sama Mayang?"
Eka menoleh menatap Mayang yg memilih untuk berdiri di samping mobil sebelum menjawab pertanyaan Mira, "sudah sih, ini kali ke 6 kami naik ke gunung ini" kata Eka,
"tapi denger-denger ini kali ke 14 Mayang naik ke gunung ini, dia itu suka banget sama gunung tapi anehnya dia cuma mau mendaki gunung ini, aneh kan?"
Mira hanya mengangguk, ia tak mengerti, untuk apa seseorang menghabiskan waktunya di satu gunung ini.
Mira ikut mengambil persediaan sebelum matanya teralihkan pada wartel di samping toko, ia menatap penjaga toko bertanya apakah ia bisa menggunakan telepon itu, "bisa mbak, silahkan" kata si penjaga toko
Mira memasukkan nomer telpon tujuan sebelum bicara, "halo mbak, ini Mira"
seseorang di seberang telpon tiba-tiba berteriak kencang "ANJ*NG!!
kemana aja, seenaknya ambil cuti, sudah sebulan gak balik!! cuti model apa sampe sebulan TA!!!"
Mira menghela nafas panjang sebelum mengatakannya, "maaf mbak, kayanya aku belum bisa balik"
"belum bisa gimana??"
"ada yg harus aku cari dulu"
setelah mengatakan itu, terjadi jeda cukup panjang di antara merekam sebelum orang yg ada di seberang mengatakannya.
"ya sudah kalau itu maumu, ngomong-ngomong Riko mau bicara, kayanya ada yg mau dia sampaikan?"
Mira terdiam sejenak sebelum mendengar suara lelaki yg ia kenal.
"Mir, kamu di mana!! denger, aku kudu sampaikan ini" ucap Riko, suaranya seperti terburu-terburu, "Lindu Mir, Lindu, dia.."
tiba-tiba suara Riko menghilang,
"LINDU KENAPA RIK, RIK??"
Mira masih tidak bisa mendengar suara Riko, dan setelah menunggu sembari Mira berusaha menghantam-hantamkan gagang telepon suara Riko terdengar lagi, "LINDU BAKAR RUMAH JOGLO, TAK ADA SATUPUN ORANG YG SELAMAT, SEMUA MATI MIR, LINDU BUNUH SEMUA ORANG!!"
telepon terputus
Mira mencoba menghubungi nomer itu lagi namun tak berhasil dengan langkah tergopoh gopoh, Mira melangkah keluar sebelum Rasyid dan yg lain mencoba bertanya ada apa dengan dirinya, kenapa setelah telepon Mira terlihat gusar, namun Mira menolak bercerita, ia harus pulang
saat keluar dari toko, Mayang menghentikannya ia berdiri di depan Mira dan mengatakannya.
"Adikmu baik-baik saja, dia harus melakukan itu, lanjutkan saja pencarianmu, kau pikir sudah berapa lama aku menunggumu di sini, cari Rinjani demi adikmu dan penuhi takdirmu"
Mira menatap Mayang. Bayangan tentang apa yg ia ucapkan masih terngiang-ngiang di telinganya.
"Codro. Aku mengenalnya. Dia yg membawaku sampai di titik ini. Bukan karena sebab tapi karena kita semua sudah terikat"
Mira tak mengerti ucapan Mayang.
"Kita semua?" Mira bertanya.
"iya. Kita semua"
"berarti bukan hanya kita berdua saja tapi masih ada yg lain?" tanya
Mira
Mayang menerawang jauh memandang bola mata Mira sebelum bicara. "masih ada yg lain. Kelak, kita semua akan saling bertemu satu sama lain, layaknya jerat dalam dahan bunga Wijayakusuma."
"bersama, kita akan menuju babak akhir dengan kisah sendiri-sendiri"
Mayang memberikan senyuman, membuat Mira semakin yakin bahwasanya Mayang bukan orang yg sekelebat datang namun dia memiliki tujuan lain dan Mira harus mewaspadai gadis ini.
Mobil kembali melaju. Menempuh perjalanan terakhir. Di lihatnya sebuah gunung tinggi besar di selimuti hutan gelap nan hitam, Mira terpaku pada titik puncak yg semakin di lihat semakin terbayang jelas bahwa benar, Rinjani ada di sana sedang memanggil-manggil dirinya. "sebelum mendapat nama baru, gunung ini dulu di panggil dengan nama gunung Sangkluk, karena bila di lihat sekilas menyerupai seorang Sangkluk" ucap Mayang tiba-tiba, semua orang memandang Mayang. "Sangkluk?" tanya Eka,
"iya Sangkluk" kata Mayang menatap semua orang.
, secara harafiah artinya seorang ibu pendosa yg memohon pada tuhan namun karena begitu hitam pekatnya selimut yg ada di tubuhnya ia menjadi lumpur namun terus menerus mengeras hingga menggumpal dan menadi gunung ini"
"dongeng rakyat ternyata" sahut Guntur mencibir dari depan.
Mayang tersenyum menyeringai membalas Guntur, "benar. Kadang dongeng rakyat memang berlebihan tapi tak semua dongeng yg di ceritakan itu bohong mungkin di sana ada seorang ibu pendosa yg menunggu untuk di bersihkan"
Mira menatap Mayang, ia merasakan sentuhan dingin di tengkuknya
Mata Guntur dan Mayang saling menatap tajam satu sama lain membuat Mira merasa khawatir, ada sesuatu yg salah di sini, dan dia belum tahu di posisi mana ia berada.
tak hanya guntur, Eka juga menatap tajam Mayang seakan tak ada satupun yg terima dengan ucapan Mayang.
Mira masih teringat dengan perkataan Riko tentang Lindu yg
membantai semua orang namun Mayang berhasil meyakinkannya, ia bilang bahwa Lindu tak perlu di khawatirkan melainkan mata rantai antara Codro dan Rinjani harus di putus.
mengetahui bahwa Mayang tahu banyak tentang semua-
membuat Mira mengurungkan diri kembali, ia sudah sejauh ini dan Mira
harus tahu apa hubungan antara bapak dan Rinjani sehingga detail ingatan kecil itu bisa kembali.
datail yg akan membuka semuanya,
Mobil menepi setelah menanjak cukup jauh, di sebuah basecamp yg di kelilingi pohon besar seorang pria berseragam mendekati mereka. Rasyid yg pertama keluar, ia mendekati pria berseragam itu, menatapnya, sebelum saling memeluk satu sama lain.
"Rasyid Rasyid" ucap si pria berseragam, Mira dan yang lain kemudian mengikuti, si pria berseragam memandang semua orang menyapanya sembari tersenyum ramah.
"selamat datang" katanya ramah, ia sempat menatap Mira dan mengangguk sopan, namun wajahnya berubah saat melihat Mayang.
tatapan ramahnya berubah menjadi tatapan geram terlebih saat melihat Mayang keluar dari dalam mobil.
Mira tahu ada yg salah dengan semua orang yg ada di sini namun ia tak tahu ada apa dan kenapa semuanya menjadi seperti ini.
si petugas kemudian mengangguk pada Mayang lalu pargi
Mira mengawasi jalur pendakian. suara itu masih terdengar di telinganya. Meraung namun juga menangis, Mayang tiba-tiba datang mendekati Mira, "kamu adalah Catirahyana, salah satu putik bunga yg belum mekar" kata Mayang, "aku berharap setelah ini selesai kita bisa bertemu lagi"
Mira terdiam. lagi-lagi istilah aneh yg ia dengar dari mulut gadis ini.
Mira meninggalkan Mayang karena percuma baginya setiap apa yg keluar dari mulutnya tak ada satupun yg ia mengerti terlebih percayai, gadis ini menyimpan sesuatu yg tidak mengenakan dan hanya Mira yg tau.
Mira melangkah masuk ke pos namun dirinya terhenyak menyaksikan Eka dan Guntur memasukkan kapak dan parang di dalam tas-Eka dan Guntur sama tertegunnya dengan dirinya. Semua mendadak menjadi canggung.
untuk apa parang dan kapak itu. batin Mira, terlebih Rasyid bereriak "bunuh?"
"iyo, cah kui penyebabe. Koen kudu mateni cah wedok iku nang gatasurah!!" (iya anak itu penyabnya. Kamu harus membunuh perempuan itu di gatasurah (badan gunung))
Rasyid dan si petugas memandang Mira di muka pintu setelah Guntur memberi isyarat semua menjadi lebih canggung.
"Mir-" kata Eka tersenyum. "ini ndak seperti yg kamu pikirkan, kita bawa ini buat jaga-jaga, banyak semak belukar dan binatang buas"
"iya Mir" ucap Guntur tak kalah canggung, sementara Rasyid dan si petugas sudah menghentikan percakapan mereka.
Rasyid mendekati Mira.
ia menariknya membawa Mira masuk ke dalam ruangan, "ini buat kamu" Rasyid memberi sebilah belati yg lebih besar dari igenggaman tangan Mira, bilahnya tajam di lihat dari bagaimana saat Mira menyentuhnya.
Eka dan Guntur ikut melihat, bingung dengan sikap Rasyid
"tidak ada yg tahu ada apa nanti di atas dan satu lagi, di gunung kamu bisa belajar satu hal, wujud manusia yg sebenar-benarnya bisa kamu lihat saat kita ada di atas, jaga diri baik-baik hanya itu pesanku buat kamu" ucap Rasyid pergi.
Rasyid mengumpulkan semua orang termasuk Mayang, "kita bakal mendaki satu jam lagi, siapin semua yg perlu aja, medan di gunung ini jauh lebih berat dari medan gunung lain, selain itu ada.." Rasyid menatap Eka dan Guntur yg seakan memberi gestur menggeleng kepala. Rasyid terdiam
Rasyid menatap Mira tersenyum "sudah lupakan.."
sebelum pendakian di mulai si petugas menyampaikan pesan apa saja yg boleh dan tidak bolah di lakukan. "digunung jangan tinggalkan sampah, jaga baik-baik amanat saya" ia menatap Mira, seakan mau menyampaikan sesuatu namun urung.
Rombongan Rasyid mulai naik termasuk Mira dan Mayang yg mengikuti di belakang. Mira semakin merasa ada yg salah di sini, dari semua orang di dalam rombongan ini, hanya Mayang yg membawa tas kecil sangat berbanding terbalik dengan Rasyid, Eka dan Guntur, bahkan Mira sendiri.
"Kapak, Parang dan belati" Mira masih memikirkan itu.
ia menatap Rasyid dan kelompoknya seakan saling bertukar kode satu sama lain, namun ketika Mira mengamati, Rasyid masih bisa tersenyum memandangnya.
Perjalanan di mulai pukul 3 sore. langit sudah memerah.
Tak ada satupun yg bicara karena tampaknya mereka sudah terbiasa dengan pendakian ini.
Mayang sendiri tampak begitu santai, ia tak merasa bahwa yg lain seperti sedang mengawasinya, namun Mira merasakan perasaan kalut dan abu-abu saat memandang Rasyid dan yg lain.
perasaan yg jelas-jelas berbeda dari saat pertama mereka berjumpa. Langit mulai menggelap. Rasyid dan yg lain memutuskan berhenti sejenak, meneguk air sembari saling melihat satu sama lain. perasaan ganjil kian terasa karena tak ada satupun diantara mereka yg bicara. hening.
"seneng kamu bisa gabung lagi" ucap Rasyid melempar sebotol air pada Mayang, ia balas tersenyum lalu meneguk air itu, "iya. Setelah semua peristiwa itu rasanya kaget aku masih di ijinkan gabung di sini" "iya." sahut Rasyid, "ada yg harus kita selesaikan di pendakian ini" meski mereka saling berbicara satu sama lain, namun Mayang merasakan bila mereka saling melempar kalimat sindiran, ada apa dengan mereka dan peristiwa sebelumnya. ada apa dengan gunung ini. Mira mendengar suara itu lagi, masih memanggil dirinya.
Guntur menyalakan rokok bersama Eka, meski perempuan ia tak sungkan menyesap batang nikotin lalu menjauh dari tatapan Rasyid dan Mayang sengit.
Mira tak merasakan kehangatan di kelompok ini. pasti terjadi sesuatu di antara mereka. Mira memutuskan ikut pergi.
cukup lama waktu untuk Mira sendiri, sebelum Eka datang menjemputnya, mengatakan Rasyid dan yg lain siap lanjut, Mira melewati Eka namun Eka menarik lengan Mira, "kamu di depan aja, setelah ini akan semakin sulit jalurnya, biar aku yg di belakang"
Mira mengangguk.
jalanan semakin gelap, Guntur ada di samping Mira memandunya sementara Rasyid memimpin jalan, "aneh" pikir Mira, malam seperti ini tak seharusnya mereka memaksa lanjut tapi di kelompok ini seakan tak perduli dengan itu,
"pos 1 ada di depan" teriak Rasyid memberi gestur,
Guntur mengangguk, ia mengerti, Guntur meminta Mira lanjut ke tempat Rasyid menunggu sementara Guntur diam menurunkan tasnya, Mayang di belakang sementara Eka adalah orang terakhir, mereka
bergerak bersama dalam kesunyian hutan yg kian lama kian mencekam.
Rasyid menunjuk sebuah rumah gubuk mengatakan itu adalah pos pertama menginap, Mira mengamati rumah itu tampak berantakan tak hanya itu sedari tadi ada perasaan tidak enak di dalam dirinya, ia melihat Mayang mulai menyusul sementara di belakang Gunur dan Eka mengikuti.
sampailah Mayang, mata Mira bertemu dengannya ada wajah puas saat ia melihat gubuk tua itu. "akhirnya sampai juga" kata Mayang, ia mendekati Mira dan Rasyid namun sesaat sebelum ia sampai, sebilah kapak menancap tepat di batok kepalanya.
Mayang melotot sebelum jatuh tersungkur.
Mira diam, ia termangu mematung bingung dengan apa yg terjadi
Guntur menendang kepala Mayang, mencabut kapak itu sebelum Rasyid mendekati mereka, menghujani tubuh Mayang dengan bilah belati di perutnya berkali-kali, semua di akhiri ketika Eka menghantam kepala Mayang dengan batu
"Bangsat!! Mati kau!! ini untuk teman-teman kami yg sudah kau habisi sialan!!" teriak Eka. ia terus menerus mengambil Batu besar itu menghantamnya lagi dan lagi sembari terus mencaci maki Mayang yg sudah tak bergerak, semua selesai saat Rasyid menghentikannya.
"cukup! ayok pergi, masih ada yg harus kita lakukan!" teriak Rasyid pada yg lain, semua menatap Mira yg terkejut gemetar, pikiran Mira kalut karena Rasyid menatapnya bersama Eka dan Guntur, tatapan mata mereka begitu sengit. Mira bergerak mundur lalu meraih pisau di pinggangnya
"denger, kamu gak perlu angkat itu, kita kudu pergi Mir dari sini" teriak Rasyid,
"pergi matamu!! kalian baru bunuh manusia!!" teriak Mira masih menghunus pisau,
"maksudmu si bangsat ini" Guntur ikut berteriak menunjuk Mayang, "dia ini iblis sialan!!"
Rasyid mencoba menenangkan Mira ia meminta semua temannya diam sebelum mengatakannya, "denger Mir, sekarang aku tanya, kamu mau ikut apa gak? bilang saja"
"ikut kemana? ngapain aku harus ikut?"
"karena dia akan hidup lagi" ucap Rasyid, Mira.. terhenyak diam.
"Hidup. lagi?"
"benar" kata Eka, "aku sudah pernah gilas badannya pake mobil 3 kali Mir, dan dia hidup lagi. bangsat nih anak!!"
"aku pernah bakar rumahnya dan lihat sendiri dia terbakar habis di depan mataku tapi dia masih hidup" teriak Guntur, "sampe kami tahu dia mempelajari Kolojiwo!!"
"kami mencari tahu sampai bertemu banyak sekali orang yg tak pernah tahu ini, hingga aku bertemu seseorang, ia mengaku tahu cara menangkal Kolojiwo dengan membunuh 7 kali si pemilik ilmu ini, dan ini adalah kematian ke 6 dirinya" Rasyid menatap Mayang sebelum membakarnya.
kobaran api masih menyala, Rasyid menarik tangan Mira meninggalkan Mayang seorang diri, ia mati. benar-benar mati.
menyusuri jalanan yg kian menanjak, Mira berlari bersama yg lain namun ada perasaa kosong di dalam dirinya. benarkah Mayang masih bisa hidup lagi.
sepanjang jalanan tanah yg lembab Mira dan yg lain terus berjalan menyibak dedaunan dan semak belukar. Hutan ini benar-benar menunjukkan siapa dirinya. tak ada satupun sinar yg bisa menerangi bahkan senter di tangan Rasyid pun tak mampu mengusir kengerian dari segala penjuru.
"Ka, di mana?" tanya Rasyid, Eka berhenti sejenak ia tengah berpikir dengan nafas terengah-engah, sementara Guntur sesekali
memperhatikan apa yg ada di belakang seakan-akan ada seseorang yg akan mengejarnya. Mira ikut memperhatikan namun tak ada siapapun di sana. hening.
hutan ini lebih sunyi dari yg pernah Mira bayangkan, ia tak lagi mendengar jerit dari suara yg memanggilnya seakan suara itu lenyap
seiring dengan kematian Mayang.
Guntur masih berjaga, sementara Rasyid dan Eka saling menukar kompas. masih hening, sebelum.
suara itu kembali.
panik. itu lah hal pertama yg Mira rasakan, suara ini tak hanya memanggilnya namun juga berkelakar bahwa Mira harus pergi.
wajah panik Mira mendapat perhatian Rasyid yg kemudian
mendekatinya, namun mata Mira menangkap sosok nan jauh dari balik semak belukar, Mayang di sana.
semua orang menatap kemana Mira melihat, dan wajah panik seketika muncul. Eka dan Guntur mundur mendekati tempat Rasyid dan Mira.
tapi ada yg aneh dari Mayang, ia mengenakan pakaian yg berbeda, dan caranya berjalan terseok-seok dengan leher patah.
"itu Mayang yg ku tabrak!" Eka
ini adalah kali pertama Mira melihat hal seperti ini.
Guntur menghunus kapaknya namun Rasyid menghentikannya, "jangan. kata orang itu belum waktunya, tunggu sampai tempat itu terbuka"
"tempat itu terbuka" ulang Mira namun tak ada satupun yg mau memberitahu apa maksudnya.
Mayang terus mendekat, lehernya yg patah serta dua kakinya yg bengkok membuat Mira dan yg lain mematung sebelum bedannya tertekuk ke belakang, ia tampak kewalahan dengan kondisi tulangnya yg hancur namun satu yg Mira tahu, ia tiba-tiba berteriak keras sebelum menunjuk Eka.
Eka menutup telinganya rapat-rapat, merintih menahan sakit, godaan untuk mendengar teriakan itu terus memaksa membuat Eka secara tidak sadar mulai seperti kehilangan akal, Eka dengan suka rela memelintir pergelangan tangannya sampai terdengar suara tulang berkemelatak.
melihat gelagat sial itu, Guntur melemparkan kapaknya tepat di perut Mayang sebelum menarik Eka, Rasyid dan Mira kemudian mengikuti mereka berpacu menembus apapun yg ada di depannya meninggalkan Mayang yg kembali bangkit meski di perutnya tertancap kapak milik Guntur.
nafas Mira berpacu semakin cepat mengejar yg lain, Rasyid terus berteriak agar Mira tak kehilangan arah, namun Mira tak pernah sekalipun menginjak gunung, medannya yg sulit benar-benar tak mampu menyamai mereka semua.
Mira berhenti, membiarkan Rasyid dan yg lain pergi.
dengan tenaga yg tersisa Mira berjalan menapaki medan, namun tubuhnya semakin lama semakin nyeri, tempat ini kian sunyi dan tak ada satupun suara yg bisa Mira dengar selain teriakan agar ia
meninggalkan tempat ini. di belakang, Mira mendengar suara langkah kaki, Mira berhenti
di belakangnya sosok itu berjalan tertatih-tatih mendekatinya
"tolong" katanya, Mira melangkah mundur, "tolong saya"
Mira masih tak mengerti, sosok itu terus menggapai-gapai dirinya sebelum melewati Mira yg kebingungan, sosok itu tidak mengejarnya lantas dia bicara dengan siapa
hujan turun dengan deras. Mira masih berusaha menerabas medan. tanah keras menjadi berlumpur, Mira masih memikirkan kejadian yg menimpanya, Mayang meminta tolong tapi bukan kepada dirinya karena bila melihat dari gerakan tangannya Mayang seperti tak meihatnya.
setelah berjalan sendirian di tengah kegelapan hutan, Mira melihat pondok lain, kali ini pondoknya berbeda dari rumah pondok pertama, tak hanya itu, di celah-celah gubuk Mira melihat cahaya di dalamnya. dengan tubuh menggigil akibat hujan, Mira mendekati pondok.
Mira mengetuk pintu, dari samping jendela wajah familiar yg Mira kenal mengintip sebelum membuka pintu.
"Mir" katanya, Eka mengamati Mira tak ada sepatah katapun yg Mira ingin katakan termasuk Rasyid yg buru-buru keluar saat mendengar nama Mira di sebut. mata Mira bertemu sengit
Eka memperhatikan sekeliling sebelum menutup pintu untuk
memastikan.
"maaf" kata Rasyid, "kami harus lari bagaimanapun juga, kami semua sebenarnya sudah di jampi sama anak itu. Mayang menjampi-jampi kami agar ikut apapun yg dia perintahkan termasuk."
"-bunuh diri".
"bunuh diri?" tanya Mira.
"iya benar." kata Eka tiba-tiba ikut bicara, "sini Mir, aku tunjukin sesuatu" Eka menarik tangan Mira membawanya ke salah satu kamar, Mira terlihat bingung apa yg mau di lakukan perempuan ini, tiba-tiba Eka membuka bajunya tepat di depan Mira.
Mira gemetar menyaksikannya. "itu kenapa?"
"bangsat kan!!" Eka menutup kembali bajunya setelah
menunjukkannya pada Mira, "Rasyid dan Guntur sama seperti kami, sejak kejadian itu satu persatu dari kami mati. MATI. berengseknya hanya Mayang yg tidak mendapat penyakit ini."
Mira melangkah keluar menatap Rasyid dan Guntur yg tengah duduk, "kalian juga mendapatkan itu"
"iya. pilihannya hanya ada dua, bunuh diri atau habisi satu kali lagi Mayang, tapi yg jadi masalah adalah" belum selesai Rasyid bicara, tiba- tiba Mira bergerak melihat ke jendela,
di lihatnya jauh dari pondok berada, berdiri kurang lebih 6 sosok yg tengah menatap pondok rumah.
semuanya menyerupai Mayang.
Mira terdiam karena suara yg ia dengar kini tertawa-tawa di dalam kepalanya. Rinjani tertawa.
belum selesai menguasai keadaan tiba-tiba Guntur bicara, "Syid" katanya, semua orang menatap Guntur yg berdiri paling belakang di kepalanya tertancap kapak, Guntur jatuh tersungkur di belakangnya ada seseorang yg wajah dan tubuhnya hancur karena terbakar. "kurang loro"
Mira dan yg lain mematung, belum selesai dengan ini tiba-tiba terdengar pintu di ketuk, semua mata tertuju pada pintu, dari luar terdengar suara familiar yg Mira kenal memanggil.
"syid, ka, Mir, buka pintunya. ini aku, Mayang. kenapa kalian ninggalin aku?"
Mira membuka pintu di lihatnya Mayang berdiri menatapnya namun tak di temuinya sosok yg ada di belakang termasuk sosok yg menyerupai dirinya yg baru saja menghantam kepala Guntur. Mayang tersenyum sebelum berujar pada Mira. "kenapa? mau bunuh aku juga?"
Eka dan Rasyid menatap sengit Mayang sebelum perempuan itu masuk dan menatap Guntur, "sudah mati ya" Mayang menatap yg lain saat Rasyid menghunus belatinya, Mayang masih diam.
"ndak usah bunuh-bunuhan lagi. lagipula aku kan sudah bilang sama kalian, jangan mandi dari tempat itu"
"aku sudah bilang, aku hanya antar bukan untuk menyalahi aturan, kalian yg memulai, kalau kalian gila bukan salahku"
Mayang menyentuh wajah Guntur, di belai wajahnya saat Mira menyaksikan Mayang seperti itu, suasana tempat ini menjadi lebih dingin sebelum Guntur membuka mata.
"aku gak gila May!!" ucap Eka, "AKU GAK GILA MAY!!"
Mayang lantas menarik kapak di kepala Guntur sebelum menghempaskannya tepat di wajahnya dan membuat wajah lelaki itu terbelah dua, "kalian sakit. biar aku sembuhkan ya"
Mayang bangkit dari tempatnya berdiri sebelum berujar,
"pukleken gulumu"
Eka tiba-tiba mengangguk sebelum mematahkan lehernya sendiri tepat di depan Mira. perempuan itu tewas seketika. kini Mayang menatap Rasyid, ia tahu ajalnya tak lama lagi.
Mayang mendekati Mira. berbisik tentang sesuatu.
tatapan mata Mira pada Rasyid tiba-tiba berubah, ia tak percaya dengan apa yg ia dengar namun Mayang tampak tak berbohong sedikitpun. Mira melangkah keluar mengunci pintu tak lama kemudian suara Rasyid berteriak terdengar.
hujan masih turun, Mayang melangkah keluar dari pondok mendekati Mira yg sedari tadi menunggunya.
"maturnuwun Mir, awakmu wes percoyo ambek aku" (terima kasih Mir, kamu sudah percaya sama saya)
Mayang memberi penutup kepala berupa kain yg langsung di kenakan oleh Mira.
bersama-sama, mereka melanjutkan perjalanan berdua saja. Mira menatap pondok itu untuk terakhir kalinya, saat Mayang keluar dari dalam pondok sekilas Mira melihatnya.
ia melihat Rasyid tergantung di atas langit-langit.
"siapa sebenarnya Rinjani itu? kenapa dia di tempatkan di sini?" tanya Mira yg tak di tanggapi sama sekali dengan Mayang.
mereka sudah melewati banyak sekali pepohonan yg kian lama kian rapat. tak hanya itu, udara yg kian dingin membuat Mira menggigil.
Mayang terus berjalan tak sedikitpun dia terlihat lelah sebaliknya ia seperti tampak terburu-buru sembari sesekali melirik sekeliling.
"Mayang. kenapa tidak menjawab pertanyaanku"
"jangan sebut nama dia di tempat ini. jangan pernah!!" ucap Mayang.
perjalanan yg jauh dan melelahkan itu berujung pada satu pohon besar yg terlihat begitu keramat, siapa sangka di balik akar menjuntai tepat di bawahnya Mayang memotong dahannya. cairan kemerahan itu Mayang hisap sebelum memberikannya pada Mira. "teloto. rasakno"
Mira terlihat bingung sebelum menuruti perintah Mayang. ia hisap cairan dari akar pohon, cairannya lengket dan berwarna merah gelap, ketika Mira menghisapnya ada rasa pahit yg membuat Mira merasakan sentakan di tenggorokannya. karena setelahnya Mira bisa melihat semua.
tempat Mira berdiri tepat di depan pohon keramat itu, Mira melihat begitu banyak anak-anak perempuan kecil mengamatinya malu-malu. Mayang mendekati lalu berbisik.
"anak-anak itu milik Codro yg di ambil dari tangan Rinjani"
Mayang menceritakan siapa Codro, ia mewarisi salah satu ilmu yg di ajarkan langsung oleh Codro namun ada harga yg harus di bayar. "apa yg di minta olehnya"
"menurutmu apa yg di minta oleh orang tua uzur yg tak pernah mau menikah pada gadis kecil?"
Mira mematung ia tahu apa itu
Mayang tersenyum namun Mira tak habis pikir bila hal itu terjadi pada adiknya kira-kira bagaimana ia akan menyikapi semua ini.
"sekarang akan ku bawa kau ke tempat itu, hanya kau seorang.." wajah Mayang mendekati wajah Mira sampai mereka seperti akan berciuman sebelum,
Mayang menggorok leher Mira dengan cepat.
Mira tersungkur, dengan wajah setengah sadar Mira menahan darah yg terus keluar dari lehernya. di tatapnya Mayang yg mengamati, karena sebelum semuanya hitam, Mayang berbisik, "pilihane onok nang awakmu"
"Kolojiwo iku kanggo ngiket nyowo nang tumbal sing mok
persembahno" (Kolojiwo itu ilmu untuk mengikat nyawa pada tumbal
yg kamu persembahkan)
Mayang melihat anak lelaki kecil, di depannya ada kakek tua, di belakangnya ada seorang pria yg mengenakan blankon. mengawasi.
"persembahno tumbalmu, setan-setan sing nang ndunyo bersumpah ngganteni awakmu, wujudmu, nyowomu ra bakal entek sampek ping pitu" (persembahkan tumbalmu maka setan di dunia akan bersumpah menggantikanmu, hidup menyerupaimu hingga tujuh kali kematianmu)
"nanging tumbalmu ra isok sembarangan, sing di tumbalno kudu cah cilik wedok soale iku sing di janjino nang trah Codro ket pertama gawe perjanjian iki, tumbalmu tambah akeh abdimu tambah kuat maneh" (namun tumbalmu tidak boleh sembarangan karena harus anak perempuan)
(itu yg dulu sudah di janjikan semenjak perjanjian pertama antara keturunan Codro, tumbalmu semakin banyak maka yg mengabdi padamu akan bertambah kuat lagi)
Mira hanya mendengarkan. ia tak tahu di mana ini dan kenapa ada di sini namun wajah anak kecil itu familiar.
pintu terbuka seorang lelaki yg mengenakan pakaian putih masuk ia membisiki pria berblankon sebelum pria itu pergi meninggalkan ruangan. Mira melihat anak lelaki itu untuk terakhir kalinya ada saat di mana anak itu sempat menatap ke arahnya.
"onok opo gus?" (ada apa gus) tanya-
si lelaki tua. anak itu menggeleng sebelum menatap kembali lelaki tua di depannya.
Mira mengikuti pria berblankon, ia di tuntun menuju sebuah ruangan, sebelum pintu di tutup Mira melesat masuk, di atas ranjang Mira melihat seorang gadis kecil.
"Mayang" kata si pria berblankon
gadis itu hanya menunduk, ia menahan tangisannya. "mari iki awakmu tak uruki opo iku Kolojiwo" (sebentar lagi akan ku ajarkan dirimu Kolojiwo)
pria itu masuk ke ranjang sebelum menutup tirai putih, Mira tertegun sesaat menyaksikan semuanya sebelum sesuatu menarik dirinya
tangan kurus pucat, bahkan bila di lihat dengan mata kepala sendiri
sosok yg menarik Mira terlihat bukan seperti manusia lagi. Mira
tersentak mundur, ia begitu terkejut menyaksikan seorang perempuan, tingginya mungkin lebih dari 2 meter, begitu jangkung dengan rambut panjangnya.
"akhire kowe tekan nduk, anak-pepet ku" (akhirnya kamu datang juga nak, anak dari ikatan ari-ariku)
Mira masih terpaku melihat betapa mengerikannya sosok yg ada di depannya. tangannya tidak normal, begitu panjang sampai menyeret lantai, "ojok wedi ambek ibuk" (jangan takut)
(sama ibuk nduk)
"sinten njenengan?" (siapa anda) tanya Mira.
sosok itu masih bersimpuh sebelum Mira tahu di tubuhnya di tancapkan sebuah pasak kayu, ia menyeret satu kakinya yg lumpuh, sebelum ia mencoba membelai kepala Mira ia berucap dengan suara lirih. "Rinjani".
meski penampilannya tak seperti manusia namun tatapan matanya yg putih begitu sayu, ia seperti tersiksa di kurung di sebuah tembok batu yg begitu dingin.
"akeh sing tekan mrene gawe golek sugih, golek urip enak, tapi aku mong ngenteni kowe kanggo."
(banyak yg datang ke tempat ini untuk mencari kekayaan, mencari hidup yg layak, tapi aku cuma nunggu kamu untuk-) sebelum sosok itu menyelesaikan ucapannya, mulutnya memuntahkan cairan keputihan yg aromanya begitu busuk. membuat Mira begidik ngeri, "ra sah wedi" (jangan takut)
"aku ra isok ngomong perkoro takdirmu sing ireng kui, tapi aku isok ngekeki awakmu pilihan, cah kui, adikmu-opo kowe kepingin
nyelametno dek-e" (aku gak bisa bicara masadepanmu yg sangat hitam tapi akubisa memberimu pilihan untuk dia, adikmu apa kamu ingin menyelamatkannya?)
"tapi tak ilingno, bapakmu wes gawe janji ambek aku, nek sampe kowe salah milih, uripmu ra bakal tenang, aku isih menungso sak dapuranku ajor ngene aku tetep menungso nduk tak ilingno-" (tapi aku ingatkan, ayahmu sudah membuat janji sama saya, jika sampai kamu salah memilih-
hidupmu tidak akan pernah tenang, meski wujudku terlihat bukan seperti manusia lagi tapi ku ingatkan)
Rinjani menatap wajah Mira, "ojok sampe awakmu sekutu nang Ratu" (jangan sampai kamu bersekutu dengan Ratu)
"pilihan sak iki nok nang awakmu"
untuk pertama kalinya Mira berani menatap wajahnya, ia begitu lama mencarinya, dan sekarang Mira sudah ada di hadapannya, Lindu dalam bahaya cengkraman Codro, dan Mira sudah melihat Codro seperti apa. saat mendengar Codro mati, tubuhnya tak sepenuhnya mati. lantas Mira, memilih-
Lindu.
"sak iki aduso, resikono rogomu nang Padusan pituh-" (sekarang mandilah, bersihkan ragamu di pemandian tujuh) Rinjani menunjuk sebuah pintu yg baru pertama Mira lihat, "Rogot nyowo-bakal di bukak nduk" (Rogot nyowo- sebentar lagi di buka nak)
Mira menatap Rinjani
dari bola matanya yg putih, Rinjani menangis dengan air mata yg begitu hitam.
putih dan hitam adalah gambaran dari manusia yg mencari kebebasan. kebebasan untuk lepas dari Ratu yg dia sebut dalam suaranya. Rogot nyowo. akan memulai semuanya. Mira meninggalkan Rinjani.
di balik pintu kayu. Mira melihat sebuah mata air dengan pancuran dari berbagai simbol patung yg tidak Mira kenali namun Mira pernah menggambarnya, mengumpulkannya di papan tempat Riko sekarang menyimpannya.
simbol patung itu memiliki bentuk berbeda-beda, setiap pancuran, dijaga
ada seorang gadis yg menjaga setiap mata air itu. ia tak mengenakan pakaian. caranya melihat begitu kosong, Mira tertegun menyaksikan mereka semua seakan sudah menunggu Mira.
"mriki mbak" (kesini mbak) satu dari 6 gadis kecil memanggil dirinya. Mira mendekatinya.
setiap dingin air mengguyur tubuhnya, Mira merasakan sentuhan
bahwa tempat ini begitu kosong. tak ada siapapun lagi di sini, namun dari setiap guyuran itu Mira melihat kilas peristiwa, sebuah pernikahan berdarah-di mana semua undangan tewas memuntahkan darah hitam dari mulutnya.
Mira juga melihat seseorang yg begitu hina dan busuk tengah di penggal oleh seorang wanita yg mengenakan sanggul sebelum wanita itu memenggal yg lainnya. ia membawa dua kepala itu di tangannya sebelum pergi meninggalkan lelaki tua buncit yg kemudian membersihkan semuanya.
jauh dari tempatnya. ada sebuah rumah dengan sosok berwujud wanita tua tengah menjilati tubuh seorang gadis yg terbujur kaku di dalam sebuah keranda bambu kuning, gadis itu tengah di mandikan namun sosok tua itu terus menerus menjilati tubuhnya. Mira hanya bisa melihat sosok itu.
Mira tidak tahu kilasan peristiwa-peristiwa itu kapan terjadi namun dirinya terhenyak saat melihat seorang tengah duduk di bangku kosong dengan sebuah meja panjang, ia menyendiri, Mira mendekati sosok itu, tak beberapa lama masuk 3 orang ke ruangan itu. mereka ikut duduk
"yo opo, wes mok pikirno, menungso nek wes rumongsu dukur derajate iku sombong, railing ambek uripe sing biyen!!" (bagaimana, sudah kalian pikirkan. manusia kalau sudah merasa derajatnya tinggi memang sombong. tidak ingat dengan masa lalunya!!) sosok itu berkelakar, semua diam.
"mas, aku hormat kale njenengan tpi ra isok ngilangke siji tko pitu, nek iku di lakoni ra bakal onok sing selamet, sampeyan dewe ngerti mas" (mas, aku sangat menghormatimu tapi tidak bisa menghilangkan satu dari tujuh, bila itu dilakukan tidak akan ada yg selamat, anda lebih tau)
"METU SING RA GELEM MELOK, BEN TAK LAKONI DEWE!!" (KELUAR SAJA YG TIDAK MAU TERLIBAT, BIAR KU LAKUKAN SENDIRI!!)
dua dari tiga orang itu membungkuk sebelum keluar, namun hanya ada satu seorang yg masih duduk.
"Koen yok opo nduk, opo Atmojo bakal melok aku"
(kamu gimana nduk, apakah Atmojo akan ikut aku?)
"nggih mas. Atmojo siap ngelakoni sumpah, tapi tak ilingke rong keluarga gurung mesti nang pihak'e kene" (nggih mas, Atmojo siap menunaikan sumpah, tapi tak ingatkan masiha da 2 keluarga yg belum memutuskan kemana mereka memilih)
sosok yg duduk itu berdiri ia mendekati seorang yg di panggil Atmojo, Mira persis di sampingnya, masih mencoba melihat apa yg terjadi di sini, saat tiba-tiba sosok itu berucap lirih, "GORONG WAYAHE" (Belum waktunya!!) sembari menarik tangan Mira.
Mira tersentak kembali.
Rinjani menatapnya. "sak iki awakmu wes bersih nduk, aku jek ngekeki pilihan soale opo sing mok tompoh iki abot!!" (sekarang ini dirimu sudah bersih. aku masih bisa memberi pilhan)
Mira menatap Rinjani, tangannya gemetar hebat saat melihat wajah sosok itu.
"kulo siap" (saya siap) ucap Mira, ia tak bergeming meski Rinjani sudah mengingatkannya.
"awakmu bakal mati maneh, ra onok menungso sing kuat nompo iki nek gak mati disek" (kamu bakal mati lagi, tidak ada manusia yg kuat menerima ini kalau tidak mati terlebih dahulu)
Rinjani membuka mulutnya sebelum mencekik leher Mira, saat Mira membuka mulutnya ia memuntahkan semuanya, Mira mengejang hebat, Rinjani masih menangis, air matanya yg hitam perlahan kembali, wajah keibuan dirinya terlihat di depan Mira, sebelum semuanya gelap, Rinjani mengucapkan
"terimakasih"
Mira membuka matanya, ia melihat Mayang di depan wajahnya. Mira memeriksa tenggorokannya, namun irisan leher yg tadi menggorok dirinya kembali pulih.
"dan kutukan Rinjani sudah ada dalam dirimu, begitu juga berkah yg dia miliki?" tanya Mayang, Mira mengangguk.
Mayang menarik tangan Mira, mereka berdiri bersama, langit masih gelap namun hujan sudah perlahan reda.
"sekarang bagaimana cara menolong Lindu" tanya Mira,
Mayang mendekati Mira berbisik, "Codro sudah gak butuh adikmu, dia lebih butuh apa yg ada dalam dirimu"
"adikmu sudah aman. tapi-" Mayang menghentikan langkahnya, ia terdiam melihat sekeliling, gemerisik suara di sekitar tiba-tiba mengalihkan perhatiannya.
Mira baru menyadari, di tempat dia berdiri banyak sekali sosok yg familiar ia kenal.
"gundik'colo Anggodo datang!!"
hampir di setiap sudut, Mira dan Mayang melihat banyak sekali wanita dengan rambut di sanggul membawa parang
Mira tahu siapa mereka dan betapa sintingnya mereka, Mayang pun tampak sudah pernah bertemu dengan mereka namun ini adalah kali pertama Mayang melihat ada puluhan di sini
"nduk, melok aku yo" (nak ikut saya ya) kata salah satu wanita yg pernah Mira lihat.
Mira melangkah mundur, Mayang juga tak banyak bergerak, wajah sinting mereka masih ada di dalam kepala Mira.
"apa lari saja" kata Mira berbisik,
"gak bisa Mir, lari di sini itu mustahil"
"lantas gimana?"
Mayang menatap Mira, ia berbisik, "mereka mau dengan apa yg ada dalam dirimu, gak ada cara lain. semoga kita ketemu lagi"
Mayang menggorok leher Mira untuk kedua kalinya.
kilasan terakhir yg Mira lihat sebelum semuanya hitam adalah, Lindu yg tengah duduk di atas ranjang kosong, tak beberapa lama seorang pria tua melangkah masuk sebelum, ia menyeringai pada Mira, dan semuanya selesai.
Mira membuka matanya. ia tengah berada di sebuah ruangan dengan orang-orang yg tampak khawatir menatapnya, saat melihat Mira mereka berteriak satu sama lain.
"sudah sadar!! pasien sudah sadar!!"
Mira berteriak meminta adiknya Lindu namun orang-orang itu menghentikannya.
ia hanya bicara bahwa sudah tiga hari Mira di bawa ke tempat ini setelah di lakukan pencarian satu minggu lebih dengan di temukannya 4 mayat yg tewas di atas gunung, saat semua foto 4 mayat itu di tunjukkan, Mira mengenali semuanya.
itu adalah Guntur, Eka, Rasyid dan Mayang.
Mira tidak tahu harus mengatakan apa selain, apa yg sebenarnya terjadi kepada dirinya.
sore itu langit mulai menggelap. Mira turun dari ranjangnya tanpa sepengetahuan orang, ia melangkah keluar berjalan sendirian di lorong. pikirannya begitu kosong tak ada lagi yg bisa ia lakukan. seolah jiwanya sudah di renggut Mira menelusuri jalan sebelum berdiri di tengah jalan Mira menatap sebuah Bus yg tengah melaju dengan kencang, semua orang yg melihat Mira berteriak agar perempuan itu menyingkir namun anehnya Mira justru tertawa sebelum tubuhnya di hantam oleh Bus. darah mengalir. Bus berhenti dan semua orang mendekat.
"Minggir-minggir!!" teriak seorang lelaki, "Goblok, wes eroh onok Bes tambah mandek gok tengah dalan, golek mati cah Edan!!" (Bodoh, sudah tahu ada bus tambah berhenti di tengah jalan, cari mati nih anak sinting!!)
lelaki itu menerobos kerumunan, "Gus!! ojok ngelamun, mrinio"
lelaki yg satunya mendekat, "Mati gak Rus??" tanya si lelaki.
"yo mati talah goblok, justru nek urip berarti guk menungso, wes talah lalekno menungso edan wingi" (ya mati lah bodoh. justru kalau masih hidup berarti bukan manusia, sudah lupakan manusia gila yg kemarin)
tepat setelah mengatakan itu, tiba-tiba kerumunan orang yg ada di sekeliling berjingkat terkejut, lelaki itu bingung. ia melihat si perempuan yg leher dan anggota tubuhnya lain patah berlumuran darah tiba-tiba bergerak. ia mengejang, sebelum satu persatu meluruskan tulangnya.
si lelaki melangkah mundur begitu juga orang-orang, anehnya hanya Agus yg mendekatinya.
"ibuk" katanya.
"ibuk matamu" ucap Ruslan, namun Agus mendekatinya, Mira menatap si lelaki sebelum berujar, "Rogot Nyowo baru saja di lepaskan" suara
Mira terdengar lirih.
Agus terperangah. kalimat yg paling ia takuti terdengar lagi dari mulut perempuan asing.
SourceBy : SimpleMan Story