KUDRO
Hujan badai malam ini begitu dahsyat, pohon-pohon tersapu hingga dedaunan yang menghiasi batang mereka berguguran terkoyak-koyak oleh angin yang mengamuk, diikuti oleh suara guntur menggelegar bersahut-sahutan dalam suasana dingin yang mencekam, malam ini tuhan seperti sedang marah. tapi, tak ada yang tahu kenapa tuhan marah.
Dari kejauhan terlihat setitik cahaya dari sorot lampu sebuah motor butut yang berusaha menembus tanah berlumpur dengan medan yang naik turun. terlihatlah seorang lelaki sedang berkendara, ia berusaha menembus badai yang sedang mengamuk di bawah kaki gunung, entah lelaki ini sinting atau sudah gila karena ia nekat melaju dalam cuaca yang seperti ini hanya dengan berbekal mantel lusuh yang melindungi sedikit tubuhnya dari guyuran air hujan yang tak terbendung membasahi badan serta motor buntutnya, ia lajukan benda yang sudah seperti rongsokan itu dengan susah payah, entah kemana tujuan lelaki ini karena sedari tadi ia bersusah payah memaksa diri dengan kendaraannya melesat masuk lebih jauh kedalam pedalaman hutan rimba yang gelap gulita.
Suara angin berhembus kencang diikuti suara gemuruh guntur tak menghentikan niatnya masuk ke dalam hutan, mantel hujannya mengelepar saat motor yang ia kendarai hampir saja selip dan membuat keseimbangannya goyah namun untunglah sebelum motor itu terseok karena lumpur si lelaki berhenti menahan bobot kendaraan itu sekuat tenaga, saat itulah terdengar rengek suara dari anak-anak yang rupanya duduk bersembunyi di bawah mantel hujan, salah satu dari dua anak lelaki itu bertanya dengan suara panik, "pak kene kate nang ndi seh, kok bengi-bengi ngene" (pak kita mau kemana sih, kok malam-malam seperti ini)
Si lelaki yang tak lain adalah bapak dari dua anak kecil yang secara bebarengan bersembunyi di bawah mantel panjang itu lalu berkata, "Bayu sama Dayu nurut ya sama bapak, hanya malam ini saja, bapak kepingin nunjukin tempat kerja bapak sama kalian"
"kok gak besok saja to pak" jawab anak lelaki yang lain, tubuhnya lebih kecil dari anak yang pertama berbicara.
"bapak maunya sekarang, sudah kalian berdua diam saja ya"
Meski merasa ganjil namun tak ada yang bisa dilakukan oleh dua anak kecil itu, sejak dulu bapak berwatak keras ia paling tidak suka bila permintaannya dibantah namun jauh dari hal itu dua anak lelaki ini tahu bapak sangat sayang kepada mereka, jadi karena itulah malam ini mereka memilih menurut mengikuti kemana bapak akan membawa mereka.
Setelah perbincangan kecil itu, lelaki paruh baya itu melanjutkan perjalanannnya, ia kali ini lebih hati-hati saat melewati jalanan yang nyaris dipenuhi oleh lumpur yang sudah menggumpal, medan semakin lama semakin sulit karena hutan rimba yang mereka telusuri semakin jauh masuk kedalam.
Bergelut dengan waktu dan badai, akhirnya terdengar setitik suara dari beberapa orang yang sedang berbincang diikuti oleh cahaya lampu pijar di setiap sudut lapang yang baru saja di buka, lelaki itu akhirnya bisa bernafas lega, tempat yang ia tuju akhirnya tinggal di depan mata, ia membuka helm lalu menyampirkan mantel hujan membuat kedua anaknya tersadar rupanya bapak menepati janji kepada mereka, ia benar-benar membawa mereka ke tempat bapak kerja.
Dua anak lelaki itu turun dari motor buntut yang dikendarai oleh bapak sampai ke tempat ini, namun ada sesuatu yang aneh, karena saat mereka melihat sejumblah orang yang ada di tempat ini ada tatapan aneh pada sorot matanya, orang-orang yang sebagian besar tidak di kenali oleh anak-anak ini seakan menyimpan pertanyaan dibenak anak- anak ini, apakah mereka rekan kerja bapak? Lalu kenapa mereka melihat kami dengan tatapan seperti ini, Namun dari puluhan orang yang melihat mereka ada sesuatu yang salah, hal ini disadari oleh dua anak ini, hujan masih turun dengan deras, tubuh mereka mulai menggigil kedinginan diikuti tatapan yang sama sekali tidak bisa dibaca oleh mata, rasanya belum pernah mereka melihat rau wajah semuram ini.
Bapak berjalan mendekati salah satu rekannya yang lagi-lagi melihat bapak dengan wajah muram, ia bertanya kepada bapak, "di, koen temen tah bakal ngelakoni iki" (di, kamu itu yakin akan melakukan hal ini) katanya seraya memandang ke tempat anak-anak itu berdiri, ada sorot mengiba seolah-olah wajahnya berkata, "pikirkan, jangan lakukan, ini salah!! Salah"
Namun, bapak tak menjawab pertanyaan lelaki itu, ia justru bertanya tentang hal lain, "nang ndi pak mandor?" (kemana pak mandor?)
Kecewa karena bapak tak menjawab terlihat di wajah lelaki itu, ia lalu menunjuk salah satu tenda, anak-anak baru menyadari tempat ini dikelilingi oleh beberapa tenda yang di bangun sementara, seperti yang dulu bapak ceritakan bila selama bekerja berminggu-minggu, ia mendirikan tenda bersama rekan-rekannya, kedua anak itu tahu bapak bekerja sebagai seorang karyawan pertambangan minyak dan seperti yang dia ceritakan ini adalah lokasi penggalian minyak tersebut.
Bapak lalu memanggil kedua anaknya agar mengikuti dirinya, mereka berjalan melewati sejumblah orang-orang yang berdiri dalam dia mengawasi, lagi-lagi pandangan mereka terlihat aneh, ada kesedihan diraut wajahnya.
Bapak menyuruh kedua anaknya menunggu di salah satu tenda paling besar sementara bapak sendiri melangkah masuk, terjadi percakapan yang terdengar namun sayangnya suara hujan yang masih turun mengaburkan pendengaran tentang apa yang bapak sedang bicarakan tak lama bapak membuka tirai tenda memandang ke kedua anaknya lalu menyuruh mereka masuk.
Dua anak lelaki itu menurut, mereka melihat seorang lelaki paruh baya, mungkin lebih tua dari bapak mengenakan helm proyek, disamping lelaki itu ada seorang lagi yang lain, seseorang yang sedang duduk di kursi goyang, ia menutupi wajahnya dengan kain merah, tak lama berselang lelaki yang kata bapak adalah mandor dalam proyek ini meminta dua anak itu melangkah maju mendekati orang misterius yang sedang duduk di kursi goyang, tak ada yang bisa anak-anak ini lakukan selain menurut, ia mendekat pada orang misterius itu saat-saat dimana tiba-tiba tangannya mengelus kepala anak-anak ini secara bergantian, dari celah kain yang menutupi kepalanya, mereka bisa melihat bibir- berwarna cokelat berkeriput, tak ada yang tahu apa yang dilakukan olah orang misterius itu selain mengelus kepala kedua anak itu secara bergantian kemudian mandor itu mendekat, ia membisiki sesuatu kepada si mandor, entah apa yang dia bisikkan karena setelahnya pak mandor mengatakan kepada bapak.
"siapa nama anak-anakmu ini?"
Bapak dengan sigap langsung menjawab, "yang ini adalah Dayu anak bungsuku, sedangkan ini Bayu anak sulungku"
Orang misterius itu mengangguk, pak mandor lalu berbicara kepada bepak kembali, "koen wes yakin yo, awakmu dewe sing ngajokno diri" (kau sudah yakin ya, karena kau sendiri yang sudah mengajukan diri)
Dua anak itu tidak mengerti apa yang sedang bapak bicarakan, apa maksud dari mengajukan diri, mengajukan diri dari apa,
Bapak mengangguk meski enggan, setelahnya pak Mandor
mengatakan, "nek ngunu sak iki ayok di mulai" (kalau begitu sekarang ayo kita mulai)
Bapak Mandor membisiki bapak, wajahnya tampak tegang, seperti tercengang mendengar entah apa dari mulut lelaki itu, bapak lalu menatap Bayu serta Dayu bergantian, memeluknya sebelum
mengatakan, "dayu melok bapak yok, Bayu nang kene wae yo, mek diluk kok" (Dayu ikut bapak ya, sedangkan Bayu di sini saja dulu, Cuma sebentar kok) suara bapak terdengar berbeda, ia gemetar, apa yang sebenarnya terjadi di sini.
Bapak lalu menggendong Dayu, mereka berjalan keluar dari tenda diikuti oleh sang Mandor, Bayu hanya diam, suasana menjadi hening, sunyi, tak ada suara apapun yang terdengar selain hujan turun, saat itu Bayu menyadari bahwa dirinya berada di dalam tenda hanya berdua dengan orang misterius itu.
Bayu terdiam lama memandang ke sosok misterius itu, ia hanya diam, setelahnya, orang itu lalu berkata, "le, kowe ra penasaran tah ambek dulurmu" (nak kamu gak penasaran dengan apa yang terjadi dengan saudaramu?)
Bayu tak menjawab pertanyaan orang misterius itu, ia memandang dengan sorot mata ngeri karena Bayu baru menyadari bahwa tepat di belakangnya ada seorang wanita tua yang tinggi, ia bersembunyi di balik kursi kayu tersebut, melihat Bayu dengan sorot mata mengancam, melihat hal ini Bayu yang masih tak lebih dari anak-anak berusia 7 tahun, ia melangkah keluar berlari, namun didepan tenda tak lagi di temukan kerumunan orang yang tadi ia lihat, aneh, kemana perginya orang-orang.
Bayu sontak mulai berteriak memanggil-manggil nama bapak namun suara hujan serta gemuruh guntur memudarkan suaranya,
Sampai di satu titik Bayu mendengar seseorang berbicara satu sama lain, Bayu melihat sebuah jalan setapak yang sengaja di babat tak lama, Bayu berpikir mungkin disanalah bapak berada dengan yang lain, Bayu mulai menelusuri jalan kecil setapak itu melupakan sosok wanita tua jangkung yang bersembunyi di belakang orang misterius itu.
Semakin lama semakin jauh Bayu melangkah mulai terdengar suara orang-orang yang berbicara satu sama lain, Bayu akhirnya melihat siluet orang-orang sedang berkumpul memutari sesuatu dengan palang besi besar yang menjulur keatas dengan rantai-rantai berkarat yang diguyur oleh hujan, Bayu bersembunyi dalam semak belukar, mengamati apa yang sedang terjadi, orang-orang itu semuanya memandang ke sebuah lubang di bawah palang besi, tepat di atasnya terdapat tiang runcing dengan geligi, apa yang sebenarnya mereka semua lakukan di sini,
Di dalam pengintaian itu Bayu tak sengaja akhirnya menemukan keberadaan bapak, ia masih menggendong Dayu adiknya, anak itu lebih kecil dari dirinya dan hanya terpaut 2 tahun, Dayu terlihat bingung ia tak henti melihat ke wajah orang-orang, Bayu sendiri bingung untuk apa bapak mengajak Dayu serta dirinya ke tempat ini, belum terjawab pertanyaan Bayu tiba-tiba sesuatu terjadi, sesuatu saat dimana bapak tiba-tiba melemparkan Dayu tepat ke dalam lubang itu dan kejadian itu berlangsung sangat cepat karena belum Bayu sadar apa yang sedang terjadi di sini, Bayu melihat besi runcing dengan geligi itu jatuh melesat masuk ke dalam lubang, desing suara mesin terdengar, besi bergeligi itu berputar hebat seperti mengebor apa yang ada di dalam labung termasuk keberadaan adiknya di sana, karena setelahnya percikan darah memuncrat-diikuti wajah kosong orang-orang itu, Bayu mendengar pekik suara adiknya, ia meminta tolong meminta tolong kepada dirinya.
Bayu tersentak dari tidurnya, sudah lebih dari dua puluh tahun kejadian itu terjadi namun ingatan itu seperti tak pernah bisa lenyap dari dalam pikirannya. Bayu terduduk di atas ranjang bersprei putih itu, ia meringkuk, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, menahan tangis yang begitu hebat, ia tak akan melupakan semua ini, mimpi buruk ini, mimpi buruk ini adalah karena kesalahannya, kesalahan bapak dan SONGKOR yang terikat dengan dirinya.
Bayu berdiri dari tempatnya, ia menatap kearah cermin di meja rias, melihat wajah serta bentuk tubuhnya bertelanjang dada di tutupi oleh seperca celana pendek, ia melirik kearah ranjang tempat seorang wanita sedang tertidur di balik selimut, Bayu meraih pakaian serta tas kain yang ada di atas kursi sebelum melangkah pergi.
di lorong Hotel, setelah melewati pintu lift Bayu berajalan melangkah keluar, ia menuju ke meja resepsionis menyerahkan kunci kamar, seorang resepsionis wanita sontak menatap Bayu dengan sorot mata heran, "bukankah anda menyewa kamar untuk tujuh hari kedepan, anda tidak harus menyerahkannya sekarang"
Bayu tersenyum lalu berkata, "saya harus pergi ada pekerjaan lain" katanya, meski begitu si wanita mencoba untuk berbicara namun sorot mata Bayu yang begitu tajam menghentikan dirinya, belum pernah ia melihat seorang lelaki setampan ini, Bayu meninggalkan meja resepsinonis saat dirinya teringat sesuatu, "oh, saya lupa, mungkin kamar yang saya gunakan lebih baik baru di bersihkan saat jam menunjukkan pukul 12, karena di dalamnya masih ada orang" kata Bayu meninggalkan tempat tersebut, sementara wanita di meja resepsionis hanya diam memandang punggung Bayu yang kekar.
Di dalam mobil taxi, Bayu menyebut sebuah alamat, ia perlahan mulai mengeluarkan isi di dalam tas miliknya, sesuatu seperti kertas berisikan biodata diri dari seseorang, "Mira Ananta "Bayu terdiam memandang ke jendela, ia pernah mendengar, tidak ada yang namanya sebuah kebetulan, pasti ada sesuatu di balik perempuan ini, tak lama Bayu mengeluarkan sesuatu yang lain di dalam tas miliknya, buku dengan kulit seekor kambing cokelat dengan cincin merah delima, cincin yang sama, cincin yang selama ini pemiliknya ia cari, salah satu dari trah pitu.
mobil taxi berhenti di sebuah bangunan rumah, Bayu melangkah turun, ia lalu mengetuk pagar besi itu menunggu seseorang keluar dari sana, Bayu tertuju pada pintu-pintu ruangan tempat kost anak-anak kampus di sekitar sini, setelah menunggu cukup lama, seorang wanita bertubuh gemuk datang mendekat, ia menatap Bayu dengan sorot bertanya- bertanya, "cari siapa ya mas?"
Bayu tersenyum, menunjukkan sikap ramah yang biasa ia tunjukkan kepada orang-orang baru yang ia temui, dengan suara pelan Bayu berkata, "saya mau cari kost buk, di sini terima kost kan?"
Si wanita menatap Bayu dengan sorot menyelidik, ia melihat keatas sampai kebawah lalu melirik papan bertuliskan "kost khusus puteri", Bayu tak menyerah ia lalu berkata, "saya mohon buk, saya
membutuhkannya, apapun akan saya lakukan untuk bisa dapat kost di
sini"
"kenapa harus di sini mas? Banyak kost kok di sekitar sini"
"saya mohon buk," ucap Bayu mengiba, sama seperti wanita lain tak ada yang sanggup melihat Bayu mengiba dengan enggan akhirnya ia bicara, "ya sudah tapi bilang kalau kamu saudara saya ya, karena mau ditaruh dimana muka saya kalau orang tahu saya nerima cowok untuk kost disini, kalau untuk saudara sendiri kan pengecualian, dan satu lagi khusus kamu biaya masuknya 2 kali lipat bagaimana?" wanita itu tersenyum sembari memasang wajah untuk menggoda Bayu,
Bayu mengangguk setuju dengan apa yang di katakan oleh si wanita.
Mereka melangkah masuk menuju ke barisan bangunan tempat kost dimana sepanjang lorong, Bayu melihat 9 pintu berjejer tempat dimana ruangan kost-kost itu berada.
"sebenarnya cuma tersisa 2 ruangan saja sih mas, yang di ujung sana sama yang di ujung ini, masnya mau pilih yang mana?"
Bayu mengamati pintu-pintu tersebut, ia teringat dengan lembaran kertas yang dia bawa, lalu berhenti di salah satu ruangan di tengah, Bayu lalu berkata, "saya mau ruangan ini buk"
Wanita itu tampak tercengang mendengarnya, entah lelaki yang dia temui ini mendengarnya bicara atau tidak karena dia sudah menjelaskan bahwa ruangan yang tersisa hanya di ujung dan ujung, ruangan-ruangan bagian tengah sudah terisi penuh.
"yee, mana bisa mas, kan saya sudah bilang tinggal yang ujung sama yang ujung, yang lain sudah ada penghuninya"
"di sini juga ada penghuninya buk?" tanya Bayu. Wanita itu tampak berpikir, lalu akhirnya berkata, "kalau itu sebenarnya gak ada sih mas udah hampir tujuh bulan ini, tapi yang nyewa tetap bayar katanya dia suka sama ruangan ini"
"siapa yang punya buk?"
"seorang perempuan, sudah lulus sih dari kampus dan dia sekarang bekerja jadi jurnalis tapi apa gunanya saya bicara ini intinya itu ruangan sudah ada yang pakai"
"begini saja buk, kalau sampai wanita itu kembali dan meminta
ruangan ini saya akan berikan, saya akan tinggal di ruangan ujung- ujung ini, tapi seperti yang ibuk bilang dia sudah lama tidak kesini kan, ku mohon buk saya mau disini"
Aneh. Pikir si wanita melihat Bayu, untuk apa lelaki ini melakukan hal seperti ini, sudah untung dia mau menerima dirinya namun lagi-lagi melihat wajah rupawan dari lelaki ini membat wanita ini goyah, "yasudah tapi kalau dia kesini kamu pindah ya"
"iya" Bayu mengangguk,
"tapi ada syaratnya." ucap si wanita, "sewanya jadi dua kali lipat"
Bayu tersenyum, ia menerima tawaran wanita ini, berapapun akan ia bayarkan untuk menjawab rasa pensarannya.
Wanita itu melangkah pergi setelah Bayu menutup pintu kamar kost, ia terdiam lama mengamati ruangan ini, entah kenapa dirinya merasa ada yang di sembunyikan di dalam kamar yang tak lebih besar dari tempat biasa ia tinggal.
Bayu mengamati setiap titik yang dapat ia lihat, sebuah papan bertuliskan jadwal kuliah dengan kertas-kertas menempel yang sebagian besar berisikan mata kuliah, ruangan ini tak tertata dengan rapi namun masih terlihat cukup terawat, apakah wanita si pemilik tempat ini selalu membersihkan ruangan ini, entahlah, lagi-lagi, Bayu menyebut namanya, "Mira Ananta, siapa kau sebenarnya" di tengah pikiran berkecambuk tiba-tiba Bayu baru saja menyadari, ia mendekat kearah papan tulis, menyentuhnya, meraba serat kayu yang ada di samping di-mana rasanya ada yang berbeda saat Bayu merasakannya, Bayu lalu mengangkat papan kayu itu, membaliknya dan apa yang ia cari akhirnya dirinya temukan,
Sesuatu yang membentuk sebuah pola dengan kertas koran yang di tulis dengan spidol berwarna hitam pekat, "JANUR IRENG TELAH DI TUNAIKAN"
Dahulu ada sebuah cerita yang begitu terkenal, tentang sosok seorang wanita tua bernama Nyai gerowok. Postur tubuhnya bungkuk dengan satu kaki bengkok, kulit tubuhnya bergelambir, wajahnya keriput mengerikan, dengan sesuatu yang menonjol dipunggungnya-yang entah apa itu. Desas-desus mengatakan bahwa ia jelmaan dari siluman penghuni KOLOJIWO, rumor lain menyebut ia dulunya adalah seseorang manusia biasa sebelum bertapa dan menuntut ilmu hitam "Palawangsa" sehingga semenjak saat itu ia dikutuk menjadi sosok iblis yang menjaga hutan belantara Kolojiwo, ia memiliki bola mata hitam pekat dan bersemayam dibalik gelapnya lorong di hutan belantara yang gelap gulita, meski namanya dikenal begitu menakutkan seperti membawa malapetaka namun ada sebuah rumor lain, bahwa, dibalik fisik ganjil yang ia miliki, ia dapat memberikan sesuatu diluar akal batas manusia biasa. Kekayaan, kehormatan atau apapun yang selalu diinginkan oleh manusia, tetapi, semua itu harus ditebus dengan satu tumbal garis kematian "Pasajala". Nyawa dari anak-anak kecil yang tak berdosa atau anak-anak yang belum melewati masa
baligh'kehidupannya. Ia tak pernah puas, baginya darah anak-anak adalah sumber kehidupan dari kutukan yang harus ia pikul.
Bayu Saseno melihat kembali secarik kertas dari lembaran didalam buku kulit yang ia miliki, disana ada guratan pensil yang membentuk gambar wajah seorang wanita tua, iblis itu, ia sudah melangkah sejauh ini, tak ada alasan lagi bagi dirinya untuk mundur, cepat atau lambat Songkorakan kembali, menemukan jalan hitamnya lagi, ia harus segera bergegas. Cepat atau lambat ranjat dari batang bunga Wijayakusuma akan menemukan alumnya sendiri begitu juga dengan dirnya.
Malam itu begitu dingin, Bayu meninggalkan tempat kost, la berjalan sendirian, menapaki selangkah demi selangkah jalanan yang kosong sampai tanpa disadari oleh dirinya ia sudah berada didepan sebuah gapura pasar, tak ada orang sepanjang jauh mata memandang, Bayu melangkah masuk kedalam tempat itu, ada yang harus ia cari dan lakukan sebelum melanjutkan rencana yang entah apakah mungkin akan berhasil. Bidak catur sedang dimainkan oleh dia yang masih bersembunyi menunggu bagaimana semua ini menemui ujung.
Di lorong gelap pasar, pemandangan ruko yang sudah terkunci disana- sini terlihat muram, Bayu masih berjalan sendirian, matanya awas menatap kesekeliling, mencari sesuatu yang entah apa itu. Terlihat warung-warung kosong dengan pencahayaan tembaram, ia berjalan melewati jalanan sepi itu sembari sesekali mencoba memasang pendengaran dari kesunyian yang semakin lama semakin terasa menusuk ke tulang-tulang di dalam tubuhnya, sampai suara itu mulai terdengar di telinganya. Bayu berhenti, ia diam, matanya mengawasi sekeliling hingga la menangkap sosok itu, sosok seorang wanita yang mengenakan kerudung merah delima tengah berdiri disalah satu gang pasar, la menatap Bayu sesaat sebelum ia berjalan pergi, lalu
menghilang, Bayu mengejar sosok wanita itu, di lorong-lorong gang yang semakin gelap Bayu melihat sesuatu, sebuah warung dengan sorot cahaya lampu yang terang, mungkin di sini adalah satu-satunya warung yang masih buka di tempat ini, Bayu melangkah masuk meski di sana tak ada satu pun pengunjung.
"mau minum apa?"
"koyok biasane yo" (seperti biasanya ya)
Wanita asing itu segera menyajikan apa yang diminta oleh Bayu, ia meletakkan segelas the tanpa gula tepat dihadapan Bayu sementara wajah wanita itu masih menunduk, Didalam suasana yang hening itu tak ada satupun dari mereka yang memulai pembicaraan.
Sampai akhirnya Bayu, mulai berkata. "yo opo, opo gurung onok kemajuan?" (bagaimana, apakah masih belum ada kemajuan?)
"dereng mas" (belum ada) kata si wanita menjawab, "sak iki mung kene isok pasrah, soale waktu'ne kene tambah suwe tambah entek" (sekarang kita hanya bisa pasrah, karena waktu kita semakin habis).
Wanita itu meraih sebuah koran sebelum membuka lembar per-lembar lalu meletakkannya dihadapan Bayu, Bayu melirik salah satu headline dimuka halaman koran tentang, "Seorang wanita gila penghuni rumah sakit jiwa Joglowatarta yang kembali membakar sebuah rumah untuk kali ketiga dalam kurun waktu 1,5 tahun terakhir"
"cah iku wes ra kuat nanggung bejana teko Songkor mas, sampeyan sek berharap karo cah iku" (anak itu sudah tidak sanggup menanggung beban yang menurun dari Songkor mas, apakah dirimu masih berharap dengan anak itu)
Bayu memilih diam, sorot matanya tak bisa ditebak, ada keraguan dibalik sikapnya meski keyakinan itu masih ada, lama la merenung, Bayu kemudian memilih mengatakan hal lain, "aku kudu muleh nang Wangsa onok sing tak goleki" (sepertinya, aku harus pulang, kembali ke Wangsa karena ada yang harus kucari terlebih dahulu)
"Wangsa?" wajah wanita itu berubah, ada ketegangan di dalam raut
mukanya, "bukane sampeyan gak akan kembali ke tempat yang paling terkutuk itu"
"aku dibesarkan di sana, meski ada mimpi buruk yang masih bersembunyi di sana tak ada jalan lain lagi, aku harus melihatnya kembali" sahut Bayu, wanita itu mencoba untuk mengerti, ia duduk memandang pemuda yang ada dihadapannya ini, mengingat bagaimana mereka bertemu, ia tak akan melupakan semua setelah rentetan kejadian itu terjadi, "aku jadi ingat" kata si wanita itu, "bukankah Erna yang mengikuti saranmu agar membantu Sabdo juga berasal dari Wangsa"
Bayu menatap kosong tembok yang ada dihadapannya, pikirannya menerawang jauh, mendengar nama "Erna" Bayu merasa bahwa ia rupanya tak lebih dari seorang pemuda yang tak dapat memprediksi segalanya, ia tak akan pernah memaafkan wanita itu meski sekarang ia harus membayar harga dari perbuatannya namun dilain hal suatu hari nanti Bayu pasti akan membutuhkan dirinya, Bayu berdiri setelah menyesap isi dalam gelas, sejenak ia memandang wanita itu, "Erna sudah tidak ada lagi-semua ini masih panjang"
"mau pergi sekarang?"
"saat ini kupasrahkan tugas itu untukmu, bawalah Atmojo kecil itu untuk melihat siapa dirinya yang sebenarnya biarkan dia memilih jalannya sendiri, bila memang ternyata nanti takdir membawa dia sebagai orang yang akan berhadapan dengan kita nanti, kuharap kita sudah siap dengan hal itu"
Wanita itu mengangguk,
"aku pergi dulu, Mayang" kata Bayu sembari berjalan meninggalkan tempat itu.
"pak, iling, anakmu siji iku gak muleh, sak iki awakmu kate nggowo anakmu sing liyane!! Gak isok!!" (pak, ingat, anakmu sudah tidak pulang satu, sekarang kamu mau bawa anakmu yang lain!! Tidak bisa!!)
Di tengah sebuah ruangan gema dari suara mak dan bapak terdengar di telinga Bayu yang sedang duduk meringkuk di atas ranjang, suara pertengkaran mereka terdengar jelas karena hanya terpisahkan oleh sekat bambu di dalam rumah, Bayu bisa mendengar apa yang bapak katakan, la ingin membawa Bayu kepada seorang lelaki yang menginginkan dirinya menjadi anak asuh, sedangkan Bayu sendiri sudah melihat apa yang bapak lakukan terhadap adiknya Dayu yang tak akan pernah bisa ia maafkan, meskipun bapak sudah menjelaskan bahwa ada kesalahpahaman namun Bayu tak akan pernah melupakannya meski ia tak sanggup mengatakannya kepada ibu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Di sela pertikaian itu tak lama terdengar suara mobil datang, Bapak dan ibu berhenti sebentar, mereka memandang kearah jendela persis seperti apa yang Bayu lakukan dari jendela kamar, tak lama seorang supir keluar sebelum membukakan pintu untuk seseorang, Bayu tercekat menatap wajah itu, lelaki tua yang ia lihat di malam kematian Dayu, lelaki itu mengenakan tongkat seperti sebelumnya, sang sopir ingin membantu namun urung saat lelaki itu memberi gestur bahwa dirinya bisa berjalan sendiri, bapak yang melihat hal itu lantas membukakan pintu, mengijinkan lelaki itu masuk dan duduk di sebuah kursi di dalam rumah tepat di ruang tengah, tak ada percakapan banyak yang bisa Bayu dengar hanya nominal uang dan masa depan Bayu langsung bisa membuat ibu tak bisa menolak, seperti ada sesuatu yang membuat ibu tak berkutik lelaki itu menunduk sebelum menatap wajah Bayu yang bersembunyi mengintip dari sekat tiang bambu, "kulo pinarak rumien" (saya pamit dulu), "kulo entosi Bayu ten Wangsa nggih buk" (saya tunggu kedatangan Bayu di Wangsa, ya, buk)
Bayu terkesiap, ibu tak dapat berkata apa-apa, bapak segera bergegas mengantarkan lelaki tua itu dimana tepat di belakangnya seorang wanita bungkuk menyeringai mengikuti dirinya, Wangsa, ada apa dengan tempat itu, Bayu merasa merinding saat mendengarnya.
Langit terlihat mendung, terdengar suara ber'kecipuk saat sebuah tapak kaki melangkah turun dari lantai bus ketika sosok Bayu terlihat keluar sebelum menginjak lumpur di bawahnya, ia berdiri, sejenak, memandang ke wajah sopir yang tak henti-henti melihat dirinya dengan sorot mata penasaran. Bahkan, Bayu masih mengingat dengan jelas bagaimana perubahan ekspresi lelaki paruh baya itu memandangi Bayu dengan sorot mata menyelidik, saat tahu, dirinya akan turun di sisi tepi jalan tepat di tengah-tengah hutan belantara. Melihat badan gembul si sopir serta suara kasarnya membuat Bayu teringat dengan sosok almarhum ayahnya, sosok yang sebenarnya ingin Bayu lupakan karena telah membawa satu-persatu petaka masuk ke dalam hidupnya.
mungkin saja usia mereka sepantaran bila saja lelaki itu masih hidup. Tapi sayang, iblis seperti ingin menariknya cepat-cepat, membenamkan dirinya ke tanah neraka paling jahanam.
"njenengan temen to mas arep mudun nang tengah alas niki?" (anda ini benar-benar mau turun di tengah hutan seperti ini?)
Bayu mengangguk, si sopir masih belum yakin dengan jawaban pemuda dihadapannya ini, ia memandang Bayu dari bawah hingga atas lalu sekali lagi menanyakan hal yang sama yang dibalas oleh Bayu dengan jawaban yang sama pula, tidak menyerah, si sopir kembali mengingatkan, ia berharap pemuda di hadapannya ini sedang mabuk atau tidak sadar serta tidak tahu tentang rumor apa yang tinggal di dalam hutan belantara ini.
"Mas, tak peringatke, alas iki angker, njenengan ojok aneh-aneh mas, wes melok aku ae nek njenengan butuh opo-opo, ojok golek jalan pintas ngeten mas" (Mas, ku peringatkan, hutan ini angker, anda jangan macam-macam mas, sudah ikut saja denganku bila memang anda butuh sesuatu, jangan mencari jalan pintan seperti ini) kata si Sopir belum menyerah untuk mengingatkan Bayu.
Bayu mengangguk, melihat wajah si sopir dengan sorot mata bertanya. "maksude njenengan golek dalan pintas?"
"njenengan bade golek pesugihan kan?"
Bayu seperti ingin tertawa, namun ia segera urungkan, sebelumnya, ia memang sudah tahu akan hal ini, hutan ini sudah nyaris terkenal di seujung negeri, tempat dimana orang-orang putus asa konon bisa mencari pesugihan untuk mendapatkan apa yang diinginkan dengan cara yang instan, namun kedatangan Bayu ke tempat ini bukanlah semata untuk hal bodoh seperti itu, melainkan, ia ingin mencari sesuatu yang mungkin masih tertinggal, tempat dimana orang itu mungkin saja masih menyimpannya, ia ingat jelas setiap detik serta detail bagaimana orang itu memperlakukannya di tempat ini, namun berkat dirinya, Bayu bisa tumbuh dan belajar, serta tahu rahasia-rahasia yang tak seharusnya ia bawa, Wangsa. Bayu harus kembali ke tempat bernama Wangsa itu guna menguak keganjilan yang sekarang seperti ia temui di persimpangan.
Si sopir hanya mengedek-ngedekan kepala, sekeras apapun ia mencoba mengingatkan Bayu tapi pemuda itu tetap saja menolak semakin keras, menyerah dengan apa yang Bayu tunjukkan si sopir kemudian menutup pintu bus lalu menginjak gas, seketika itu juga bus kembali melaju meninggalkan Bayu seorang diri di tepi jalan, tak lama setelah Bus lenyap di penghujung jalan, Bayu berbalik menoleh pada sebuah jalan setapak, sebuah jalan yang sangat ia kenal.
Hujan rintik mulai turun, berbekal topi jaket yang ia kenakan Bayu menelusuri jalan setapak itu sendirian, dipunggungnya, ia membawa tas cokelat kecil untuk menyimpan barang-barang yang sudah ia persiapkan sebelum sampai di tempat ini.
,Melewati sela-sela dari jalan yang berlumpur, Bayu terus melangkah maju, dibayangi oleh bayangan pohon-pohon tinggi yang rindang Bayu melangkah beradu dengan waktu sebelum sore-dan malam tiba.
ia harus segera bergegas bila tak mau kegelapan malam tiba lebih dahulu sebelum dirinya menginjakkan kaki di tanah Wangsa.
Ingatan itu muncul kembali saat pertama kali dirinya di-bawa oleh dia dengan kereta kuda menuju ke tanah Wangsa.
waktu itu malam hari, di-atas kereta kuda, di samping lelaki tua itu Bayu sedang duduk. la melihat keluar jendela tempat bayangan- bayangan seperti sedang bersembunyi di balik ratusan pepohonan sepanjang jalan tempat mereka menyusuri gelapnya hutan, Bayu bisa melihat mereka seperti memandang dirinya dengan sorot mata yang kosong, mengintip, menunggu waktu yang tepat untuk mendapatkan Bayu, sosok-sosok hitam itu menyerupai manusia berwajah buruk rupa yang terkadang membuat Bayu masih merinding bila mengingat hal ini. Roda kayu yang menjajaki batu-batu kerikil kecil membuat Bayu beberapa kali berjengit karena terkejut, sementara, si lelaki tua tak bicara apa-apa, ia hanya duduk diam, tenang sembari satu tangannya merengkuh pendulum diujung tongkat. Bayu tak berani melihatnya, sesuatu seperti perasaan segan saat melihat wajah si lelaki tua berkumpul diatas punggungnya, menggetarkan rasa ngeri yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Bayu tahu bahwa lelaki tua ini bukanlah orang biasa.
Saat itulah, Bayu melihatnya. Wangsa.
Siapa sangka, di tengah hutan ada sebuah bangunan besar yang di- bangun dari batu-bata solid menyerupai bangunan tua khas peninggalan belanda dengan taman-taman yang masih terawat, kereta kuda berjalan masuk, tak lama terlihat sosok seorang perempuan keluar dari pintu, ia setengah berlari menggunakan tudung berwarna putih transparan di kepala dengan pakaian kebaya dan jarik mendekat lalu membuka pintu kereta kuda, si perempuan di-bawah wajah yang tertutup tudung itu lalu mencium tangan si lelaki tua, memanggilnya dengan sebutan. "pamong".
"yo opo kabare Wangsa, ni?" (bagaimana kabar Wangsa, ni?) tanya si lelaki.
Wanita itu bersimpuh, berkata dengan suara yang tegas, "kabeh sing nang kene apik, monggo" (semua yang disini baik-baik saja, silahkan) Dengan langkah pelan Bayu melompat turun dari dalam kereta kuda, saat itu ia langsung bisa merasakan sengatan dari tatapan tajam wanita itu di-balik tudung berwarna putih transparan, Bayu masih bisa melihat bayangan rambut hitamnya di sanggul.
"Bayu Saseno, iki mengko bakal dadi murid anyar nang Wangsa iki, duduhno nang ndi kamare" (namanya Bayu Saseno, nanti dia akan menjadi salah satu murid baru di Wangsa ini, tunjukkan kepadanya dimana kamarnya berada)
Si wanita mengangguk, berkata, "nggih, Pamong"
Suara gema dari langkah kaki wanita itu terdengar di-sepanjang lorong yang tak terlalu terang kecuali dari cahaya lilin dibeberapa titik. Sepanjang jauh mata memandang Byau bisa melihat pintu-pintu itu berjejer, saling berhadap-hadapan satu sama lain, Bayu terus berjalan mengikuti si wanita yang sedari tadi hanya diam saja menuntun dirinya, tak ada satu kata pun yang keluar dari dalam mulutnya untuk sekedar bercakap-cakap dengan Bayu. Sosoknya benar-benar tegas, wajahnya keras dan sepertinya tak ada ampun bagi dirinya kepada siapapun, di- salah satu persimpangan Bayu terus mencoba mengejar namun langkah kaki wanita itu semakin lama semakin cepat hingga akhirnya tiba-tiba ia sudah lenyap tak lagi terlihat di-hadapannya.
Bayu terdiam sejenak melihat keseliling, mencari kemana perginya si wanita sebelum ia melihat sesuatu di ujung lorong sedang berdiri memandangi dirinya. Bayu terdiam, matanya fokus melihat sosok itu yang entah kenapa terasa familiar di dalam kepalanya.
Seorang nenek tua, rambutnya panjang nyaris menyentuh lantai- menatap kosong ke tempat Bayu sedang berdiri, ia bungkuk lagi-lagi menunjukkan tonjolan di belakang lehernya, sosok itu lalu menyeringai kepada Bayu sebelum berjalan menepi dan menghilang dibalik bayangan tembok, sebelum ia lenyap, ia sempat memberikan gestur telunjuk jarinya tepat di depan bibir seolah-olah sedang mengatakan kepada Bayu, bahwa ia tak boleh menceritakan kehadiran dirinya kepada siapapun.
Bayu meraih sebotol air dari dalam tas, meminumnya, ia menghela nafas panjang sembari memandang ranting dedaunan di-atas kepalanya. Tinggal sebentar lagi, ia akan sampai ke tempat itu.
Bayu menyingsingkan kembali tas cokelat miliknya, lalu mengusap keringat dikeningnya, "ni Entirah" nama itu tiba-tiba muncul di kepalanya.
Ni Entirah, Pamong wanita yang bertugas mengantarkan Bayu malam itu di kamarnya, sosok tegas dan keras yang kelak akan menjadi saksi bisu keghaiban dari tempat bernama Wangsa itu, Bayu mengingat kembali mencoba mengorek-orek kepingan setiap ingatannya.
Sesuatu yang gelap itu apakah masih ada disana. Menunggu dirinya setelah peristiwa itu terjadi, entahlah, karena setelah kakinya menjajaki tanah yang bergumul naik, Bayu melihat gerbang besi itu.
Gerbang besi putih yang sama yang kini ditumbuhi oleh tanaman menjalar di seluruh bagian-bagiannya, di-baliknya terlihat bayangan hitam dari bangunan yang masih teringat jelas di dalam kepala Bayu.
"makhluk itu apakah masih bersemayam di-sana" batin Bayu, melangkah mendekat.
Anak tangga di dalam Wangsa terbuat dari susunan kayu dengan model gothic seperti peninggalan jaman belanda, terlihat rapuh, namun, nyatanya, masih begitu kokoh, saat Bayu menginjakkan kaki diatas tangga, suara ber-" kriet" terdengar begitu jelas, namun, anehnya, berbeda dengan ni Entirah, ia menginjak tangga kayu yang sama, namun, langkah kakinya tak menimbulkan suara sedikitpun seoalah- olah wanita itu tak memiliki bobot di dalam tubuhnya.
"nak, rungok'ke ibuk ngomong" (nak, dengarkan saat ibu bicara ya) katanya sayup-sayup dalam nada suara yang dingin, "ben sorop tekan, kabeh bocah-bocah kudu wes nang jero kamar, ora oleh gok jobo, iling. ilingen pesen'e ibuk iki yo" (setiap Surup datang, semua anak-anak harus sudah ada di dalam kamar, tidak boleh ada satu anak pun yang masih berada di luar, ingat pesan ibu ini)
Bayu kecil mengangguk, menurut. setelah melewati tangga yang berjalan memutar, akhirnya sampailah mereka di sebuah lorong ruangan yang lain, dari salah satu pintu berjejer, ni Entirah berhenti, ia merogoh ke dalam baju kebayanya, mengeluarkan segelincing kunci di- sana, dibukanya pintu tua berwarna cokelat itu, dengan lembut ia mendorong Bayu agar masuk ke dalam ruangan itu, sebelum, wanita paruh baya itu berjalan mengikuti.
Ruangan itu gelap, tak ada cahaya satupun di-sana kecuali biyas terang dari luar Wangsa yang melesat masuk melalui jendela, ni Entirah
membersihkan debu di atas dipan, lalu menyuruh Bayu kecil untuk segera naik.
"mulai mene kamar iki dadi kamarmu, bersenono mene yo nak" (mulai besok, tempat ini akan menjadi kamar milikmu, bersihkan besok ya nak)
Bayu mengangguk, ketika wanita itu akan menutup pintu tiba-tiba ia berhenti lalu memandang ke tempat Bayu sedang berbaring, "ibuk lali, mene, kowe bakal nduwe konco nang kene" (ibu lupa mengatakannya, besok, kamu akan memiliki teman yang tinggal di kamar ini) setelah mengatakannya, wanita itu berjalan pergi, seperti sebelumnya, tidak ada suara yang keluar saat dia meninggalkan tempat ini. Wanita yang aneh. Pikir Bayu saat itu.
Kini, Bayu seorang diri hanya bisa menatap ke langit-langit, ia tidak
tahu alasan kenapa orang tua itu membawa dirinya ke tempat ini, Bayu termenung, ia merindukan belaian ibunya saat malam datang, bersama dengan adiknya, mereka akan mendengar suara ibu-nya bersenandung, mengalun, menidurkan mereka, namun sekarang, Bayu hanya akan mengingat satu hal di dalam hidupnya seumur hidup, itu adalah saat- saat terakhir dirinya melihat adiknya berteriak sebelum digilas oleh mesin biadab itu.
Perlahan-lahan, mata Bayu mulai merasa lelah, sesekali ia terpejam sebelum terbangun lagi dari kantuknya, ia tidak bisa membohongi bahwa tempat ini begitu asing bagi dirinya, Bayu merasa tak nyaman, namun, dirinya tak bisa berbuat apa-apa, bila ia nekat pergi dan meninggalkan tempat ini apakah hal itu mungkin bagi dirinya. Kemana ia akan pergi sementara di sekitar bangunan ini, Bayu tahu hanya ada hutan belantara yang liar, bisa saja ia mati lebih dahulu di dalam hutan, mata-nya kembali terjaga melihat ke langit-putih dengan ukir-ukiran usang saat dari bawah pintu Bayu mendengar suara kecil, suara kemeresak saat seseorang menggesk lantai yang terbuat dari kayu.
"Sekkk!!" "Sekkkk!!!" Bayu melihat kearah pintu, suara itu terdengar semakin jelas mendekat ke tempatnya sedang berbaring, "Sekkkk- Sekkkk!!"
Bayu tercekat dalam diam, ruangan itu mendadak menjadi sunyi, tak ada suara lain yang terdengar ditelinganya kecuali suara misterius tersebut.
Tiba-tiba, Bayu melihat sebuah bayangan baru saja melintas dari bawah pintu, diikuti suara yang masih belum jelas siapa pemiliknya. "Sekkkk
Semakin lama, suara itu kian terasa jauh, Bayu termenung memikirkan "siapa?" "siapa yang melakukan ini?"
Saat di-rasa semua sudah mulai tenang, Bayu tercekat tertuju pada pintu, la melihat dengan jelas bahwa pintu kamar Bayu sedang coba di buka paksa, "gladakdakakak!!!" knop pintu bergerak keras seolah-olah siapapun yang ada di luar sana sedang mencoba merangsek masuk ke dalam ruangan tempat Bayu masih termangu mematung, seseorang ataukah sesuatu yang sedang mencoba membuka paksa pintu, namun, pintu sudah dikunci oleh ni Entirah seakan-akan wanita itu tahu bahwa bila ia tak mengunci pintu ini akan ada yang datang ke tempat ini, meski begitu, Bayu tetap merasa takut, ia tersentak mundur, menyudut di tembok paling ujung, ia berusaha sekeras mungkin untuk tak menimbulkan suara sedikitpun.
Knop pintu masih berputar-keras, diikuti oleh suara ketukan yang tak berjeda, terus menerus mengetuk membuat Bayu merasa terancam, setelah lama waktu berlalu lagi-lagi hening. Tak ada suara apapun lagi, apakah dia sudah pergi, pikir Bayu.
Ada keingintahuan yang kuat yang membuat Bayu merasa penasaran, siapakah itu? Namun, sisi lain dari diri Bayu menolak keras bahwa mungkin saja, siapapun itu masih berdiri di-sana, menunggu Bayu membuka pintu, tapi tetap saja, tak ada yang bisa menahan godaan dari rasa penasaran hal ini, juga berlaku bagi seorang Bayu kecil karena tanpa sadar, ia sudah berjalan turun dari dipan lalu berdiri tepat di depan pintu dengan satu tangan memegang knop, Bayu termenung sejenak, ia tahu pintu ini di kunci oleh ni Entirah jadi dirinya pun tak akan bisa membuka pintu ini sebelum, sorot matanya menangkap sesuatu di-atas meja, kilatan familiar yang ia kenal, rupanya di-sana tergeletak kunci lain.
"apakah itu adalah kunci untuk pintu ini?" tanya Bayu kepada dirinya sendiri, ia pun meraih benda mungil berkilap itu, dengan sadar, Bayu memasukkan kunci misterius yang ia temukan itu ke dalam pintu cokelat yang melindungi dirinya dari siapapun yang ada di luar sana. Perlahan, Bayu terdiam sejenak, pikirannya melayang jauh terbang, sebelum, "klik" Bayu sadar, bahwa kunci yang ia temukan cocok dengan pintu kamar ini, jantung di dalam tubuh Bayu tiba-tiba berdegup lebih cepat dari biasanya, asma yang sudah lama ia derita tiba-tiba muncul serta membuat pernafasannya mulai goyah, namun, Bayu menegsampingkan semua itu, ia membuka pintu,
membiarkannya terbuka lebar namun, aneh. Tak ada siapapun yang berdiri di luar sana.
"lalu, siapa yang tadi menggedor-gedor pintu miliknya?"
Bayu berniat menutup pintu kembali saat-tiba-tiba sesuatu keluar dari arah samping, tangan kurus, panjang, berwarna putih pucat, menahan pintu lalu membuat Bayu tercekat mundur terutama saat sosok itu menunjukkan wajahnya, seorang wanita tua jangkung, tingginya tidak normal, nyaris setinggi pintu, ia membungkuk, dengan mulut terbuka lebar, ia menyeringai tepat di depan wajah Bayu sebelum tangannya yang sepanjang pelilis menyentuh kepala Bayu kecil, membuat anak itu kehilangan kesadarannya, karena setelahnya, ia melihat sebuah pemandangan di samping meja makan yang panjang.
aroma dari makanan yang tumpah ruah di atas meja makan panjang terlihat sejauh mata memandang, Bayu berdiri diantara mereka namun anehnya seperti tak ada satu orang-pun yang menggubris kehadiran dirinya. Aneh. Bayu berjalan mendekat, melihat di balik meja panjang ini tersusun kursi-kursi kayu yang dipilin dengan warna cokelat terang, dimateras dengan beludu berwarna merah tua.
Begitu megah. Begitu mewah.
Bayu masih belum mengerti dimana diirinya sedang berada, ia hanya mengamati bahwa di-sana ada banyak lelaki berusia uzur, beberapa kursi di huni oleh wanita yang mengenakan sanggul, namun, yang sama dari mereka semua adalah, pakaian yang mereka kenakan, pakaian berwarna hitam dengan bahan halus yang dijahit dengan tenun. Jenis pakaian ini tak banyak dimiliki oleh orang biasa kecuali orang-orang yang memiliki nama dan kekayaan yang melimpah, hal ini, membuat Bayu kecil penasaran, siapa-orang-orang ini.
Bayu berjalan memutari mereka, memperhatikan wajah-wajah senang itu, beberapa sedang bersenda gurau, beberapa yang lain sedang bercakap sambil sesekali tertawa bahagia, mereka tampak menikmati pesta makan ini, diikuti oleh hilir mudik para abdi-abdi perempuan yang membawa makanan lagi dan lagi meletakkannya di atas meja, Bayu juga beberapa kali mendengarkan percakapan mereka mulai dari "bagaimana kelancaran bisnis" "bagaimana menguasai suatu wilayah" "bagaimana mengumpulkan uang yang lebih banyak" sayangnya, Bayu tak mengerti sama sekali apa yang sedang mereka bicarakan
sebenarnya, sampai, Bayu tersadar akan sesuatu, tepat di ujung meja da satu kursi yang dipilin paling indah, berwarna putih cerah dengan beludu berwarna merah terang. Kursi itu juga jauh lebih besar dibandingkan dengan kursi kursi yang lain, diukir dengan pola indah bermotif daun-batang dan bunga yang akan membuat siapapun
terkagum-kagum saat melihatnya.
"kenapa kursi itu kosong?" pikir Bayu, semua orang masih terfokus dengan urusannya, sebelum, sesuatu terjadi, pintu tiba-tiba terbuka lebar lalu terlihat seseorang melangkah masuk, ia berjalan terseok- seok, sebelum jatuh dan menghantam lantai, seorang lelaki tua dengan rambut putih panjang, meski kepalanya baru saja menghantam lantai, lelaki tua itu masih bisa bergerak, ia merangkak menggunakan kuku jarinya, sembari sesekali kedua kakinya-menendang-nendang, sejenak di dalam ruangan itu semua orang diam, tak ada satupun dari orang- orang yang ada di sini berbicara, mata mereka terfokus pada si lelaki tua yang seperti sudah tak berdaya, Bayu menyadari bahwa wajah lelaki tua itu dipenuhi oleh darah, tak beberapa lama, terdengar seseorang melangkah masuk, ia berjalan dengan tenang, seorang yang mengenakan pakaian hitam yang sama, di-kepalanya ia mengenakan belangkon berwarna cokelat hitam, ia berjalan mendekati si lelaki tua yang kini mulai berteriak histeris.
"KOEN GAK ELENG SOPO SING GOWOK KOWE!! BANGSAT!!" (APA KAU TIDAK INGAT SIAPA YANG BERJASA MEMBAWA DIRIMU!! BANGSAT!!)
Tak ada suara, hanya teriakan si lelaki tua beruban, lelaki itu masih berjalan begitu tenang,
"MONOKOLO KUNCORO BAKAL MBALES KELUARGAMU SAMPE-" (MONOKOLO KUNCORO AKAN MEMBALAS KELUARGAMU SAMPAI-)
Belum selesai bicara, tiba-tiba, lelaki yang sedari tadi berjalan mendekat menancapkan sebilah golok tepat di tengkorak lelaki tua itu dan langsung menghabisinya, Bayu tertegun melihatnya, ia berjalan mundur, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, saat sadar, Bayu mendengar semua orang yang ada di dalam ruangan ini tertawa- terbahak-bahak, mereka melanjutkan pesta tanpa memperdulikan seorang manusia yang baru saja tewas dan dihabisi, ada apa dengan orang-orang ini, sentakan rasa sakit tiba-tiba muncul di dalam kepala Bayu, rasa sakit itu teramat sangat seperti ingin memecahkan isi kepala Bayu, samar-samar pemandangan di tempat ini perlahan memudar, Bayu melihat sesuatu, makhluk yang dia lihat di Wangsa berdiri di sudut ruang, menyeringai-sebelum semua lenyap begitu saja.
Bayu terbangun di atas ranjang, di sampingnya lelaki tua yang membawa dirinya ke tempat ini sedang duduk memandang dirinya. la tersenyum, senyum misterius,
"Seniman Mimpiku wes tangi" katanya lembut.
Bayu belum pernah melihat laki-laki tua yang ada dihadapannya ini, wajahnya kuyuh, penuh dengan keriput, rambutnya berwarna putih tipis dengan tubuh jenjang yang kurus kering. Laki-laki misterius itu duduk di atas sebuah kursi kulit di depan meja kayu yang terbuat dari bahan jati murni yang dipilin sampai halus mengkilap, la mengenakan setelan jaket dari bahan beludu dengan pakaian berwarna putih pada bagian dalamnya, sementara pada bagian bawah tubuhnya la memakai setelan celana dari bahan kain berwarna hitam dengan sepatu kulit pantofel yang memiliki sudut tajam.
Dalam posisi duduk, la melihat Bayu dengan bola mata berwana abu- abu menyerupai sebentuk kelereng yang biasa Bayu mainkan ketika di rumah.
Ada sesuatu pada dirinya yang membuat Bayu merasa ngeri ketika memandangnya, terutama gestur ekspresi wajahnya yang kosong menatap ke tempat Bayu sedang berdiri. Sosok itu lalu berbicara dengan nada suara serak, semburan nafas-nya tampak terengah-engah, seakan memberitahu bila tubuh ringkih yang dimiliki oleh laki-laki itu sudah tidak sanggup lagi menopang kehidupannya.
"Anakku, Bayu Saseno, selamat datang di dalam keluarga Wongso", katanya seraya melemparkan senyum yang paling menakutkan, Bayu masih tidak mengerti, sebenarnya dimana keberadaannya saat ini. Kenapa Ayahnya sendiri setega ini menjual dirinya kepada seseorang yang sama sekali tidak dirinya kenal ini.
Laki-laki tua itu lalu berdiri, dengan langkah kaki gemetar, la mendekati Bayu, "wes suwe aku ngenteni kowe, salah siji tekan Kudro sing bakal ngerubah mlakune Ranjat kembang, nanging, aku kudu memperingatno awakmu, soale, iki bakal dadi penentuan nang ndi akhir riwayat'e soko Rogot nyowo sing bakal kedaden nimpo keluargaku" (Sudah lama aku menunggu dirimu, salah satu dari Kudro yang akan merubah jalannya Ranjat kembang, namun, aku harus memperingatkanmu terlebih dahulu, karena, ini akan menjadi penentu akhir dari riwayat Rogot nyowo yang akan menimpa keluargaku), laki- laki tua itu lalu berjalan menuju ke sebuah lemari kayu dengan banyak sekali buku-buku lama tersusun rapi dibalik rak-rak, tangannya yang kurus kering seperti tulang berbalut kulit tipis, meraih satu buku yang paling tinggi, memungutnya sebelum membuka lembar per-lembar halaman di dalamnya, la menatap Bayu Saseno kecil, lalu berkata kepadanya, "KOLOJIWO, sebagai awal dari perjalananmu yang kelak akan sangat panjang, aku bakal ndudui awakmu opo iku KOLOJIWO"
kedua tangan Bayu diikat menggunakan tali tampar, la digiring di sebuah lorong gelap dengan ubin yang terasa dingin, tanpa diberitahu terlebih dahulu, Bayu dipaksa terus berjalan menyusuri jalan-an yang semakin gelap ini, di-belakangnya sosok wanita yang sudah dirinya kenal lebih dulu, mengikuti, Ni Entirah, wanita itu mengenakan pakaian berwarna putih dengan motif bunga, la menyerupai seorang perawat dengan rambut disanggul kebelakang layaknya seorang puteri jawa, Sejak pertemuan janggal dengan laki-laki tua itu, tiba-tiba tanpa ada alasan yang jelas, seseorang membekap kepala Bayu dengan secarik kain kusam lalu mendorongnya, tak lama, dalam keadaan yang serba membingungkan Bayu mendengar suara laki-laki tua itu yang berkata kepada dirinya agar Bayu tak perlu khawatir dan hanya perlu menurut kepada dirinya, satu minggu lagi mereka akan bertemu kembali untuk membahas sesuatu yang jelas tertulis di sampul buku yang terbuat dari kulit halus tersebut, buku itu bertuliskan "Aksoro KOLOJIWO.
Selepas Bayu menuruni anak tangga dengan ubin-ubin yang terasa semakin dingin, Bayu melihat banyak sekali ruangan-ruangan lengkap dengan besi berkarat sebagai sekatnya, di-sana, di balik jeruji-jeruji besi itu, Bayu melihat ruangan yang gelap dengan lantai bertaburkan akar rumput yang sudah lama kering, Bayu terus berjalan dibuntuti oleh Ni Entirah yang tak berkata sepatah kata-pun, "mau dibawa kemana dirinya" batin Bayu berulang-ulang kali, dada-nya terasa sesak mencium udara yang terasa lembab di dalam ruangan bawah tanah seperti ini. Bayu sama sekali tidak menyangka bila tempat ini jauh lebih luas dari perkiraannya.
"iki biyen omahe londo, sawise jaman peralihan, omah iki ra onok sing nduwe sak durunge, Wongso ngambil alih, sak iki, awakmu kudune bersyukur soale, nek iki berhasil, kowe bakal dadi keluarga Wongso sing terhormat" (ini dulu adalah benteng rumah belanda, setelah jaman peralihan, rumah ini tidak ada yang mengambil alih sebelum Wangsa mendapatkannya, sekarang, kamu seharusnya bersyukur karena bila apa yang akan kita lakukan berhasil, kau akan menjadi bagian penting dari keluarga Wangsa yang terhormat).
Bayu tak perduli apa yang dikatakan oleh si wanita itu, sebaliknya, Bayu justru tertuju pada sudut-sudut gelap di dalam ruangan berjeruji besi tersebut, entah kenapa, sudut matanya seperti melihat sosok seorang anak yang mungkin seumuran dengan dirinya, terkurung di dalam ruangan-ruangan itu, apa yang sebenarnya orang-orang ini lakukan, bukankah, tempat ini adalah penampungan bagi anak-anak yang tidak memiliki rumah, lalu bagaimana orang-orang ini menjelaskan siapa anak-anak yang terkurung di dalam penjara-penjara ini.
Di dalam kepalanya yang berkecambuk tiba-tiba terbesit pikiran liar ketika Bayu menyadari sesuatu yang selama ini luput dari pikirannya, ia menoleh menatap ni Entirah yang menatap dirinya dengan sorot mata yang kosong, "jangan-jangan" batin Bayu, ni Entirah menyeringai.
kedua kaki kecil Bayu ditekuk sebelum dipasak agar dirinya senantiasa berlutut, lalu, kedua tangannya diikat dalam posisi kebelakang sementara wajahnya terus menerus mengeluarkan darah dari lubang hidungnya ketika Ni Entirah mendorong kepala Bayu masuk ke dalam sebuah bak berisi air yang berwarna keruh, aroma lumpur seketika tercium ketika wajah Bayu menyeloroh masuk ke dalam baik air itu, satu menit, dua menit, sampai Bayu tak bisa memperkirakan waktu lagi, cengkraman tangan Ni Entirah lebih kuat dari tenaga Bayu kecil yang mencoba melawan sekuat tenaga, karena bagian tubuhnya mulai mengejang hebat, la tidak dapat bernafas, sementara dada-nya berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya, hanya beberapa detik lagi sebelum pembuluh darah yang ada di dalam tubuh Bayu akan pecah, tapi, wanita bernama ni Entirah itu tidak serta merta mengasihani Bayu yang terus menerus mulai menghentak-hentakkan kakinya yang dikunci dalam sebuah pasak Kayu dengan rantai yang digembok, dan ketika, kesadaran Bayu perlahan menghilang, Ni Entirah mengangkat wajahnya, membiarkan Bayu menyesap udara sekuat tenaga, ni Entirah lalu tertawa melihat tubuh kecil Bayu yang terlihat putus asa, la membiarkan darah yang kemudian mengalir kali ini dari sudut mata Bayu Saseno.
Bayu semakin tidak mengerti, apa dan maksud tujuan dirinya dibawa ke tempat ini, kemudian diperlakukan secara keji sampai seperti ini, la ingin menjerit dan mengutuk bapak serta ibu, sampai membiarkan nasibnya disiksa oleh orang-orang asing yang bahkan tidak dirinya kenal ini, tapi, Bayu sadar bila dirinya bukanlah siapa-siapa, la tidak lebih dari seorang anak kecil yang mau tidak mau harus menuruti apa kata ni Entirah yang sebelumnya sudah berbisik kepada dirinya, "KOLOJIWO hanya bisa dipelajari oleh mereka yang sudah pernah mati"
Tubuh Bayu kemudian dilempar ke dalam salah satu ruangan berjeruji dengan rumput kering yang mulai terasa lembab, di dalam ruangan yang gelap itu, Bayu melihat tembok kokoh berwarna hitam dengan lumut yang tumbuh di-sana-sini, dari bagian lain, tercium aroma pesing dari air kencing dan bau menyengat fases yang entah darimana datangnya. Bayu hanya dapat menekuk tubuhnya, menangis seorang diri di sudut ruangan, la akan segera mati, hanya tinggal menunggu waktu saja, karena apa yang terjadi dengan dirinya hari ini akan terus menerus dilakukan seperti apa yang sudah dia katakan, mereka tidak akan berhenti sampai ajal akhirnya menjemput dirinya, setidaknya itu yang dikatakan oleh Ni Entirah kepadanya.
di-sela keheningan ruangan yang gelap dan lembab, Bayu kemudian baru tersadar ketika matanya bertemu dengan mata seseorang yang menatap dirinya dari ruangan lain yang ada di sebelahnya, Bayu bangkit meski harus susah payah dan menahan ngilu tulang kakinya yang sepertinya patah, di-sana Bayu menatap seorang anak kecil perempuan yang seumuran dengan dirinya. Rambutnya hitam panjang dengan tubuh kurus kering, wajahnya diselimuti kotoran berwarna
hitam, dengan bola mata berwarna cokelat anak perempuan itu kemudian berkata.
"nama saya Erna, senang akhirnya saya memiliki teman disamping sell penjara saya lagi, karena yang sebelumnya sudah meninggal dunia"
Berhari-hari Bayu hanya bisa meringkuk diam bersembunyi diatas rimbun akar kering yang terasa begitu lembab, dibalik rasa bingung dan pekikan kengerian yang ada di dalam tempat ini, bocah laki-laki itu baru saja menyadari bila tak hanya dirinya saja yang ada di balik jeruji besi yang membentuk sebuah persegi empat ini, ternyata ada 6 anak lain yang bernasib sama dengan dirinya, anak-anak itu juga terkurung di dalam setiap sisi jeruji yang lain, yang juga didalamnya terdapat dua sekat sel penjara.
Bayu sendiri terkurung bersama dengan seorang gadis yang tak lebih besar dari dirinya, wajahnya tirus dengan rambut panjang sepunggung, tulang tanganya kecil dan panjang, gadis itu memanggil dirinya sendiri dengan nama Erna.
Beberapa kali Erna mencoba berinteraksi dengan Bayu, terkadang dia mengajukan sebuah pertanyaan, pertanyaan-pertanyaan yang semakin lama terdengar semakin spesifik, seperti siapa namanya, berapa usianya, dan bagaimana dirinya bisa berakhir di tempat ini, namun, ada satu pertanyaan yang pernah diajukan oleh Ernah kepada dirinya, sebuah pertanyaan yang merubah presepsinya terhadap gadis asing tersebut, sebuah pertanyan kenapa Bayu hanya diam saja ketika melihat adik kandungnya digilas oleh besi dingin tersebut didepan matanya sendiri, pertanyaan itu membuat Bayu begidik ngeri, sepanjang hari sejak saat itu dirinya akhirnya memilih untuk menjaga jarak dari gadis tersebut, meski terkadang, Bayu mendapati Erna sedang menyeringai kearahnya.
dibawah atap yang tinggi, diselimuti kegelapan yang terkadang mengancam, Bayu merasakan dingin batu yang terasa menusuk tulang, matanya lalu teralihkan melihat ke sisi bagian lain, dimana kini dihadapannya, dibalik antara sebuah sumur tempat ni Entirah dulu membenam-benamkan kepalanya rupanya sedang berdiri seorang anak kecil yang lain, seorang anak laki-laki asing berkepala plontos yang kini sedang memandang Bayu dengan sorot mata yang kosong, sementara disamping sekat sell-nya ada seorang gadis yang lain yang juga asing bagi dirinya, gadis itu memiliki rambut yang pendek, dengan tubuh yang juga kecil, la tampak sedang duduk bersila sembari tangan- tangan mungilnya tengah merangkai sebuah sampul dari rumput rumput kering yang dia temukan disekitarnya, Bayu mulai bertanya- tanya di dalam hatinya, siapa sebenarnya anak-anak ini.
Saat itu-lah, tiba-tiba terdengar suara gemerincing lonceng yang mengejutkan, Bayu tersentak sejenak sementara keheningan yang membenamkan tiba-tiba dihiasi pekik ketakutan dari beberapa anak yang ada di dalam tempat ini, Erna yang sejak tadi sibuk dengan dunia- nya sendiri tiba-tiba saja berjalan disudut paling gelap sel miliknya, sembari mencoba tidak melihat kearah pintu, Erna tampak seperti seseorang yang sedang menggigil kedinginan, tak berbeda jauh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Erna, bocah berkepala plontos yang sejak tadi memandangi dirinya tiba-tiba juga melakukan hal yang sama, termasuk gadis kecil yang ada disampingnya yang tiba-tiba juga menjerit tanpa sebab dan alasan yang jelas, Bayu benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dan akan terjadi di dalam tempat ini, kenapa sikap mereka semua mendadak berubah seperti ini, namun kemudian, pandangan mata Bayu teralihkan pada sebuah pintu kayu dimana tak lama setelahnya, terlihat 4 orang wanita dengan pakaian suster yang sama seperti ni Entirah sedang berjalan masuk dengan langkah kaki yang tegas, wajah mereka tampak dingin tak bereskpresi, sementara di tangan-tangan mereka tergenggam segelincing kunci, Bayu sendiri akhirnya perlahan mundur ketika melihatnya, la benar-benar diselimuti ketakutan yang mendadak muncul dan tidak jelas darimana datangnya. Setelah satu persatu dari mereka membuka pintu sel yang mengurung semua anak-anak yang ada di tempat ini, Bayu lalu melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana wanita itu mengulurkan tangan kearah Erna yang sebelumnya berdiri disudut paling gelap, anehnya, perubahan sikap Erna yang sebelumnya diselimuti ekspresi penuh kengerian mendadak mendekat dengan sorot mata yang putus asa, nampaknya, ada sesuatu yang akan terjadi dengan dirinya.
Bayu berjalan ditempat paling terakhir, dirinya bersama dengan Erna dibawa ke sebuah pelosok hutan, langit yang gelap, rimbun pepohonan disekitarnya dengan tanah yang berlumpur tak menyurutkan niat wanita itu yang jauh memimpin di depan dengan kobaran api pada obor yang sedang dirinya bawa. Beberapa kali Bayu seperti ingin bertanya perihal kemana sebenarnya mereka akan dibawa, namun, Erna tampak tak ingin berbicara apapun kepada dirinya, aneh, pikir Bayu, bagaimana bisa gadis yang sebelumnya banyak bicara itu kini mendadak menjadi pendiam.
Tak lama waktu berselang, hujan deras tiba-tiba saja turun, suster wanita yang memimpin mereka tetap berjalan perlahan-lahan menembus sisi paling dalam bagian hutan yang lain, sementara dari riuh rimbun pohon yang sesekali tertiup angin, Bayu merasa ada sepasang mata yang tidak bisa dia jelaskan, Hutan ini tak hanya dihuni oleh binatang saja, melainkan sesuatu yang jauh lebih gelap sedang bersembunyi dibalik kesunyian yang seakan siap melumat mereka sewaktu-waktu.
Bayu lalu teringat dengan nasib anak-anak lain yang sama seperti dirinya.
Kemana mereka semua dibawa, dan apa arti dari perjalanan ini.
Ditengah riuh air yang terus menerjang tubuh mereka, tiba-lah akhirnya saat dimana suster wanita itu lalu berhenti kemudian berbalik menatap kearah mereka, la menunjuk sebuah rumah gubuk yang tersembunyi di bawah sebuah pohon beringin besar, di tiang sekat-nya, ada api yang menyala dari petromaks tua, Erna seperti tahu apa yang harus dia lakukan, karena setelahnya dirinya berjalan menuju ke rumah itu, Bayu sendiri masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi, sebelum wanita itu membisikkan sesuatu di telinganya.
"mrunu-o, jogo-en, mbesok, kowe bakal tak susul" (pergilah kesana, jaga dia, besok, kamu akan kujemput)
Bayu lalu berjalan menuju ke gubuk tua tersebut sementara suster wanita itu, kemudian berjalan pergi meninggalkan mereka, Bayu masih tidak mengerti perihal apa yang akan mereka lakukan digubuk yang ada ditengah-tengah hutan yang gelap ini.
Saat itu-lah, dia melihat Erna membuka pintu gubuk sebelum melangkah masuk seorang diri, seakan-akan Ernah sudah pernah berada di dalam tempat ini sebelumnya. Tak lama kemudian, Bayu lalu mengikuti apa yang Erna lakukan, meski sempat ragu, dirinya akhirnya memaksakan diri untuk masuk ke dalam gubuk kayu tersebut, di dalamnya sebuah cahaya temberam dari lilin yang ada diatas meja menyorot keseluruhan ruangan ini, tak ada apapun di dalam gubuk ini selain perabotan tua dari kayu, Emma lalu berdiri di depan sebuah pintu dalam, la tampak diam memandang kosong kearah handle pintu, sebelum akhirnya gadis itu menoleh melihat ke tempat Bayu sedang berdiri, la lalu berkata dengan suara yang begitu dingin.
"nabur kemenyan nang duwor durjo, ojok sampe turu nang jero omah iki lan jogo lilin-e ojok sampe mati" (tabur kemenyan diatas periuk tungku, jangan sampai tidur di dalam rumah ini, lalu, jaga lilinnya jangan sampai mati"
Erna lalu membuka pintu, ditangannya terdapat satu lilin yang menyala dengan kobaran api yang kecil, tak lama Bayu lalu meraih lilin yang lain yang ada di atas sebuah meja kayu disamping tubuhnya, ia kemudian berjalan perlahan-lahan, membuka handle pintu sebelum aroma anyir darah tiba-tiba tercium menusuk dihidungnya.
Saat itu lah, Bayu melihatnya.
Di atas sebuah ranjang yang ada di tengah-tengah ruangan, dengan tirai transparan yang mengelilinginya, terdapat seorang wanita tua telanjang dengan rambut putih yang penjang, sedang terpejam, disekitarnya ada piluk dari bambu kuning yang runcing, wanita tua itu tampak seperti seonggok jenazah yang diletakkan di sana begitu saja, Bayu terdiam, membeku, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi di tempat ini, pikirannya semakin kalut, dari sudut lain, Erna sudah menabur sesuatu yang mengepulkan asap putih memenuhi isi ruangan ini, tak lama kemudian, dia lalu berkata, "yen lilin-mu sing mok jogo kui mati, nyowo-mu ra bakal isok ketulung maneh koyo cah sing ngancani aku sakdurunge, mari-ki Demit kui bakal teko nang kene" (bila lilin yang ada ditanganmu mati, nyawamu tidak mungkin bisa tertolong lagi seperti anak yang menemaniku sebelumnya, sebentar lagi iblis wanita itu akan datang ke tempat ini).