MISTERI DESA SUMBER KUNCI

 

MISTERI DESA SUMBER KUNCI




CeritaHororRumahJalu

Stasiun Pasar Senen Jakarta.

Kusandarkan tubuh dipelukan Mbok Asih Wanita tua bertubuh gemuk dengan rambut di sanggul penuh uban. Ibuku terpaksa

mengungsikanku kerumah Mbok Asih, yang sudah bekerja puluhan tahun dirumah kami.

Aku sama sekali tak peduli dengan lalu lalang, padat nya Stasiun. Jiwaku terguncang, dengan pembulian yang kualami baru-baru ini.

Sorot mata mereka yang memandangku, seperti sampah serta cemoohan mereka terhadap ku.

"Dasar anak koruptor" atau "Cantik hasil polesan uang Haram"

Ayahku terduga koruptor, seluruh harta dan aset keluarga disita negara.

Teng Teng Teng Teng...

Mbok Asih yang sedari tadi menenangkanku dalam pelukannya mulai berbisik pelan padaku. "Nduk Keretanya sudah datang ayok bersiap"

Aku menyeka air mata yang terus meleleh di pipi, sedangkan mbok asih sudah berdiri menenteng 3 tas besar.

Tak sampai hati melihat Mbok Asih yang terlihat kesusahan, segera kuraih ransel besar berisi pakaian ganti dan barang yang kuperlulan.

"Sudah ndak papa biar Mbok yang bawa" ucapnya dengan penuh kelembutan, tentu saja aku masih bersikeras memaksa untuk membantunya.

Kereta sudah meluncur menjelajahi kota-kota, dan aku yang sedari tadi melihat ke arah luar jendela dengan lamunanku sepanjang perjalanan.

Setiba di Stasiun dengan sebutan kota Dingin ini kami menaiki angkutan umum, menuju daerah asal Mbok Asih.

Berkali kali Mbok Asih menanyakan apakah aku lapar, hanya ku sahut dengan menggelengkan kepala pelan.

Nafsu makanku seakan hilang dengan datangnya cobaan yang Tuhan berikan.

Beberapa jam kemudian kami berhenti di pertigaan jalan, Mbok Asih nampak menghampiri seseorang dalam mobil coklat tua dengan banyak cat yang mengelupas di seluruh bodi mobil.

Mbok Asih melambai ke arahku dengan sedikit teriakan di mulutnya.

Aku menghampirinya dengan langkah malas

karna aku tau perjalanan berikutnya, menuju rumah Mbok Asih pasti menaiki Mobil tua dan Bobrok ini.


Dan benar dugaanku kami menaiki Mobil tua, dengan bunyi Kriieet Krieeett saat melaju dan sesekali GRODAKK saat melewati jalan berlubang.

Aku mencoba bersabar dengan keadaan saat ini.

Perjalanan terus di lanjutkan kantukku telah hilang karna telah habis waktu di kereta api tadi.

Begitu banyak perkampungan yang masih asri di sini tak seperti ditempat tingalku yang penuh dengan polusi karena padatnya kendaraan.

Kami sudah memasuki jalanan berbatu dengan ladang tebu di kanan kiri bahkan sesekali melewati hutan pinus lebat.

Rasanya bokong serta pinggangku sudah kram menaiki mobil tua ini.

Mbok Asih bercerita panjang lebar dengan si sopir dan aku yang diam membisu sepanjang perjalanan yang entah kapan sampainya.

Sebuah Gapura bertuliskan SELAMAT DATANG DI DESA SUMBER KUNCI. Mencuri perhatianku. Gapura besar dengan banyak lumut yang menempel.

Aku ingat Mbok Asih pernah bercerita tentang desa asalnya.

setelah jalan menanjak tibalah lah kami di tempat tujuan. Aku membantu Mbok Asih menurunkan barang-barangku.

"Mak Asih" Suara seorang gadis seumuranku menyapa lalu mencium tangan Mbok Asih.

"Nduk ini Nopi Cucu Mbok di sini" Mbok Asih mengenalkan Aku pada cucu perempuan ny.

"Mbak Shepia dari kota yah" Katanya ramah dengan senyuman tulus ketika tangan kami bersalaman.

Aku tersenyum saat melihat wajah bulat tertutup hijab kuning Nopi yang terlihat polos ini.

"Uwes Mbak Shepianya lelah habis perjalanan jauh, Siapin air panas sana" Mbok Asih menghentikan kecerewetan Nopi yang ingin bertanya padaku.

Lek Han dan Mbak Eni sudah menyambut kedatanganku.

Aku diam berdiri di depan rumah tua dengan bangunan gaya kuno milik Mbok Asih, hanya melihat kelurga ini menumpahkan kerinduan mereka. Memang Mbok Asih jarang sekali pulang, sejak menjanda Mbok Asih lebih memilih menetap bersama keluargaku di kota dengan mengasuh diriku sampai dewasa sekarang.


Nopi anak Lek Han menaruh ranselku di kamarnya karna mulai sekarang aku akan tidur bersamanya, bahkan ia rela berbagi lemari pakaian bersamaku.

Setelah Mandi dengan air hangat dan melepas lelah sambil duduk di geek depan rumah, kucoba mengecek gawai sama sekali tak ada tanda garis sinyal.

Kucoba memutar musik kesukaan ku agar hatiku terasa lebih tenang. Keadaan membuatku hampir Depresi.

"Makan dulu, Nduk" ucap Mbok Asih lembut dengan mengelus pelan punggungku lalu memeluk. Seiring dengan keluarnya air mataku karna tak kuasa menanggung beban yang berbalik.

"Sabar Nduk" Ucap Mbok Asih lagi kali ini beliau ikutan menangis bersamaku.

Lek Arip dan mbak Kum tetangga sebelah rumah datang dengan membawa kue sagu, sebagai tanda perkenalannya padaku.

Mbak Eni dan Mbak kum menemaniku mengobrol ringan, meski mulutku jarang mengucapkan kata kata.

Mereka terlihat mengerti keadaan yang sedang kualami.

Aku Mulai berdamai dengan keadaan sejak kedatanganku Geek depan rumah selalu ramai di datangi tetangga Mbok Asih, kadang Mbak Kum tetangga sebelah kiri rumah atau Bu Sum dan Ratna anak nya.

Entah sengaja untuk menghiburku atau memang keramahan mereka. Hari hari kulalui dengan aktivitas malas malasan memang dasarnya aku ini pemalas.

Setiap pagi Mbok Asih selalu membuatkan Susu coklat kesukaanku, meski sudah kucoba melarangnya Mbok Asih tetap bersikeras membuatkanny.

"Mbak Shepia besok ikut Nopi nonton kuda lumping yah" Kata Nopi saat kami sudah dalam posisi tidur. Kecerewetan Nopi memaksaku membuka suara.

Nopi yang tak kenal kata Lelah dalam usahanya mengajakku mengobrol, terkadang membuatku tersenyum geli karna tingkah lucunya saat berbicara.

Malam itu saat aku dan Nopi mengobrol macam macam topik.

Samar Samar dari kejauhan terdengar suara bambu yang pukul, semakin lama semakin dekat.


Lek Han yang tadi sudah masuk kamar bersama Mbak Eni keluar bersamaan. Lek Han membaur ikut arak arak an penduduk.

Selentingan kabar yang kudengar kalo Mbak Yuli, janda pemilik warung di kampung ini hanyut di sungai saat mencuci baju di sore hari.

Beberapa Warga termasuk Lek Han melewati Jalan samping rumah menuju kebun coklat di belakang rumah, lalu menuruni jalan menyusuri sungai bebatuan di malam hari.

Malam ini menjadi semakin panjang karna banyak warga keluar rumah termasuk wanitanya meski hanya duduk depan rumah menanti dengan harap harap cemas kabar Mbak Yuli yang hanyut.

Aku dan Nopi yang juga ikut penasaran ikut keluar.

Di luar rumah sudah banyak warga mengumpul dekat mushala, di depan rumah Mbok Asih karna jalan menuju kerumah melewati Mushala dan rumah depan milik Pak Jainul.

Pocooong..

Teriakan salah satu warga dari rumah sebrang jalan.

Bu Tarmi berlari keluar ke arah mushala

Dengan wajah pucat ketakutan, di wajahnya di sertai keringat dingin membasahi dahinya, dengan terbata Bu Tarmi menceritakan penampakan Pocong di rumahnya kepada Mbak Kum dan Bu Jainul yang menenangkannya.

Karna suaminya ikut pergi mencari Mbak Yuli di sungai.

"Istighfar Lek " kata Mbak Kum, pada Bu Tarmi sambil menyodorkan gelas berisi air putih.

Belum sempat ketegangan warga mendengar cerita Bu Tarmi.

Kali Ini teriakan takbir

bersahut sahutan di tengah malam dari warga lain.

Allah Hu Akbar, Allah Hu Akbar.

Suara teriakan itu begitu riuh di malam hari, membuat malam semakin mencekam.

Mbak Rury dan Ratna berlari ke arah kami.

"Masha Allah ono opo toh jane" Tanya Mbok Asih pada Mbak Rury dan Ratna setelah dekat.

"Pocong mbah, Pocong" Kata Mbak Rury disertai angukan Ratna dengan wajah panik.

"Mbak itu apa yang di atas genteng" Kata Nopi sambil menunjuk ke atap rumah Pak Jainul.


Aku dan Mbak Eni saling pandang sebelum kami berhamburan memasuki rumah. Setelah menutup Pintu depan Mbok Asih memelukku serta Nopi di dekapan nya.

Begitu nyata yang kulihat tadi, sesosok tubuh berbalut kain kafan hanya menyisakan bagian wajah yang menghitam, di bagian hidung masih

tersisa kapas.

Jantungku berdetak cepat seperti habis lari maraton, gemetar di badanku tak bisa berhenti.

Kupeluk erat Mbok Asih dengan badan semakin gemetaran.

Air mataku tak terbendung lagi, saat itu ketakutan akan hal semacam ini baru saja aku rasakan.

Mbak Eni mengambil selimut lalu menyelimuti tubuhku.

Mbok Asih nampak cemas dengan keadaan Sampai adzan subuh aku baru tenang.


Selesai Sholat subuh Mbok Asih sibuk di dapur menanak nasi di atas tungku kayu bakar.

Mbak Eni menghampiriku yang tiduran di depan tv dengan susu hangat

di tangannya.

"Susu nya, Nduk mumpung masih panas"

Kata Mbak Eni menaruh segelas susu di sampingku.

Aku tau Mbak Eni ikut prihatin dengan keadaanku saat ini.

"Nopi mana, Mbak" Tanyaku lirih.

"Masih mandi, air hangat nya sudah Mbak siap in buat kamu" Jawab Mbak Eni pelan.

Suara Mbak Kum, Rury dan Ratna berbincang soal hantu pocong semalam di geek depan.

Sementara Nopi dengan Jail nya mengageti mereka dari balik jendela depan.

"Mbak Udah belum ganti bajunya" Kata nopi yang tiba tiba langsung masuk kamar tanpa mengetuk pinti terlebih dahulu, saat aku berganti pakaian.

"Jadikan ikut Nopi nonton kuda lumping" lanjutnya lalu duduk di kasur memperhatikanku yang sedang berganti pakaian, kusahut dengan anggukan pelan.

"Rury sama Ratna udah nungguin loh mbak nanti kita jalan lewat sungai aja biar deket" kecerewetan nopi di pagi hari membuatku lupa akan peristiwa semalam.

"Mbak Eni sama Mas Han kemana?" Tanya ku karna kedua anak dan menantu Mbok Asih tak terlihat.

"Oh Ibuk bantu bantu di puskesmas, Mbak. Kalo Bapak Kerja di bengkel Las" Jawab Nopi penuh semangat yang hanya kusahut "Ohh.."

Setelah sarapan dan pamitan kami berempat berjalan menyusuri kebun coklat belakang rumah.

Lalu menuruni jalan yang hanya bisa di lalui satu orang menuju Sungai. Ruri dan Ratna sudah menyeberangi sungai.

Aku diam memandangi mereka yang mulai menyeberangi sungai.

"Ayo Mbak ndak dalam kok sungai nya"

Kata Nopi yang sedari tadi di belakangku kini mulai ikut menyusul kedua temannya.


Aku memandang ke sekeliling suara sahut sahutan burung liar diantara gemericik air sungai melewati bebatuan, dan terpaan angin membuat pohon bambu di seberang sungai bergoyang lalu berbunyi seakan hidup pada jaman dahulu pikirku.

Celana Jeansku basah sampai lutut saat menyeberangi sungai.

Nopi yang berjalan beriringan di sampingku, bernyanyi dengan gembira Ruri dan Ratna yang berjalan di depan seperti menikmati suara Nopi.

Seiring perjalanan tanganku sibuk memetik daun tanaman, yang tumbuh memanjang berbentuk menyerupai pagar.

Di sebelah kiri puluhan pohon kamboja membuat suasana sedikit mencekam.

"Itu kuburan mbak" kata Ruri menunjuk pohon kamboja di sebelah kiri.

"Kalo kuburan itu Kuburan Bajang" Sahut Ratna sambil menunjuk pohon beringin besar serta deretan makam kecil atau kuburan bayi.

Mataku tak berani memandang lama ke arah pohon beringin di sebelah kiri, entah seperti ada hawa aneh yang muncul dari arah sana.

Setelah melewati kebun tebu kami melewati gang kecil di antara rumah penduduk, dari sini sudah terdengar sound system dengan lagu dangdut koplo.

Anak kecil berlarian kesana kemari di antara deretan pedagang kaki lima musiman.

Pentas kuda lumping telah di mulai dengan akrobat kesenian yang di tampilkan, Ruri dan Ratna hilang di antara banyak nya penonton Nopi menarik tanganku ke tengah keramaian mencari tempat nyaman untuk menonton kesenian daerah yang sudah berlangsung ini.

Selepas Adzan Ashar Ruri dan Ratna mencari kami untuk lekas pulang padahal acara belum selesai, kami pulang melewati jalan yang sama.

"Mbak tak Hitung sampe Tiga kita Lari yah" Kata Nopi tiba-tiba.

Saat kami sudah melewati kebun tebu belum sempat niatku bertanya, kenapa harus lari.

Nopi sudah menghitung "Satu..."

"3.." Jawab Ratna keras sambil berlari kencang di ikuti Nopi dan Ruri.

Aku yang kaget ikutan lari di belakang mereka meski tak mengerti maksud mereka, pandanganku hanya tertuju pada Nopi di depan.

Waktu seakan berputar semakin lama saat kami berlari, bulu kuduku meremang waktu melewati Pohon Beringin yang di bawahnya berjejer kuburan bajang.


Nopi Ruri dan Ratna meloncat lincah seperti tiga ekor tupai, menuruni jalan yang mengarah ke sungai membuat jarak denganku semakin jauh, lariku semakin cepat seiring kepanikan menjalari tubuhku.

"BYUUURRR"

Kakiku tersandung batu sungai, aku jatuh terjengkang di tengah sungai beserta teriakan kesakitan keluar dari mulutku.

Nopi dan yang lain segera berbalik berlari kearahku karena mendengar teriakan dari muluku.

"Maaf in Nopi mbak" Wajahnya nampak memelas saat membantuku berdiri.

Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutku nafas masih tersengal karna berlari tadi.

Nopi dan Ruri memapahku yang berjalan pincang akibat rasa nyeri di bagian telapak kaki kiriku.

Dengan pakaian basah kuyup serta siku dan kakiku lecet, di tambah lagi luka di telapak kaki kiri, aku pulang berjalan pincang.

Mbok Asih yang mengetahui aku berjalan di papah oleh Nopi, berlari panik ke arah ku.

Waktu aku kecil, Jangankan sampai berdarah badanku terkena tanah saja Mbok Asih sudah memandikan diriku.

"Mboook" Suaraku lirih, menahan Mbok Asih dengan menggelengkan kepala pelan, kamnaku tahu pasti Mbok Asih akan memarahi cucu dan teman nya.

"Wes Rampung Le..?" Tanya Mbok Asih yang membersihkan lukaku pada Lek Han yang baru saja masuk rumah.

(Sudah selesai nak)

"Durung Mak sek kate budal iki" Jawab Lek Han lalu mendekat ke arah kami.

"Kok bisa luka habis jatuh di mana Shep?" Lanjut Lek Han yang melihat lukaku.

"Di jak playon Nopi karo Ruri..." Jawab Mbok Asih cepat tangannya sibuk mengolesi lukaku.

"Mbook" Aku menyela sebelum Mbok Asih melanjutkan kata katanya.

"Lain kali hati hati, Nduk" Kata Lek Han sembari menyerahkan obat merah pada mbok Asih.

Geek depan Rumah kembali Ramai, seiring berangkatnya rombongan pengantar jenazah Mbak Yuli.


Mbak Yuli di temukan meninggal di pinggir Sungai oleh penduduk yang sedang mencari rumput.

Lek Han sudah kembali berbaur bersama iring iringan pengantar

Jenazah, jalan menuju kuburan melewati jalan sempit di sebelah barat dekat rumah Ratna.

Gemah takbir pengantar rombongan Jenazah Mbak Yuli, dari belakang Lek Tejo berteriak memberhentikan rombongan.

"MAYIT TE ROTOH IKI WOY!!" Teriak Lek Tejo Lantang.

4 Orang pemikul keranda segera berhenti, mereka terkejut karena kaget mayat yang mereka pikul jatuh.

"ASTAGFHIRULLAH" Ucap mereka bersamaan.

Bagai mana bisa Mayat jatuh dari keranda yang mereka pikul, tetapi mereka tak merasakannya.

Kabar Mayat Mbak Yuli yang jatuh dari keranda, dengan cepat menyebar di kalangan penduduk sekitar, menjadi topik pembicaraan para ibu ibu.

"Mas Mayite Mbak Yuli tenan rotoh ta?"

Tanya Mbak Eni pada Lek Han waktu kami nonton tv bersama.

(Mas Beneran jenazah Mbak yuli jatuh)

"Iyo wes rausah di bahas ora ilok" Jawab Lek Han pelan sambil menyeruput kopinya.

(Sudah ngak usah di bahas tidak baik)

Aku menyusul Nopi ke kamar yang sudah tertidur lebih dulu. Mataku belum sepenuhnya terpejam Jelas sekali suara ketukan dari pintu depan. Lek Han yang keluar kamar berjalan kearah pintu siapa yang malam malam begini bertamu.

Beberapa kali Lek Han keluar masuk kamar, karna suara ketukan di pintu depan. Aku mencoba mempertajam pendengaran saat ketukan itu kembali terulang Lek Han tak terlihat keluar kamar lagi.

Tok.. Tok.. Tok..

Tok.. Tok.. Tok..

Jantungku berdetak kencang, ketika mendenger suara ketukan yang kesekian kalinya.

Dan kali ini suara ketukan itu beralih ke Jendela kayu dengan penghalang jeruji besi di kamar kami.

Tok.. Tok... Tok..

Tok.. Tok.. Tok...

Tok.. Tok.. Tok..

Suara dan Irama ketukan sama persis seperti di pintu depan rumah tadi.

Kupaksa memejamkan mata dan menutupi seluruh bagian tubuh dengan selimut. Suara ketukan menghilang berganti suara wanita yang sedang menangis, terdengar sangat pilu dan menyayat hati di malam hari.

Kucoba membaca doa sebisaku Nopi memeluk tubuhku erat yang kupikir sudah tertidur lebih dulu.

Saat Pagi berita tentang teror pocong masih ramai di bicarakan. kali ini di tambah bumbu suara wanita menangis Mbak kum dan Lek Arif tak bisa tidur sampai pagi karna teror semalam.

Aku dan Nopi lebih memilih bungkam atas kejadian semalam.

Bu Sumi datang dengan raut muka lesu beliau juga terlihat tak tidur semalam.

Geek depan rumah sudah ramai oleh ibu ibu, tangan mereka sibuk memilih buah cabai diselingi obrolan horor, tentang teror pocong di kampung ini.

Nopi yang akan menjenguk sodara yang sedang melahirkan di Rumah Sakit berkali kali mengajakku dengan terpaksa aku menolaknya.

Sebelum ia sempat berpamitan Aku menarik nya ke kamar.

Kusuruh ia duduk di tepi ranjang, tanpa mengucapkan sepatah kata pun kubongkar isi tas ranselku, mencari cari baju yang cocok untuk Nopi. Lalu kumulai memoles wajah bulatnya, dengan sedikit bedak padat kusuruh ia berganti pakaian yang telah kupilihkan.

Matanya berbinar saat berdiri di depan kaca lemari.

ia tampak cantik dengan hem putih serta jeans hitam dariku, yang sudah ia kenakan karna ukuran kami tak jauh berbeda.

"Mbaaaakk" Nopi memeluk darikku erat bahkan ia tekan pipinya saat pipi kami saling beradu.


Aku terbangun, samar tapi sangat jelas suara wanita yang sedang menangis itu kembali terdengar. Suara tangisan dari jauh namun terdengar sangat jelas lama lama seperti mendekat.

Detak jantungku kembali terpacu saat telingaku mendengar Suara tangisan yang semakin dekat.

Tok... Tok... Tok...

Ya Allah berkali kali kusebut asma Allah.

Tok.. Tok.. Tok..

Irama ketukan yang sama seperti semalam dari jendela kamar ku. Aku meringkuk gemetaran keringat dingin terus keluar dari dahi ku.

Jluk.. Jluk.. Jluk..

Kali ini suara seseorang yang sedang meloncat dari luar rumah. Nopi memeluk punggungku seperti semalam, bedanya kali ini tangan nya tak gemetaran dan terasa sangat dingin.

DEG.

Jantungku serasa berhenti berdetak.

Nopi..

Tidak! Sore tadi Nopi berpamitan menjenguk sodara dan akan pulang esok pagi. Lalu siapa yang saat ini sedang memelukku.

Aku melirik ke arah tangan yang memelukku Begitu pucat dan dingin, tangisku tak terbendung lagi, badanku menggigil gemetaran.

Mulutku gemetaran dengan lidah kelu serasa terkunci Ingin sekali aku berteriak kencang.

Tapi tak satu pun suara yang keluar dari mulutku. Aku tak bisa berpikir jernih dalam situasi saat ini tangan pucat itu masih memelukku.

Ya Allah

"MBOOOOOOOOKKKKK"

Suara teriakan melengking dari mulutku berbarengan Suara Adzan subuh di pagi buta.

Mbok Asih yang mendengar teriakanku, tergopoh berlari ke kamarku di ikuti Lek Han dan Mbak Eni.

Lek Han menyalakan Lampu kamar, Mbok Asih bergegas memeluk tubuhku yang sudah menggigil gemetaran.

Mbak Eni pun tak kalah kaget meloncat ke kasur telapak kakiku di pijatnya pelan.


"Sikile Adem Mak, Dahi nya Panas" (Kakinya dingin Mak, dahinya juga panas)

Kata Mbak Eni Panik, sesudah mengusap kening lalu Memelukku erat.

Di dapur Mbok Asih memarut kencur, sedangkan Lek Han sudah siap dengan air hangat untuk mengompres ku.

Bibirku gemetar seiring tubuh ku yang juga menggigil.

Berkali kali Mbak Eni membasuh keringat di dahiku lalu meletakkan

kain yang sudah di celupkan pada air hangat, lalu meletakkannya

kening ku.

Mbok Asih datang dengan parutan Kunir dan beras merah lalu menutup pintu

Tak lama badanku diolesi parutan kunir dengan beras merah.

Mbak Kum dan Lek Arif juga datang di susul tetangga lain nya.

Salah satu tetangga mengusulkan untuk membawaku ke orang pintar.

"Golek no Omben Omben Han"

Seru Lek Arif pada Lek Han.

Kondisiku membuat seisi rumah panik Mbak Eni dan Mbok Asih nampak prihatin saat menemaniku.

Lek Han pergi mencari orang pintar di antar Lek Arif.

Selepas Dhuhur Lek Han dan Lek Arif datang beserta ustad yang di maksud lek Arif.

Doa Doa di bacakan membuat hatiku sedikit tenang Lalu ustad

membacakan ayat Al qur'an dan meniupkan ke gelas berisi Air putih yang akan di minum kan padaku.

"Hoeeeeekkk"

Belum sempat air itu masuk ke tenggorokan, aku sudah lebih dulu memuntahkanny.

"Ya Allah" Teriakan Mbok Asih yang tak kuasa melihat keadaanku.

"Mas Iku banyu teko botol air mineral?" tanya Mbak Eni pada Lek Han. (Mas itu air mineral?)

"Masaallah lali iki banyu morong" Jawab Lek Han, lalu berlari ke belakang mengambil botol air mineral.

Karna Mereka tau Aku tak terbiasa minum Air hasil olahan sendiri.



Menjelang siang kondisiku sudah agak membaik banyak tetangga menjenguk, aku terenyuh melihat antusiasny mereka mengetahui kondisiku.

Bahkan malam ini Lek Arif dan Pak Jainul melekan di rumah karna kawatir dan malam ini kulalui tanpa gangguan apa pun.

Teror pocong di desa ini semakin menjadi, beberapa warga memutuskan mengungsi ke rumah saudara masing masing.

Sore sehabis maghrib Lek Arif dan Mbak Kum sudah di geek depan rumah bersama Mbak Eni, Lek Han serta Nopi yang baru datang membicarakan Anak kembar Saudara yang baru lahiran.

"Jaket nya ndak di pakai, Nduk" Tanya Mbak Eni yang melihatku sudah berdiri di samping mereka.

"Wes maem durung Shep" Tanya Lek Arif.

"Sudah Lek" Jawabku pelan.

"Nopi buatin susu yah mbak" Kata Nopi yang nampak prihatin dengan kondisiku.

Aku menggelengkan pelan sebelum bertanya.

"Mbok Mana" Kataku.

"Lagi Tahlilan sebentar lagi juga pulang" Jawab Mbak Eni lalu menarik tanganku untuk duduk di sebelahnya.

"Itu buat apa Lek" Tanyaku pada Lek Han seraya menunjuk plastik berisi Garam Kasar di depannya.

"Tolak balak biar kamu ndak di ganggu, Nduk" Jawab Lek Han.

"Desa kita udah sepi kalo malam, banyak pocong" Sahut Mbak Kum.

"Kemarin saja Mbok Jah yang jual gorengan di depan sana semaput, Gara gara yang beli pocong" Nopi mulai bercerita dengan kecerewetannya.

"Huss.. Lambemu" Sela Lek Han mengentikan Nopi.

"Lha emang iya kok Pak, tanya aja sama Joko kalo Ndak percaya" Jawab Nopi.

"Rausah di rasani engkok nek teko keweden awakmu, Nop" Jawab Lek Arif pada Nopi.

Baru saja aku menyandarkan kepala di pundak Mbak Eni.

Tiba-tiba lampu satu desa padam.


Mataku terus melihat ke arah gang kecil di depan samping rumah Pak Jainul.

Samar namun sangat jelas yang kulihat sedang terbang ke arah kami saat ini adalah Pocongan.

Kucengkeram erat lengan Mbak Eni dengan Nafas tersengal serta detak jantung yang semakin cepat.

Aku nunjuk ke arah pocong melayang ke arah kami saat ini.

"Mbak Pocongnya dateng" kataku sambil menunjuk ke arah pocongan sedang terbang.

"HUAAA..."

Kami berenam berteriak bersamaan, dengan berlari masuk rumah dalam keadaan mati lampu.

"Kirek tas di rasani wes teko" (binatang baru di omongin udah dateng) Umpat Lek Arif setelah kami mengelilingi lampu templon, yang dinyalakan Lek Han.

"Berarti Dowo umure, Lek" Jawab Nopi asal.

"Untumu" (Gigimu) Umpat Lek Arif agak kesal.

Godaan terus terjadi malam itu seperti malam sebelumnya, suara tangisan dan langkah kaki yang di seret mengitari rumah. Bahkan Mbok Asih yang pulang tahlilan harus berdiri lama di depan pintu karna tak ada yang berani membuka pintu untuknya.

Baru setelah Mbok Asih Marah marah karena menunggu terlalu lama kami baru sadar jika suara itu memang Mbok Asih Asli.

Aku tertidur dipangkuan Mbak Eni sementara Nopi memelukku dari belakang.

Pagi Hari, dari arah dapur Mbok Asih dan Mbak Eni sibuk memasak dibantu Nopi.

Rasa kantukku masih belum hilang, beberapa kali aku menguap sambil berjalan ke arah dapur.

"Mandi dulu, Nduk biar seger" Kata Mbok Asih yang melihat muka kusutku.

"Dingin Mbok" Jawabku pelan lalu berjongkok di tengah pintu.

"Air hangatnya sebentar lagi udah siap, Nduk" Kata Mbak Eni sambil mengaduk nasi.

"Tetep aja nanti dingin lagi, Mbak" Jawabku malas.

"Mbak Shepia Ngiler yah semalem" kata Nopi dengan potongan tempe kecil kecil yang sudah ia potong.

"Sok tau kamu" Sungutku.

"Itu di bawah mulut, Mbak masih ada bekasnya" Jawab Nopi sambil tertawa ke arahku.

Kuraih handuk dan peralatan mandi lalu berlari ke kamar mandi.

"Nduk, Air hangat nya belum di bawa loh" Teriak Mbak Eni.

"Ngak Usah" Jawabku cepat, air di sini sedingin es apa lagi kalo mandi saat pagi begini.

"Mau ada acara Mbok" Tanyaku melihat Nasi Kuning berbentuk kerucut lengkap dengan lauk paukny.

"Iya nanti ikut ke Punden Desa yah" Jawab Mbok Asih kalem.

"Sama siapa Mbok" Kataku lalu mengambil Paha Ayam yang baru saja di tiriskan Mbok Asih, karna kebiasaanku setiap pagi waktu masih kecil hingga masuk kuliah selalu mengambil lauk apa saja yang baru digoreng Mbok Asih tentu saja kumakan tanpa nasi.

"Ya sama Lek Han, Mbak Eni Nopi juga" Jawab Mbok Asih.

"Hajatan kampung, Mbok?" Tanyaku lagi sambil mengunyah.

"Ruwat Desa, Nduk" Jawab Mbak Eni yang baru saja masuk dari mengambil daun pisang di belakang rumah.

Lek Han dan Lek Arif sudah bersiap dengan tumpeng yang mereka pegang masing masing.

Mbak Eni dan Mbak kum membawa kue pasar.

Sementara Aku hanya membawa Botol Air mineral ukuran tanggung yang berada di tanganku saat ini.

Kami berjalan beriringan dengan warga lain layaknya sebuah karnaval.

Ujung paling depan di pimpin kakek tua berbaju serba hitam dengan Sabuk besar melekat pinggangnya di ikuti sesepuh desa dan warga lainya.

Kami berjalan melewati tengah hutan pinus lalu turun ke sebuah Sumber di tengah lapangan kecil di antara tingginya pepohonan.

Nasi Tumpeng yang di bawa dari rumah di kumpulkan semua di tengah, Mbak Eni mengelar tikar untuk kami duduk bersila mengikuti acara yang akan segera di langsungkan.


Mbah Dukun Nampak khidmat duduk bersila di tengah warga yang melingkari Sumber di tengah lapangan kecil di antara pepohonan yang bergerak terkena terpaan angin.

Entah doa apa yang Mbah dukun itu baca yang jelas mulutnya terus komat kamit.

Sangkin Lamanya kantuk tak bisa kutahan lalu bersandar di pundak Mbak Eni.

BRUUKKK....

Seketika Mataku terbuka karena mendengar sesuatu yang jatuh dari

atas.

Mataku terbelalak kaget, tepat di depan Mbah Dukun yang duduk bersila suara jatuh itu berasal dari pocongan yang saat ini menggeliat seperti kesakitan sehabis jatuh dari langit, di ikuti tawa cekikikan dari arah pepohonan.

Sontak Seluruh Warga yang sedari tadi bersila dengan khidmatnya berteriak kencang berhamburan.

Konyolnya lagi Mbah Dukun yang di anggap Sakti itu juga berlari ketakutan dengan wajah panik.

Kami pulang dengan langkah gontai di depan Kek Arif mengutuk Mbah Dukun dengan nama binatang, Lek Han cengegesan mendengar umpatan Lek Arif.

Dari jauh Seorang Wanita berjalan membawa payung yang terbuka ke arah kami.

Langkahku terhenti, ketika keningku menabrak punggung Lek Han yang tiba tiba berhenti di depanku.

Lek Han sedikit gemetaran begitu juga Lek Arif tangan Mbak Eni yang memegangiku menjadi semakin erat tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.

Sampai wanita yang memakai kaos berwarna Biru tua itu berpapasan dengan kami Wajah putih yang di hiasi bedak sangat tebal terlihat mencolok itu berlalu.

Mbak Kum Ambruk dengan posisi duduk berlinang air mata Lek Arif memapah istrinya.

Belum hilang rasa heranku Mbak Eni menggenggam tanganku Memaksa berjalan sedikit cepat.

Sesampainya di rumah Mbak Eni bercerita kalo wanita yang kami temui tadi adalah Mbak Yuli.

Mbak Eni menggelar Karpet di depan Tv Nopi menata bantal dan selimut.

Malam ini kami putuskan untuk tidur bersama.

Aku tidur di tengah Mbok Asih, Nopi dan Mbak Eni sementara Lek Han tidur di kursi depan dengan sarungnya.

Malam kian Larut mataku tak juga bisa terpejam kegelisahan mulai muncul kembali.

"Belum tidur, Nduk" tanya Mbak Asih karna sedari tadi aku berganti ganti posisi tidur karena gusar.

Tok... Tok... Tok..

Kembali suara dan Irama ketukan yang sama itu datang kupejamkan mata berharap cepat tidur.

Tok... Tok... Tok...

Tok... Tok.. Tok..

Tok..

Lek Han Berlari mengambil Sapu Lidi lalu memukulkan ke pintu berulang ulang seperti orang kesetanan.

Hiiiiiiiiiiiiiiiii....

Suara tangisan memilukan terus terdengar di malam hari membuat air mataku juga meleleh Mbak Eni yang mendengar Isakkan tangisku,

menyalakan Lampu pergi ke arah dapur lalu kembali dengan membawa kantong plastik berisi garam dan arang.

Lek Han segera membakar Arang di atas cobek lalu menaburi garam di atas Api.

Suara Tangisan semakin menjauh berganti dengan suara jeritan kesakitan dari jauh.

Pagi hari seperti biasa warga melakukan aktivitas mereka masing- masing.

Beda lagi jika malam datang, suasana Desa akan menjadi sangat sepi dan sunyi.

Aku mulai terbiasa dengan suara dari depan rumah, di Geek depan Mbak Kum dan yang lain sedang ngerumpi dengan topik Teror- Pocong serta penampakan Mbak Yuli, sepulang dari Punden kemarin. Kunyalakan Tv meski tak ada acara yang kuminati.

Ingin sekali kuupdate status cerita di akun medsosku tentang cerita ini, tetapi Smartphone terbaruku serasa tidak berguna di Desa.

Sekali-kali kuputar lagu kesukaanku lewat earphone, dan memberikan makan peliharaanku, di game Pou.

"Mbak, nanti sore beli martabak, ya," kata Novi yang kini ikut tiduran di sampingku, di depan Tv dengan layar yang seperti banyak semut itu.

"Nanti sambil belanja, Mbak kan ndak pernah jalan-jalan selama di sini "Lanjut Novi.

"Nanti kita mampir ke Ubalan, Mbak, di sana kalo sore pasti rame banyak yang nongk..."

Sebelum Novi melanjutkan kebawelan di pagi hari, kumasukkan kue pastel ke dalam mulutnya.

bergegas kuberanjak ke belakang, dan mandi. Meninggalkan Novi mengunyah kue yang kumasukkan tadi.

Aku menyanggupi ajakan Novi membeli martabak.

Ku pakai jaket hitam berbahan parasit, sambil menata rambut panjangku.

"Ayo Mbak, nanti keburu sore," Rengek Novi yang sudah di atas- Motor Paklek Han.

"Naik motor ini?" tanyaku heran, memandangi motor yang tinggal kerangka besi, beserta tangki bahan bakar, dengan dua roda besar depan dan belakang.

"Iyo ta, Kan ndak punya sedan," sahutnya asal.

Sepanjang jalan bebatuan, Novi nampak lihai memainkan gas dan-

rem, meski terkadang kelakuan Barbarnya memicu Adrenalin, bahkan ia seperti tengah mengerjaiku, saat kusuruh melambatkan laju motornya, karena bokongku terasa kram.

Hawa sejuk, serta hijau sawah seluas mata memandang, dan ramahnya penduduk sekitar tiap kali berpapasan,-

menyimpan misteri di baliknya.

Kami berhenti di sebuah pertokoan kecil layaknya pasar, dengan pedagang kali lima berjejer di depannya.

Novi memesan beberapa bungkus martabak telur,

Aku menghampiri salah satu Kios penjual Handphone, sedikit mencari info soal simcard yang bisa-

di gunakan di Desa ini, setelah selesai dan membeli handphone harga standart, aku menghampiri Novi yang menunggu di gerobak Martabak.

Novi memaksa mampir ke Ubalan, Sumber besar dengan banyak pipa air yang mengalir ke permukiman warga.

Aku Memesan kopi susu panas di salah satu warung, karena sedikit kesal, bisa-bisanya Novi memanfaatkan kepergian Kami yang pamit membeli martabak untuk bertemu pujaan hatinya.

Beberapa kali kulirik jam tangan yang melingkar di lengan kanan ku, tak sampai hati untuk memakinya-

meski menjadi obat, nyamuk serta pandangan aneh pengunjung

tempat ini mengarah padaku.

"Udah puas?" tanyaku pada Novi yang menghampiriku.

"Udah Mbak, Maaf... lama," jawabnya sambil cengegesan.

Sepanjang perjalanan pulang Novi terus bercerita tentang pacarnya.

jalanan berbatu nampak gelap, dan kesialan menimpa Kami karena motor Paklek Han tiba-tiba mogok di tengah jalan, agak jauh dari rumah penduduk.

Aku berjongkok di samping Novi yang mencoba membetulkan motor, rasa gelisahku mulai datang, karena hari mulai petang.

Bayangan seseorang muncul dari balik pohon asem di depan kami, meski tak terlalu jelas.

Sosok wanita berbaju putih serta rambut panjangnya berdiri mematung di samping pohon asem, tanganku yang sudah gemetaran mencolek bahu Novi di samping.

Novi menoleh ke arah tanganku yang

gemetar menunjuk pohon asem di depan kami, sebelum saling menoleh.

"HUUUUAAAAAA... !!!"

Kami berteriak bersamaan, lalu berlari menyusuri jalan di kegelapan, tas plastik berisi martabak di tanganku terlempar saking kaget

bercampur ketakutan.

Novi berhenti lalu berbalik-

memungut martabak yang terlempar.

Aku tidak mempedulikannya dan terus berlari.

Sampai akhirnya sandal di kaki kiriku putus.

Tanpa sadar aku berlari dengan sendal yang tinggal kanannya saja.

Meski sudah terlihat lampu di pinggir jalan, kakiku terus berlari.

Sampai depan rumah pandanganku mulai kabur, semua terasa gelap dan... pingsan.

"Mbook...," ucapku lirih, saat terbangun mendapati Mbok Asih di sampingku, Mbok Asih terbangun lalu mengusap keningku.

"Lapar Mbook," kataku lagi.

"Oalah Nduk" Ucap Mbok Asih memelukku,

lalu tergopoh keluar kamar.

Mbak Eni masuk di susul Novi, dengan wajah lesu mereka duduk di tepi ranjang, lalu Novi memijat kakiku pelan.

"Nduk, besok Kamu sama Mak Asih ke Bali saja ya," ucap Mbak Eni sambil memijat tanganku, aku tak menjawab pertanyaan Mbak Eni,-

masih teringat wajah wanita di samping pohon asem, persis wajah wanita yang membawa payung tempo hari.

Bangkit berjalan ke ruang depan, entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, aku berdiri mematung seperti orang linglung di depan jendela kaca tanpa gorden,

berkali-kali Mbok Asih memanggilku, pandangan mataku hanya tertuju pada pohon sirsak di halaman depan.

"Ya Allah...!!"

"Allahu Akbar ...!!"

Teriak Mbok Asih, saat menghampiriku lalu melihat ke luar jendela ke arah mataku memandang.

Dibawah pohon sirsak nampak jelas sosok Pocong sedang berdiri menatap ke arah Kami.


Aku tak bergeming, wajah Pocong itu hancur berwarna hiyam pekat, serta belatung berjatuhan dari mulutnya, piring yang di pegang Mbok Asih jatuh sampai nasinya berceceran di lantai.

Wajahku mulai pucat, air mataku mengalir begitu saja, sampai akhirnya tak kuasa menahan beban tubuhku, lalu ambruk bersimpuh, dengan tatapan mata kosong.

Paklek Han lari ke arah kami di ikuti Mbak Eni, meski teriakan Mbak Eni terdengar sangat keras di malam itu, -

tak ada satu pun tetangga yang datang menolong.

Dari arah jalan, suara musik di putar sangat keras di malam hari.

"Joko Jancok!! gak eroh onok musibah bengi-bengi nyetel lagu! (Joko sial!! gak tau ada musibah malam-malam mutar lagu)" umpat Paklek Han kesal bercampur bingung,-

karena Mbok Asih sudah pingsan sejak tadi.

"Edan tenan arek iku!" Mbak Eni menimpali.

Benar saja, besoknya Joko menjadi gila, berjalan santai dengan bertelanjang bulat, beserta senyuman khas orang gila.

Mbak Eni membantuku berkemas, Novi menangisiku yang akan pergi. Abah Sufyan, saudara Mbok Asih tak tega dengan keadaanku jika terus di sini.

Kemungkinan aku bisa stres dan trauma berat, Beliau menawarkan pekerjaan untukku dan Mbok Asih di Bali, bahkan aku di perbolehkan pulang kapan pun.

POV BOWO

Kumainkan gitar tua di serambi depan rumah Haji Sufyan, bernyanyi meski suaraku terdengar sangat fals, sambil memikirkan Laila, janda muda bahenol yang selama ini kusukai.

Suasana hatiku sedang gembira, selain mengirim muatan pupuk di Desanya,

aku juga bisa menyapa sang pujaan hati.

"Jaran Goyang.. Jarang Goyang..."

Lirik syair lagu terus kunyanyikan sampai sendal melayang mengenai wajahku.

"ASU..!!" umpatku lalu menoleh ke arah seseorang yang melempar sendal tadi.

"Suaramu iku gak enak, mending menengo hehe ...," ucap Riski di samping Dika yang terkekeh.

"Yo Babah ta," jawabku asal, dengan wajah kesal.

"Koen temenan, seneng Laili?" tanya Dika cengegesan.

"Yo iyo ta," jawabku langsung dengan wajah berseri-seri.

Dika menepuk kepalaku keras, tangannya menunjuk pintu belakang truck.

"Ngerti..?" tanya Dika memandangku.

Aku mengamati lukisan wajah Nella Kharisma penyanyi dangdut yang sedang naik daun di pintu trucknya Dika.

"Iyo, Nella Kharisma kan?" jawabku,

yang terlukis di sana memang lukisan wajah Nella Kharisma.

"GOBLOK!... Woco'en tulisane iku! (Baca tulisannya)" kata Dika sambil mendorong kepalaku keras.

"NELLA SENG AYUNE SUNDUL LANGIT AE BOJONE BIASA AE, LHA KOEN WES AYUNE MEKSO, NJALOK BOJO SENG NGGANTENG, SENG SOGEH,-

NGOCO'O, SENG PENTING LAK TANGGUNG JAWAB'E," kubaca keras- keras tulisan dalam lukisan Nella Kharisma di Belakang Truk Dika.

"Saiki wes ngerti?" tanya Dika lagi.

"Berarti Aku kudu Ngomong ngunu iku nang Laili? (berarti aku harus bilang begitu ke Laili?)" jawabku bertanya balik.

"Yo kudu, ben Laili peka nang awakmu," sahut Rizki.

Aku hanya manggut-manggut mengerti, berarti aku harus bilang seperti itu ke Laili nanti.

"Dika, Mana?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba muncul di depanku, Bella, anak Juragan Kami, Haji Sufyan.

Ndak ada, Mbak, adanya saya. Mau sama saya?" jawabku asal, Bella bergidik sambil berlalu.

"Hiiieee...!"

Pupuk sudah siap di kirim, kulajukan pelan truckku menuju jalan besar.

Dari Belakang Dika mengemudikan trucknya secara ugal-ugalan, mengirim cabai ke Jakarta,

Di depan banyak anak berjejer merekam video dengan kamera di Gawai mereka masing-masing.

"AMBYAAAAARRRR!!" teriak Rizki dengan kedua tangan mengepal di samping Dika saat menyalip dengan gaya oleng.

"Ambyar ndasmu!" Sahutku.

Jalan dengan bebatuan membuatku terpaksa melambatkan laju truck, meski hati sebenarnya tak sabar ingin bertemu Laili.

Aku mencoba bersabar, kuputar lagu Dangdut untuk menemani sepanjang perjalananku.

Memasuki DESA SUMBER KUNCI.

'Terasa ada yang aneh,' fikirku.

Biasanya Mak Jum sudah berjualan gorengan dari sore, bahkan waktu Adzan Maghrib biasanya banyak warga yang berjalan pergi ke masjid.

Truck terus kulajukan sambil mengamati sekitar.

Sudah hampir gelap, warung Mbak Yuli juga tutup, membuatku semakin heran.

Dari arah depan seorang gadis berjaket hitam berlari di pinggir jalan,

"Mbak! ojo playon, surup... surup..., (Mbak! jangan lari-lari, sudah petang...) kataku mengingatkan, tapi malah di balas dengan jari tengahnya.

"Oo ... Kirek! di eleng'no malah F**k-

(Oo... binatang! di ingetin malah 'faak')" umpatku kesal.

Lalu di belakangnya anak Handoko juga berlari menyusul, kuurungkan niat untuk menyapa, 'Mungkin mereka sedang ada masalah,' fikirku.

Ku bulatkan tekad untuk menyatakan perasaanku pada Laili,

karena sebentar lagi aku akan melewati rumahnya.

Kupinggirkan truckku di bahu jalan agar tak mengganggu pengendara lain, tetapi sejak tadi tak ada penghuni Desa ini yang berlalu lalang. Dengan percaya diri aku berjalan ke rumah Laili.

"As salaamu 'alaikum..."

Ku ketuk pintu, pelan.

Laili nampak mengamati dari dalam, setelah tahu yang di luar adalah diriku, ia membuka pintu pelan.

"Ono opo Mas?" tanya Laili setelah pintu terbuka, memandangku dengan tatapan heran.

Kuambil nafas dalam-dalam, sebelum kuutarakan isi hatiku.

"Laili..." kataku dengan senyum ramah.

"Iya, Mas," jawabnya sambil menoleh kanan kiri.

"NELLA SENG AYUNE SUNDUL LANGIT AE, BOJONE BIASA AE, LHA KOEN WES AYUNE MEKSO, GOLEK BOJO SENG, NGGANTENG, SENG SOGEH, YO MBOK NGOCO'O," kukatakan dengan Lantang sambil tersenyum.

Mendengar ucapanku, Laili Nampak kaget lalu berjalan cepat ke arahku. "PLAAAAAK!!"

Sebuah tamparan mendarat di pipiku,

Bukan...

lebih tepatnya bogeman!

karena Laili mengepalkan tangan, memukul dengan gaya menampar.

Lalu Laili menutup pintu dengan keras.

"BRAAKK...!!!"

"Gustii...!!" pekikku.

"Kirek! lambene Dika!" umpatku kesal, bisa-bisanya dia ngerjain kawan sendiri.

Gagal sudah masa depanku menyanding Laili, kulanjutkan perjalanan sambil memikirkan nasibku.

"Mas, Mas Bowo, nunut Mas," sebuah teriakan memanggilku.

Kuhentikan laju truck, dari belakang Mbak Yuli berjalan ke arah kemudi.

"Bareng, Mas," ucap Mbak Yuli ramah di sertai senyuman, kusahuti dengan anggukan pelan.

Wajah Mbak Yuli malam ini begitu mempesona, 'Tak ada Laili, Yuli pun boleh,' fikirku dengan senyuman bangga.

"Arep Nandi to Mbak'e, bengi-bengi ngene? (Mau kemana Mbaknya, malam-malam begini?)" tanyaku saat Mbak Yuli sudah duduk di samping kemudi, dandanannya sudah seperti penyanyi dangdut.

"Nyekar, Mas," jawabnya ramah dengan wajah dingin, tanpa bertanya lagi kulanjutkan perjalanan.

Tengkukku terasa seperti di tiup, berkali-kali kuusap pelan.

"Desone sepi yo, Mbak?" tanyaku, sejak tadi Kami hanya membisu.

"Iyo Mas, soale ono teror Pocong," jawab Mbak Yuli dingin.

"Pocong?" tanyaku singkat, Mbak Yuli mengangguk, dia hanya memandang ke depan dengan-

tatapan kosong.

"Ono-ono ae," kataku geli lalu tersenyum.

"Mas Bowo Ora wedi ta?" tanya Mbak Yuli masih dengan nada suara dingin.

"Yo ora, Mbak, wong iku demit nyamar," Sahutku, lalu menyalakan rokok.

"Nek Ngene Mas..?" tanya Mbak Yuli.

Aku menelan ludah saat menatap ke arah Mbak Yuli, Bola mataku serasa mau copot.

"Ak... Ak... Akh...."

Mulutku tercekat, hanya itu yang keluar dari mulutku, melihat Mbak Yuli sudah berubah menjadi Pocong menoleh padaku.

Pak Salim membangunkanku yang tertidur di pinggir jalan.

Truck sudah berada di tengah sawah dengan posisi terbalik, pupuk yang akan kuantar pun, berserakan di sampingnya.

Pak Salim mengajakku ke rumahnya, kubaringkan tubuhku, di geek depan rumahnya.

Pak salim kembali dengan membawa balsem di temani Bu Salim.

Selesai Bu Salim mengolesi dadaku, dengan balsem, banyak pertanyaan di ajukan padaku.

Aku melongo, masih terbayang wajah Pocongan Mbak Yuli semalam.

Tiba-tiba tersengar suara teriakan keras berasal dari rumah Laili,-

karena rumah Pak Salim berada di seberang rumah Laili.

"Suarane Laili iku, Pak!" kata Bu Salim, ya, memang itu suara jeritan Laili.

Pak Salim dan Istrinya berlari ke rumah Laili, Sementara aku masih linglung.

"Jabang Bayiikk.....!" umpatku, yang melihat Joko berjalan-

telanjang, tersenyum sendiri, seketika kesadaranku kembali saat melihat Joko.

Beruntung nasibku, tidak menjadi gila seperti Joko.

Aku menyusul ke rumah Laili sang pujaan hati.

Sesampainya di sana, perasaan ngilu melihat Laili, berteriak-teriak kesetanan-

dengan mengigiti jemari tangannya, bahkan ia nampak mencoba melepaskan pakaian yang ia kenakan.

"JANE ONO OPO SEH IKI!" teriakku, beberapa orang memandangku sinis, tanpa menjawab mereka sibuk menahan tangan dan kaki Laili, yang mencoba melukai dirinya sendiri.

Warga mulai bingung dengan peristiwa aneh di Desa, Pak Kades mengusulkan acara doa bersama dengan mendatangkan kiyai dan tokoh Agama.

"Masio di dungani sampek njengking ora bakalan ilang demit iku, (walau di doakan sampai jungkir balik tetap takkan hilang setan itu)"

ujar Timbul yang berjalan bersamaku, untuk melihat kondisi truck yang Haji Sufyan percayakan padaku.

"Asline ono opo seh karo Deso iki?" tanyaku, karena rasa penasaran.

"Delok'en Joko,(Lihat Joko)" kata Timbul menunjuk Joko yang tertawa sambil buang air di pinggir jalan,

layaknya seekor binatang yang tak tau malu.

"Aku turu ndek omahmu ae, Mbul, (Aku tidur di rumahmu saja)" kataku, tidak mungkin juga aku pulang, sedangkan truck masih di tengah

sawah.

"Karepmu, Aku wes ngandani nek bengi teror Pocong karo demite Yuli mesti teko,

(Terserah kamu, Aku sudah bilang kalo malam teror pocong dan hantu Yuli pasti datang)" jawab Timbul sambil menyalakan rokok kreteknya.

Sore menjelang petang rumah warga sudah tertutup, mereka memilih beraktivitas di dalam rumah.

Bahkan Pak Kades, yang mengusulkan Doa bersama-

untuk mengatasi masalah di Desanya, tidak menampakkan batang hidungnya.

Sementara, aku dan Timbul berdiskusi mencari solusi untuk masalah ini, dengan segelas kopi di meja, rumor yang kudengar teror Pocong di kampung ini bersamaan dengan hilangnya Mbak Yuli, pemilik warung kopi.

Tok... Tok... Tok...

Tok... Tok... Mass Tolong....

Hii.... Hi... Hi...

"Ojok di bukak, Goblok! (jangan di buka, bodoh)" kata Timbul, mencegahku yang hendak beranjak membuka pintu.

"Opo'o.." jawabku pelan, karena Timbul memakai bahasa isyarat untuk diam.

Hanya suara detak jam dinding di rumah Timbul yang terdengar di kesunyian malam, Timbul memilih diam dengan sarung menyelimuti badannya.

"Hiiii.... Hiks... Hiks...."

Suara tangisan itu muncul kembali.

Keringat dingin bermunculan di kening membasahi wajahku,

sedangkan Timbul gemetaran bersandar di tembok dengan kaki selonjor.

Seperti suara kursi yang di pukul benda keras, Timbul meloncat lalu tiarap di sampingku, dengan posisi melindungi kepalanya.

Aku sendiri tak bisa menggerakkan tubuh, tapi kelakuan Timbul terbilang tolol.

"Kita sedang berperang melawan Demit, bukan perang melawan USA! Hahaha..." suara tawa keras Joko di antara desir angin, serta suara binatang yang bersahutan memecah kesunyian malam.

"Dasar wong gendeng...!!" pekikku, kumandang suara Adzan Shubuh mulai terdengar dari kejauhan,-

dan mengakhiri teror malam ini.

Siang hari sambil melamun memandangi truckku yang terbalik, pikiran hanya fokus pada Laili.

Ingin sekali menolong, tapi apa daya aku sendiri juga gemetaran saat tahu betapa mengeringkannya Desa ini saat malam hari.

Semua nomor kontak di gawai sudah kucoba untuk mengabari, dan meminta solusi masalah ini, tiba-tiba terbesit keinginan untuk menelfon Dika.

Beberapa kali Dika terkekeh mendengar semua ceritaku. Bukannya dia tidak percaya, hanya saja terasa aneh baginya.

Akhirnya solusi terakhir yang kami sepakati adalah berdoa bersama, sebelum akhirnya kututup telfon.

Suara merdu seorang gadis di samping Dika, mencoba memberi solusi padaku.

"Perkenalkan, nama saya Fanny, masalah yang ada di Desa itu sebenarnya adalah ulah kalian sendiri,

Aku sedikit kaget mendengarnya, 'Kenapa bisa Kami?' fikirku. sebelum Gadis itu melanjutkan kata-katanya.

"Kalian lupa siapa diri kalian, Orang Jawa lupa pada adat ketimuran yang dijunjung oleh orang Jawa, semua itu ada tata caranya, Mas,

semua Desa pasti punya Punden, Tuhan menciptakan makhluknya dengan berbagai kekuatan, dan kita hidup berdampingan dengan dunia lain, apa kalian lupa berasal dari mana?

Nenek moyang kita orang Jawa kental dengan Adat istiadat Jawa, semua sudah di atur alam tapi kalian merusak, jadi homatilah adat, Kanjeng Sunan Kalijaga sudah mengatur agar Adat dan Agama seimbang, dengan sombongnya kalian menyalahi Adat..."

Akhirnya, aku sudah punya solusi untuk masalah Desa ini.

Bukan! tapi untuk Lailiku, masa bodoh dengan Desa ini.

Sehabis Adzan Maghrib acara doa bersama di gelar di Balai Desa dengan mendatangkan Ulama kondang dan tokoh agama setempat.

Banyak warga antusias mengikutinya, termasuk Timbul dan aku yang terpaksa ikut.

Tujuh orang bersorban berjalan ke depan,

yang terlihat Sepuh duduk paling depan, di atas Pendopo hanya di peruntukkan orang penting, sementara Kami membawa alas tikar sendiri dari rumah.

Doa-doa pun mulai di panjatkan, suara Kyai yang terdengar lewat Speaker Sound System menggema ke seluruh penjuru arah,

baru 3 menit acara di mulai, tiba-tiba angin kencang berhembus dari balik pohon bambu, datang beserta hujan lebat, padahal ini musim kemarau panjang.

Para warga banyak yang berjongkok, alas tikar yang tadi di bawah kini beralih di atas melindungi mereka dari tetesan hujan.

Aku dan Timbul memilih berteduh di warung depan Balai Desa yang tutup.

"BRAAAAAKKKK...!!!"

Aku terpaku melihat pemandangan di depan, Pendopo Balai Desa yang hanya di duduki orang penting itu, atapnya terlepas akibat hempasan angin kencang,

tak hanya sampai di situ, angin hitam berputar di tengahnya, bahkan kopiah putih mereka sampai ada yang terlepas.

Warga pun terpaksa berhamburan menyelamatkan diri.

Masih di Pendopo, orang-orang bersorban putih itu nampak panik satu sama lain,

bahkan ada di antara mereka jatuh pingsan.

Dua orang membantu yang Sepuh berjalan sebelum secara tiba-tiba sebuah kursi plastik menghantam punggung mereka.

"Ya Allah! inikah murka-Mu?!" pekikku.

Aku tak habis fikir dengan semua kejadian malam ini.

Suara cekikikan semakin memporak-porandakan Pendopo, warga akhirnya berlarian pulang.

Balai Desa yang tadinya ramai kini nampak sunyi mengerikan.

Beberapa ada yang pingsan, sementara yang lain banyak yang kesurupan,

Pak Kades sendiri juga terlihat pingsan sejak tadi.

Tinggal aku dan Timbul, celana Kami sudah basah oleh kencing, bagaimana tidak, di samping kami berdiri sosok kaku Alm Mbak Yuli, hadir dengan senyuman menyeringainya.

Teror terus berlanjut, setiap malam Kami mengalami hal yang mengerikan.

Bahkan ada serombongan Pemuda yang menamai diri mereka Youtuber Horor ingin merasakan kengerian di Desa ini.

Awalnya penduduk sudah melarang, tapi mereka bersikeras,

dan saat malam...

Jeritan terakhir mereka terdengar sangat keras, Alam mengantarkan mereka kepada mautnya.

Keesokan harinya Mini Bus yang di tumpangi para Youtuber Horor itu ada di dasar sungai.

Dua orang menjadi gila permanen, tiga lainnya mati kaku dengan mata melotot.


Menjelang sore aku dan Timbul sudah bersiap-siap menunggu di

sungai, sambil duduk di atas batu, Timbul sendiri tengah sibuk buang hajat di balik batu besar.

"Mbul, uwes gurung? selak sorop! (sudah belum? keburu habis senja)" teriakku ke arah Timbul.

"Seeek... (nanti...)" sahut Timbul dengan suara ngedennya (Menahan nafas)

"Cok lah! Ngiseng ndek kali kok suwe men! (Sial! buang hajat di sungai lama betul)" umpatku.

Sebentar lagi petang akan datang, ketika Timbul akhirnya selesai juga dengan urusan duniawinya,

Kami menyusuri jalan menuju pemakaman umum Desa Sumber Kunci.

"Kono loh, Cok! ndusel ae padane homo, (Sana sial! deketan aja seperti homo) kataku pada Timbul yang sedari tadi terus membuntut di belakangku.

"Wes sorop, Goblok! Sampek aku semaput gara-gara pocongan lak gak lucu, Su! (sudah gelap, goblok! kalau sampai aku pingsan karena pocongan kan tidak lucu, Njing!)" jawab Timbul asal.

Kami mencari tempat yang kelihatannya nyaman untuk bersembunyi,-

dan mengawasi dari balik pohon bambu di samping pemakaman, kunyalakan sebatang rokok, karena sejak tadi nyamuk mulai mengerumuni Kami.

Sunyi. Aku dan Timbul hanya diam tanpa suara, dengan mata terus mengawasi ke arah pemakaman.

Suara binatang malam bersahut-sahutan di antara suara angin senja.

Pemandangan makam menjelang malam membuat bulu kuduk kami meremang.

Hanya suara nafas Kami yang terdengar memburu.

Aku tahu Timbul sebenarnya juga takut dengan apa yang kami lakukan saat ini.

Tapi lebih takut lagi jika teror Pocong menghantui hari-harinya. Adik dan emaknya sudah mengungsi ke rumah saudara.

Kunang-kunang mulai beterbangan, menandakan hari sudah berganti malam.

Puntung rokok berceceran di bawah kaki Kami yang duduk berjongkok. Orang yang Kami tunggu tak menampakan batang hidungnya.

Timbul mulai gusar, rasanya sudah terlalu lama Kami menunggu.

Sampai terlihat bayangan 4 orang berjalan memasuki Pemakaman di kegelapan malam.

"Iku onok wong, Wo, (Itu ada orang, Wo)" kata Timbul sambil menunjuk ke arah-

pintu Pemakaman, tepat di mana bayangan 4 orang itu berjalan.

Satu orang menunggu di pagar pembatas dari tanaman, yang lain berjalan memasuki Pemakaman.

Dua di antaranya memikul cangkul di pundak Mereka, sedangkan yang satu terlihat memegang karung putih.

Dari jauh kami mengawasi Mereka, detak jantung sudah tak beraturan.

'Mereka semua urat takutnya sudah putus,' fikirku, aku yang mengawasi Mereka dari jauh begini saja sudah gemetaran.

"Mbul, budalo nang omahe Pak Kades, cepet, (berangkat ke rumah Kak Kades, cepat)" kataku.

"Saiki?" Timbul nampak enggan berdiri.

"Iyo,Goblok! mumpung gurung ilang wong'e, terus liwat muter ae ojo liwat dalan nek mbalek merene, (lya, bodoh! nanti keburu hilang orangnya, lewat jalan memutar saja kalau kembali kemari)" kataku, agar mereka tak curiga sedang di awasi.

Timbul mulai mengendap lalu tiarap, layaknya seorang tentara sedang latihan melewati medan rintangan.

"Mbul, koen iku lapo?" ucapku heran melihat tingkah anehnya.

"Ssssssttt..." jawab Timbul memberi isyarat.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencari kalau-kalau ada seseorang di sekitar kami.

"Ancene dulure Joko, mesti ae podo gendeng'e, (memang dasar saudaranya Joko, sudah pasti sama-sama gilanya)" sahutku.

Sejak tadi satu orang di luar pagar masih tetap berdiri di sana, sedangkan yang tiga sudah di tengah makam.

Timbul berlari kencang, entah karena ketakutan atau saking ingin cepat-cepat memberi tahu Pak Kades.

Sebelum Kami ke sini tadi, Kami mampir ke rumah Pak Kades, lalu menceritakan hal ini.

Meski Pak Kades seperti tidak percaya, namun dia memperbolehkan aku dan Timbul mengawasi

Pemakaman, jika memang terjadi sesuatu segera laporkan, pesan Pak Kades tadi.

Dari arah tengah pemakaman, nampak dua orang yang memegang cangkul tadi, mulai menggali kuburan.

Tak terlalu jelas, kuburan siapa yang sedang mereka gali di tengah malam begini.

"Hiiii ... hiii ... hiiii..."

Suara tangisan seorang wanita dari kejauhan mengagetkanku, terasa menyayat hati bagi siapa pun yang mendengarnya.

"Suutt... shuuut..." suara Timbul yang sudah datang bersama Kang Sarep, Pak Jainul dan Cak Han, anak Mak Asih. Mereka sudah ada di belakangku.

Dengan jari telunjuk di tengah bibir, aku memberi isyarat pada mereka, lalu menunjuk ke arah tiga orang di tengah makam yang terlihat berhenti karena mendengar suara tangisan juga.

Lalu kuarahkan jari telunjukku ke arah pagar tepat di mana, satu orang tadi berdiri menunggu rekannya.

Cak Sarep nampak menggosok tengkuknya mendengar suara tangisan itu, sedangkan Cak Han, geram dengan kelakuan ketiga orang yang mulai mencangkul lebih cepat, mereka terlihat terburu-buru.

Dari arah belakang suara segerombolan orang melewati tegalan (sawah kering) dengan mengendap-endap menuju ke arah Kami.

Pak Jainul memberi isyarat pada beberapa orang yang menuju ke arah Kami itu agar diam.

"Di grebek sak iki ta? (Di grebek sekarang ya?)" kata Cak Han.

"Ojo sek, Cak, diluk engkas sek (jangan sekarang, tunggu sebentar lagi)" jawabku, dengan mata terus mengawasi ke tengah Pemakaman.

Tiga orang yang tadinya mencangkul, berlarian kocar kacir ke arah pintu masuk Pemakaman.

Melihat hal itu aku dan beberapa orang di belakangku berlari ke arah jalan untuk menyergap.

Bagai mengejar maling, kami berlari ke arah pintu masuk makam.

Pak Jainul yang melempar batu seukuran kepalan tangan, yang ia pungut dari sungai.

Cak Sarep dan Cak Han, di ikuti beberapa orang dengan Arit dan pentungan kayu besar, dengan cepat mereka melumpuhkan dua orang yang memegang cangkul.

Lemparan batu Pak Jainul, mengenai punggung orang yang berdiri menunggu di pagar, sedangkan yang satu berhasil meloloskan diri.

Warga memukuli secara membabi buta. Bukan salah Mereka jika tak menghiraukan untuk tidak main hakim sendiri, sebab ulah Merekalah, banyak keluarga menjadi tidak tenang berada di rumah sendiri.

Aku hanya diam mematung melihat 9 orang itu menendangi tiga orang. Meski Mereka berteriak ampun puluhan kali, Warga seakan tak peduli. Namanya amarah seorang Bapak yang melindungi keluarga tercinta mereka, lalu di usik oleh orang-orang tidak bertanggung jawab ini. 'Pemandangan yang lebih seram daripada bertemu Pocongan, fikirku.

Sebelum mereka bertiga mati. Kucoba memberi saran untuk membawanya ke Balai Desa untuk di adili.

Beruntungnya para Bapak-bapak ini mau mengerti.

Atas saran dari Sesepuh Desa acara Bersih Desa di adakan ulang.

Warga juga membantu menarik trukku yang terguling hampir dua- minggu setengah lamanya.

Dan saat ini yang berada di sampingku, bukan Hantu Mbak Yuli lagi, tapi Lailiku sayang.

Ingin sekali kugendong Lailiku lalu berputar seperti film india,

"Kudu tanggung jawab loh, Mas" kata Laili siang itu, waktu aku akan kembali pulang.

"Iyo ... opo ae wes, demi Kowe supoyo seneng(iya ... Apa sajalah, demi Kamu supaya senang)" jawabku tersenyum lebar.

"Maaaaaaaaakkkkk! Anakmu sido rabi, STATUS KTP DADI KAWEN!" suara teriakan kerasku karena kegirangan.

"Joko Waras, gendeng'e pindah nang awakmu,(Joko sembuh, gilanya jadi pindah ke kamu)" sahut Timbul yang melihatku meloncat kegirangan karena akan menikah dengan Laili.

"Babah! seng penteng kawen! (Biarin yang penting nikah)" jawabku asal, seng penting YAKIN.

Terminal Ubung Bali

Keramaian!

Ku sandarkan punggungku di kursi panjang terminal Ubung Bali, ku mainkan gawaiku sambil menunggu agar tidak terlalu jenuh di tengah keramaian.

Sebuah bus berwarna hijau daun memasuki terminal, Aku bangkit berdiri di samping pagar pembatas antara jalur bus.

Dari pintu belakang bus yang baru saja berhenti, sosok gadis yang sangat familiar di mataku baru saja turun.

"MBAAAAAAAKKKK...."

Itu suara Nopi!

Saat mata Nopi melihatku yang berdiri di samping pagar menunggu kedatangannya, membuat para pengunjung terminal di sekitar memperhatikan karena suara kerasnya.

Aku tersenyum saat ulah Nopi menjadi sorotan banyak pengunjung, ketika ia berlari ke arahku.

Bagaikan seorang adik yang sudah lama tidak bertemu dengan

kakaknya, gadis manis mengenakan hijab berwarna pink dengan tas besar di punggung berlari ke arahku.

Nopi memelukku dari luar pagar padahal tadi aku sudah memberi isyarat padanya, agar lewat pintu masuk.

"Huuu... Kangen" kata Nopi saat kami berpelukan, padahal baru 3 bulan lalu aku jauh darinya.

"Mbak Eni mana.." Tanyaku karena Nopi kesini bersama ibunya.

"Lha itu" Jawab Nopi asal, menunjuk Perempuan dengan kardus kotak di kedua tangannya yang terlihat berat.

Tak terasa bulir air mataku jatuh, saat ku cium tangannya lalu ku peluk erat tubuh mbak Eni. "Gimana kabarnya, Nduk" Tanya Mbak Eni, sambil mengelus punggungku saat kami berpelukan. Aku tak ingin menjawab pertanyaannya, sosok seorang ibu yang memperhatikan ku layaknya anak kandung.

Perjalanan menuju rumah kecerewetan Nopi tiada henti, meski umur kami hanya selisih bulan aku sudah menganggap, Nopi layaknya adikku sendiri.

Bahkan ia mulai bercerita tentang teror pocong di desa, yang memaksa kepindahanku kesini.

"Teror pocong di desa udah ndak ada, Mbak teru..."

"Nopi..." Suara Mbak Eni menyela Nopi yang mulai bercerita.

"Ngak papa, Mbak" Sahutku dengan mengemudikan mini bus untuk akses pulang pergi ke tempat kerja dari abah ayah angkatku saat ini. "Lanjutin Nop" Lanjutku, menyuruhnya untuk lekas bercerita.

"Beneran ndak papa, Mbak" Jawab Nopi mengerutkan dahi, ia tampak ragu untuk melanjutkan ceritanya.

Aku tersenyum memandang wajah bulatnya, lalu kuangukan pelan kepalaku.

"Nanti saja kalo udah sampai di rumah, Nduk" Sahut Mbak Eni, yang duduk di kursi belakang.

"Iyo Mbak, Ayahab" Jawab Nopi.

"Ayahab?" Tanyaku tidak mengerti.

"Bahaya, Mbak Shep" Jawab Nopi.

Nopi mulai bercerita saat kami sedang bercengkrama, di ruang tengah depan tv sedang kan Mbok Asih sibuk di dapur.

"Jadi di lanjutin Ndak, Mbak ceritanya" Kata Nopi.

Aku segera bersandar di pangkuan Mbak Eni, memeluk guling yang ku ambil dari kamar lalu siap mendengarkan celoteh Nopi.

***


Juragan Sunar marah karena warga sumber, lebih memilih menjual cabainya pada Abah Sufyan. Menurut warga harga yang di tawarkan juragan Sunar terlalu murah, sedangkan waktu itu harga cabai di pasar sangat mahal.

Kesal dengan penolakan warga, juragan Sunar ingin memberi pelajaran agar warga desa sumber jera. Juragan Sunar menemui dukun langanan yang biasa memberi penglarisan.

Juragan Sunar mulai mengutarakan niatnya pada sang dukun.

Ki Projo, begitu juragan Sunar menyebutnya menyuruh Juragan Sunar mencari kuburan yang matinya, selasa wage dan jum'at wage.

lalu menyuruh menamkan kaki ayam serta benda aneh pemberian ki Projo, untuk di tanam di kuburan tersebut. Tak lupa tanah dari kuburan tersebut harus di ambil untuk di sebar di penjuru desa, dan gapura masuk desa.

Lalu pada malam itu juga ki Projo dan juragan Sunar serta beberapa orang kepercayaan juragan Sunar pergi ke punden desa sumber untuk ritual pengiriman santet pocong.

Juragan sunar tertawa senang saat santet pocong kirimannya berhasil mengusik ketenangan desa sumber. Konser kuda lumping ia sewa

untuk merayakan keberhasilannya.

selama hampir satu bulan, teror pocong terus menghantui warga desa sumber.

Juragan Sunar mulai mengutarakan niatnya untuk membantu. Warga desa yang mengalami musibah teror pocong kirimannya pada pak Kades. Alih alih menjadi seorang pahlawan agar warga kembali menjual cabai padanya, dengan harga yang sangat murah karena berhutang budi oleh pertolongan juragan Sunar.

Sebelum juragan Sunar mengutarakan niat tersebut. Timbul dan Bowo sopir truck abah Sufyan yang sering mengantar pupuk bantuan secara gratis pada warga. Sudah terlebih dahulu mengadukan perihal yang menjadi sebab teror pocong di desa, dengan menceritakan mimpi yang di alami Bowo saat mencari petunjuk di punden desa.

Lalu saat sore Timbul dan Bowo di beri tugas mengawasi kuburan, jika memang terjadi sesuatu yang mencurigakan agar langsung dilaporkan. Beberapa warga yang mengetahui cerita Timbul dan Bowo sudah

bersiap di rumah lek Han. Karena akses menuju kuburan sangat dekat. Warga berlari menyusuri jalan, berbekal arit yang biasa digunakan mencari rumput dan pentungan kayu. Menyeberangi sungai sesudah Timbul memberi tahu kalo ada kegiatan mencurigakan di kuburan desa. Sedangkan salah satu warga melaporkan pada pak Kades, seusai di hakimi secara sepihak ke tiga orang suruhan juragan Sunar di arak ke balai desa, dengan wajah babak belur pak Kades menginterogasi ketiga orang tersebut.

Ketiga orang tersebut mengakui jika juragan Sunar yang menyuruh. Bahkan alm mbak Yuli yang baru meninggal karena terpeleset saat mencuci pakaian di sungai pun, di gunakan untuk meneror warga. Ahirnya atas kesepakatan bersama warga desa. Kasus itu di limpahkan kepada pihak berwajib dan atas perbuatannya juragan Sunar

mendekam di balik jeruji untuk beberapa bulan dan semakin di benci warga desa sumber, Meski aslinya Santet tidak bisa di buktikan kebenarannya.

Tapi penuturan orang suruhannya bisa menjadi bukti kuat untuk menuntut juragan Sunar.

"Terus nasib Joko anak penjual gorengan itu gimana, apa masih telanjang berjalan dengan tawa gilanya" Tanyaku penasaran.

"Masih, Mbak katanya Joko gila karena mengencingi punden desa" Jawab Nopi.

"Ohh..." Sahutku.

"Mbak Shepia, suka sama Joko yah" Tanya Nopi sambil cengegesan ke arahku.

"Ngawur.." Sahutku serasa melemparkan guling yang sedari tadi ku

peluk kearah Nopi.

Mbak Eni dan Mbok Asih tertawa mendengarnya.

"Emang selama disini belum ndak ada yang di sukai, Nduk" Tanya Mbak Eni, sambil membelai rambut panjangku.

"Ada hehehehe.." Jawabku sambil menutupi wajah dengan selimut.

"Siapa Mbak" Tanya Nopi semangat.

"Ada lah" Jawabku asal.

"Mak tau kok orangnya" Sahut Mbok Asih dari belakang.

"Mboook..." Sahutku dengan muka yang ku tekuk.


-TAMAT-

Source By : Story SimpleMan