PADUSAN PITUH

 


PADUSAN PITUH



CeritaHororRumahJalu

"gw inget, malam itu, gw lagi mau tidur. lampu kamar udah gw matiin, di luar turun hujan gede" "tiba-tiba.. gw denger suara pintu kamar di buka, karena gw penasaran, gw turun dari tempat tidur, gw jalan sampe pintu kamar, pas gw intip, ada nyokap gw, wajahnya.. kaya orang bingung
"gw udah mau buka pintu kamar, tapi.. tiba-tiba, nyokap gw masuk ke kamar itu" "awalnya gw pikir selesai, toh dia berdiri di kamar adik gw, namanya.. Linduu" "pas gw mau balik ke tempat tidur, tiba-tiba, gw denger suara Lindu teriak kenceng!!" "nyokap mau bunuh anaknya sendiri!!"
"gw lari, di ikuti orang serumah" "lo tau apa yang terjadi disana?" wanita itu menatap semua orang yg melihatnya bercerita.
"nyokap cekik anaknya, iya, anaknya yg masih umur 7 tahun!!" wanita itu tertawa sembari bercerita, membuat semua yg mendengarnya merasa tidak nyaman.
"nyokap gw sakit!! SAKIT BANGET!! padahal, dulu dia gak begitu, sebelum kedatangan yang kata nenek gw, rumah gw kedatangan Dayoh Rencang!!" wanita itu menunggu, ia melihat ekspresi semua orang, namun, tampaknya tidak ada yg mengerti maksud ucapannya. ia masih menunggu.
seorang lelaki berewok lantas bertanya pada wanita yg masih tenang duduk, senyumnya ganjil. "Dayoh rencang itu apa? bahasa jawa ya?"
wanita itu tersenyum "gw dari jawa, tapi gw gak bisa bahasa jawa, tapi.. kata teman jawa gw, itu istilah kuno, bukan bahasanya namun"
wanita itu seperti tidak mau melanjutkan ucapannya, namun ekspresi penasaran semua orang yg menunggu cerita itu di lanjutkan masih bertanya-tanya, "Dayoh Rencang memiliki makna simbolis yg sudah lama tidak pernah disebut lagi, makna filosofis dari datangnya, hantu anak-anak!"
"hantu anak-anak, maksudnya?!" tanya salah satu pendengar,
"nyokap gw mendapat pesan dari hantu anak-anak itu, dia bilang, Lindu itu" "ANAK SETAN!!" "mereka datang, buat jemput Lindu"
"sekarang bayangin ekspresi nyokap lu ngatain SETAN sambil nyekik darah dagingnya sendiri"
"tapi satu yg gw inget!!" "nenek gw mengatakan sesuatu yg bener- bener ganggu pikiran gw sampe saat ini"
"apaan?" tanya lelaki berewok itu lagi.

"PADUSAN PITUH" "karena selepas kejadian itu, nyokap gw di pasung, sampe akhirnya mati karena gigit lidahnya sendiri"

"diakhir hidupnya, dia menulis sebuah nama. CODRO BENGGOLO dan ANGGODO kudu nerimo ROGOT NYOWO!!"




"cuk!!" bisik seorang lelaki, "ngedongeng teros, ibuk mateni anak lah, ibuk mati bunuh diri lah, pancen seneng nggarai wong keweden!! Mir, Mira" (dongeng terus, ibu bunuh anaknya lah, ibu bunuh diri lah, memang paling suka bikin orang takut ya kamu!! Mir, Mira)

Mira, nama itu memang sudah hampir terkenal di kalangan anak-anak yg bekerja di kantor ini, salah satu dari pencerita paling ngawur namun memberi esensi horror lain yg membuat semua temannya tidak bosan mendengar ceritanya, Mira menatap Riko, lelaki di depannya, ia tersenyum,

"gak semua ceritaku karangan!! ada beberapa yg asli, dan kalau aku ngasih tau kamu mana yang asli, kamu bakal lupa caranya kencing di kamar mandi!!"

Riko tidak peduli. "nama terakhir itu, apa.. ROGOT NYOWO!! aku kayak pernah dengar, tapi apa ya? itu ngarang juga?"

Mira, diam.

"Mir, gw minta file kasus orang bunuh diri itu, kirim ke email ya!!" teriak seorang perempuan dari seberang meja, Riko langsung menanggapi, "gak usah ikutan ngomong gw lo, kamu orang jawa, pakai aku aja, dulu pertama kesini malah pake saya kamu!!"

"iya" jawab Mira

Riko yg entah karena memang senggang, tiba-tiba melihat sebuah jurnal di atas meja Mira.

Mira yg kembali menatap layar monitornya membuat Riko secara sembunyi-sembunyi mengambilnya, disana, Riko membuka jurnal itu, didalamnya banyak sekali sobekan dari koran-koran tua,

untuk apa Mira menyimpan potongan koran tua ini, Riko membuka lembar per lembar, semua tidak ada yg dimengerti oleh Riko, sampai Riko terhenti di salah satu halaman dengan headline "satu keluarga kaya tewas satu persatu akibat Santet kuno" Riko menatap Mira yg belum menyadari

di samping potongan koran ada kertas kosong, tertulis disana sebuah tulisana yang di coret-coret dengan pena, Riko menatap tulisan itu yang terbaca, "JANUR IRENG!!" sebelum Mira sadar dan menatap sengit Riko dan merebut jurnal itu.

"ASU KOEN, MINGGAT!! usir Mira,

Riko pergi.

jam makan siang, seseorang memanggil Mira, ia mendekat lalu duduk, di hadapannya ada Riko dan Stella, salah satu atasannya.

"Riko cerita, kamu masih nyelidiki kasus itu? kasus lama yg bahkan sampe jadi semacam cerita legenda gitu, apa itu?" Stella menatap Riko. "JANUR IRENG"

"yes. JANUR IRENG!!" kata Stella, "gak ada gitu sesuatu yg bikin kamu tertarik, ya maksudku bukannya ngelarang, tapi kasus itu sampe sekarang gak ada yg tahu, bahkan apa yg terjadi saja gak ada buktinya, lagian dapat nama JANUR IRENG darimana?" tanya Stella

"Lindu" jawab Mira

Stella tampak berpikir, ia menatap Riko dan Mira bergantian sebelum, "ada 3 orang yg pernah terlibat dalam koran di jurnalmu!!" Stella mengamati sekeliling, "satu orang mati!! satunya gila!! dan satunya" Stella menyesap rokok, "jadi kaya melintir!!" "itu kasus paling aneh Mir!!"

Mira membuka pintu rumah, ia berjalan menelusuri ruang tamu, dari salah satu pintu kamar, Mira membukanya, di dalam sana, ia melihat ibunya tengah sholat

Mira kembali menutup pintu, namun tiba-tiba, ia melihat Lindu berdiri di depannya "ibuk gak boleh sholat!!" Mira diam,

Mira melihat tangan Lindu, jemarinya berdarah-darah, "sudah pulang nak" sahut ibunya membuka pintu kamar, "anak itu sudah keluar, tadi ibu kunci dia di gudang bawah"

"anak sekecil ini kenapa di perlakukan seperti itu buk" kata Mira,

"karena anak ini adalah Benggolo!!" sahut ibu

sudah ratusan kali Mira mendengar nama "Benggolo" entah dari almarhumah neneknya sampai ibunya, seakan nama itu adalah hal terburuk, namun setiap di tanya apa itu Benggolo tak ada satupun yg menjawabnya.

Mira menggandeng Lindu masuk ke kamarnya, sejak awal, hidup Mira-

hanya melihat ibuk dan anak seolah-olah ingin saling bunuh membunuh.

Rumah ini terasa seperti neraka.

Mira membantu adiknya membersihkan luka di tangannya, "kamu nyakarin pintu lagi" tanya Mira,

"iyo mbak" Lindu tersenyum, "mbak, ibuk ojok oleh sembayang maneh, engkok, dayohe teko maneh" (kak, ibu jangan dibolehin sholat nanti tamunya datang lagi)

"dayoh sopo seh Ndu, sembahyang kan kewajiban" (tamu siapa yg datang, sholat itu kewajiban)

Lindu lantas berbisik lirih, "umur'e ibuk wes gak dowo mbak, aku mau ndelok onok Dayoh teko" (umur ibuk gak panjang, tadi aku lihat tamunya sudah datang)

Mira menatap adiknya ngeri,

Lindu menarik tangan Mira, membawanya ke jendela kamar, menyibak tirai itu, lantas Mira bisa melihat halaman rumahnya, namun, tidak ada siapapun disana.

"iku mbak, onok sitok sing longgoh nang nisor wet pencit" (itu kak, ada satu yg lagi duduk dibawah pohon mangga)

Mira bingung

Lindu melambai, membuat Mira akhirnya menutup tirai, ia memeluk adiknya.

hening, sunyi, sebelum, "MIRAAAA!!" teriakan ibunya membuat Mira tercekat dan pergi menuju kamar ibunya, disana, ibunya mencakar kelopak matanya, menariknya seakan ia ingin merobek wajahnya, Mira menjerit.

butuh waktu bagi Mira untuk sadar sebelum ia mengkekal tangan ibunya agar berhenti melakukan hal itu, darah keluar dari kelopak matanya, "onok opo buk!!" (ada apa buk)

ibu Mira menunjuk jendela, Mira perlahan-lahan, mengintip jendela ibunya saat dengan mata kepala sendiri, Mira-

melihat, seorang anak perempuan, tidak, lebih dari ratusan anak perempuan dengan pakaian lusuh, mereka bertelanjang kaki berdiri memenuhi halaman rumah Mira.. mereka serempak mengatakannya, "Balekno Benggoloku!!" (kembalikan Benggoloku!!)


Mira kembali menutup tirai, saat itu ia melihat ibunya kembali.

"onok opo asline buk!!" (ada apa sebenarnya buk)

ibu Mira tampak diam, namun Mira terus mencoba membuat ibunya bicara, sampai, Lindu masuk ke kamar dan melihat Mira dan ibunya..

"anak itu milik seseorang"

"anak orang gimana buk, aku lihat ibuk yg melahirkannya!!"

ibu Mira menatapnya"dia bukan saudaramu!! CODRO, ingat nama itu nduk, nama yg pernah disebut nenekmu. Lindu anaknya"

"kenapa dengan Codro? dan siapa dia?"



Lindu tiba-tiba mengatakannya, "ROGOT NYOWO mbak"

"iya, Rogot nyowo" kata ibu Mira, "dia butuh Lindu, untuk melindunginya dari Rogot nyowo"

"aku gak ngerti buk.. Lindu bukan saudaraku bagaimana, jelas-jelas ibuk yg melahirkannya?"

"Codro meniduri setiap janda, saat bapakmu mati, ibuk.." ibu Mira mulai menangis,

Lindu mendekati Mira dan ibu, "nek aku metu, Dayohe bakalan ngaleh" (kalau aku keluar, tamu yg datang akan pergi)

Mira menatap adiknya, mencengkram tangannya, "jangan!! ibuk belum menjelaskan semuanya" "apa itu Rogot nyowo dan apa hubungannya?"

"Rogot Nyowo iku sumpah wong pitu nang persekutuan keluarga, ben keluarga nduwe ingon lan kutukane dewe-dewe, sak iki, onok balak sing nggarai getih pituh kepecah, kabeh keluarga podo masang awak kanggo ngindari sumpah Rogote dewe-dewe"

(Rogot nyowo adalah sebuah sumpah dari 7 orang yg bersekutu, keluarga besar, yang semuanya punya peliharaan dan kutukannya sendiri-sendiri, sekarang, bencana yang membuat 7 darah terpecah, membuat semua keluarga pasang badan untuk menghindari sumpah mereka sendiri-sendiri)

mendengar penjelasan itu dari ibunya, Mira lantas memeluk Lindu, "tetap saja, dia ini anakmu, gak seharusnya di serahkan" saat Mira mengatakan itu, ia ingat, anak-anak perempuan di luar rumahnya, jangan-jangan, Lindu menatap Mira, ia mengangguk "mereka milik Codro mbak"

Mira memeluk ibu dan adiknya, menjaga mereka dari teriakan yang terus menerus memanggil "Benggolo!!" sampai tiba-tiba suara mereka hilang, lenyap.. semuanya, menjadi hening. sunyi..

sebelum, Lindu menggigit lengan Mira hingga robek, dan mencengkram kepala ibunya yang masih mengenakan mukenah, membenturkannya ke meja sembari berteriak keras-keras, "Wedokan goblok!!" (perempuan bodoh!!)

Mira meringis, melihat adiknya terus menerus menghantamkan kepala ibunya

suara Lindu terdengar berat layaknya suara seorang lelaki tua, ia terus menerus menghantamkan kepala ibunya sebelum Mira menarik kerah bajunya, menghantamkannya ke lantai dan mencekik leher Lindu, ia melihat adiknya meronta-ronta, namun Mira terus mencekiknya

butuh waktu sebelum Mira benar-benar sadar atas apa yg ia perbuat, ia melepas Lindu, berlari keluar rumah dan berteriak keras sampai tetangganya berkumpul dan menyaksikan semua itu..

Mira beruntung, malam itu, tidak ada yang meninggal meski ibunya tidak sadarkan diri..

"aku gak percaya sih sama cerita begitu" kata Riko, ia datang setelah Mira menelponnya

"Codro!!" "itu nama samaran atau bagaimana? banyak orang yg punya nama itu?" sahut Riko mengingatkannya,

Mira hanya diam, ia masih terbayang adiknya.. sampai Riko mengatakannya,

"adikmu sejak dulu aneh kan" "gimana, kalau adikmu di ruqiah saja. aku kenal orang yg bisa bantu, itu kalau kamu mau, sekaligus, menghindarkan adikmu dari ibumu?"

Mira menatap Riko, sebelum mengangguk, esok hari, saat semuanya kembali normal, Lindu harus dibawa

sebelum Mira pergi dan melihat kondisi rumahnya yg penuh dengan tetangga yg membantu, Riko kembali memanggilnya, "Mir, Rogot nyowo yg kemarin aku tanyakan, aku sudah ingat"

Mira berhenti untuk mendengarkan, ia melihat Riko,

"dulu aku punya kenalan yg pernah sebut Rogot nyowo"

Riko menatap Mira, "namanya, Dela Atmojo, tapi sudah lama aku gak pernah melihatnya lagi. nanti kalau ketemu dia, aku akan tanyakan maksud kalimat itu"

Mira diam, ia mengulangi nama itu "Dela Atmojo"

darah di lengan Mira masih mengalir, ia menutupnya dengan potongan kain yg ia temukan, rumah masih ramai dengan tetangga yg berkumpul. Mira menatap ke sekeliling, menemukan Lindu yang di ikat seperti pencuri di pasar-pasar, "buk" kata Mira menatap ibunya, "Lindu biar ku bawa"

Mira melepas ikatan Lindu, menggendongnya paksa, semua tetangga menatap khawatir anak itu, "gak papa" kata Mira menenangkan semua tetangganya, tatapan mereka khawatir, ibuk hanya mengawasinya, ia tahu apa yg akan di lakukan anaknya

"nduk" katanya, saat Mira mulai pergi,

"koen bakal nyesel gowo iblis iki" (kau akan menyesal kalau membawa iblis ini)

semua tetangga menatap Mira dan Lindu, "lalu gimana, mau di bunuh saja, ambilkan parang di dapur biar ku gorok di sini darah dagingmu!!" ancam Mira, tak ada yg berani berkomentar, sebelum Riko masuk

"sudah Mir, ndak enak didelok wong akeh" (sudah Mir, gak enak di lihat orang banyak) bujuk Riko meraih Lindu dari tangan Mira, "buk, biar tak bawa Lindu, mungkin ada cara biar dia tidak seperti ini" bujuk Riko yg hanya di tanggapi sinis oleh ibuk

"terserah" sahut ibuk tak peduli

Riko sudah pergi, ketika Mira berbalik berniat pergi, ibuk merengkuh anaknya, memeluknya sembari berbisik lirih, "iki bapakmu nduk sing salah sak jane, ibuk melakukan ini biar kamu hidup" (ini semua salah ayahmu aku melakukan ini biar kamu bisa hidup)

Mira terlihat bingung,

"maksudnya apa buk?" tanya Mira,

"ibuk ndak bisa ngomong, ibuk sudah janji sama mbah-mu, katanya kelahiranmu itu pertanda akan terjadinya Rogot nyowo!! ibuk takut Mir, takut kalau apa yg di bilang mbahmu kejadian"

"rogot nyowo" Mira masih bingung, ia tak mengerti apapun itu

"Rogot nyowo itu apa buk"

"ndak, ndak bisa, ibuk ndak mau bicara, ibuk sudah janji, kamu istimewa Mir, rogot nyowo di tentukan oleh tanganmu sendiri, ibuk tidak boleh mengobrak abrik takdir, kamu sudah di ikat oleh"

"oleh siapa buk?" paksa Mira,

namun, ibuk memilih diam,

"terserah buk, Mira sudah besar tahu apa yg terbaik untuk Mira sendiri" Mira pergi,

malam itu adalah malam terakhir Mira melihat ibunya, setidaknya itu mungkin menjadi yg terakhir kali, karena setelah itu, semua di mulai dari titik ini, Padusan pituh sudah menunggu Mira

Malam itu dingin, Mira duduk di depan di samping Riko yg tengah menyetir, ia menatap perempuan itu tampak muram, Lindu tengah tidur, malam ini begitu berat bagi mereka, hening, sebelum Mira berbicara, "ibuk bilang lagi, dia nyebut Rogot nyowo lagi, aneh kan?" Riko hanya diam,

"kadang orang tua memang begitu Mir, mungkin karena ibukmu dulu kejawen seperti ceritamu, mbahmu juga gitu kan, dan bapakmu?" Riko melirik Mira menunggu reaksinya, Mira selalu sensitif mendengar bapak,

"aku gak pernah lihat bapak, udah lama mati sejak masih kecil"

"gak satupun aku ingat tentang bapak, seharusnya untuk anak seusiaku, pasti ada ingatan tentang bapak walaupun samar, tapi semakin keras aku coba inget tentang bapak semakin aku gak tau" Mira tersenyum sinis, menertawai hidupnya, "mungkin keluargaku di kutuk kali"

mobil Riko terus melaju, malam semakin larut, Mira tak tahu kemana Riko akan membawanya, yg ia ingat Riko akan mengantarkannya menemui seseorang,

seseorang yg bisa merawat Lindu, setidaknya melihat apa yg sebenarnya terjadi pada anak itu, anak yg selalu di sebut iblis oleh ibuk

tanpa terasa, 8 jam mereka sudah berkendara, setelah berhenti di beberapa titik, Riko masuk ke dalam sebuah desa, desa yg masih terlihat sangat kuno, dengan beberapa wanita yg masih mengenakan jarik, Riko berhenti di salah satu rumah berbentuk Joglo dengan banyak pohon pisang,

"kita sampe Mir" ucap Riko mengangguk, ia lantas membangunkan Lindu, anak itu terbangun dari tidurnya namun ekspresi wajahnya tampak tidak senang,

"kamu kenapa ndu?" tanya Mira khawatir,

"Lindu gak mau turun, ini tempat apa? tempat ini gelap sekali"

"gelap?" batin Mira, ia menatap Riko yg menggeleng bingung, tak beberapa lama, seorang ibuk mendekati mobil mereka, ia membawa tali di tangannya, Riko melangkah keluar, "wes teko le," (sudah datang nak)

Riko mengangguk,

"bawa kesini anaknya, biar kami urus"

"urus bagaimana maksudnya buk?" tanya Riko ia bingung, sebelumnya bahkan ia belum memberitahu apapun kepada mereka semua, tapi seakan-akan mereka tahu bahwa Riko akan datang membawa sesuatu,

terlalu lama, si ibuk itu mendekati mobil, menarik kaki Lindu dari kursi belakang,

wanita itu tampak sangat murka, beberapa kali ia menyebut "penyakit" dan hal itu membuat Mira marah, Mira mencoba menghentikan perlakuan kasar wanita itu, namun, ia menatap Mira sengit lalu berujar, "nyowo adekmu, opo nyowomu?" (nyawa adikmu apa nyawamu?)

Mira baru sadar,

di sekeliling mobil sudah di penuhi wanita yg menatapnya marah, Riko hanya menggeleng pada Mira, ia tidak tahu apa yg terjadi di tempat ini, "koen wes di enteni ambek Baduh, mbak Mira" (kamu sudah di tunggu Baduh di dalam, mbak Mira)

Mira melangkah turun, semua wanita mendekati mobil memaksa Lindu keluar dari sana, sedangkan Mira mengikuti satu di antaranya, ia berbicara kepada Mira "semalam Baduh mimpi, katanya yg akan membawa bagebluk akan mampir ke rumah ini" kata si wanita, "namanya Mira"

"bagebluk?" tanya Mira, ia mengangguk mengkoreksi kalimatnya "bencana mbak maksudnya"


Mira menatap pintu joglo dan saat itu juga ia merasakan perasaan paling tidak enak, ada sesuatu yg benar-benar gelap di sana, dada Mira terasa sesak, "ini baru pembukaan mbak, kamu lebih sakti"

"aku? sakti?" wanita itu mengangguk, "nanti baduh yg jelaskan semua, alasan kenapa mbahmu sampai melakukan ini, tapi sudah waktunya, dari timur angin sudah gelap, ada yg akan terjadi, saya saja sudah gak tidur selama berhari-hari, darah sudah di teteskan di timur" ucap si wanita

Mira mengikuti si wanita, masuk ke dalam rumah, aroma lumpur tercium dari setiap sudut, banyak pintu kayu terlihat di depan Mira, si wanita menuntuh sementara Mira semakin merasa nyeri, kepalanya seperti di tekan dengan keras, "sedikit lagi, di tahan mbak" katanya, Mira menelusuri lorong rumah, ia di tuntun perlahan-namun Mira selalu mendengar jeritan dari setiap kamar, suara memekikkan mereka membuat Mira semakin merasa terbebani, "ndak usah di dengar" kata si wanita,

"tempat apa ini"

"Omah Ruwut" (rumah tenung)

Mira berhenti di salah satu kamar, ia penasaran dengan apa yg terjadi di dalamnya, tak ada apapun di sana kecuali sebuah ranjang kosong dengan seorang lelaki yg tengah duduk membelakangi pintu, Mira tertuju pada sosok lelaki itu, ia hanya diam, diam, sebelum

perlahan tubuh lelaki itu bergerak, ia memutar tubuhnya perlahan- lahan, Mira memekik ngeri menatap tubuh lelaki itu berputar, menatapnya kosong, seketika pintu di tutup si wanita melihat Mira, "sudah tak bilang, ini omah ruwut mbak"

Mira mengangguk,

wajah lelaki itu masih terbayang jelas di dalam kepalanya.

"di sini mbak tempatnya"

Mira menatap sepasang pintu, guratan kayu di pintu tampak begitu usang, berbeda dengan pintu-pintu lain di dalam rumah ini, tidak hanya itu, pintu ini sengaja di rantai seakan tidak sembarang orang bisa memasukinya,

"Baduh" katanya sembari menyeringai

"monggo" katanya seraya menunduk mempersilahkan, Mira melangkah masuk, yg ia dapati di dalam ruangan itu adalah sebuah kamar tertutup dengan alas tanah, di setiap sudut Mira melihat gabah padi tergantung, tak hanya itu, Mira juga melihat tebu yg saling di ikat,

ruangan ini lebih terlihat seperti gudang pangan di bandingkan sebuah kamar, wanita itu menutup pintu sebelum merantainya, Mira hanya menatap kesana-kemari sebelum matanya melihat sesuatu di balik tembok lusuh, ada ruangan lain dengan ranjang bertirai transparan, di dalam ranjang bertirai itu, Mira melihat, seseorang di dalamnya. "ayok mbak" ucap si wanita, menuntun agar Mira mendekati ranjang misterius itu, "sudah waktunya kamu tahu semuanya"

ruangan itu pengap, sejauh mata memandang Mira hanya melihat tumpukan hasil bumi yang seperti tidak pernah di sentuh, di letakkan begitu saja memenuhi ruangan ini,

"ini semua ucapan terima kasih dari orang-orang" kata si wanita, "ndak usah di perdulikan"

Mira berdiri menatap sosok di balik tirai itu, ia berselimut karung gabah, seakan sedang bersembunyi membuat Mira begitu penasaran dengan sosok di baliknya

"silahkan duduk mbak" ucap wanita itu, meletakkan kursi kayu di depan ranjang sebelum mendekatinya seperti tengah menguping

"beliau bilang, selamat datang nduk" kata si wanita seakan menerjemahkan sosok misterius itu, "wes wayahe awakmu menuhi janji bapakmu ambek padusan pituh" (sudah waktunya kamu memenuhi janji bapakmu dulu pada pemandian ketujuh)

ia kembali berbisik, dan wanita itu mengangguk,

"wes suwe mbahmu matusono nggarahi awakmu lali, sak iki, aku takon, awakmu purun ngelakoni Sirat nang kene" (sudah lama nenekmu membisiki dirimu membuatmu lupa dengan semuanya, sekarang aku tanya, kamu mau saya membuka ingatanmu)

Mira menggelengkan kepala, bingung

"nenekmu" kata si wanita, "dia yg membuatmu lupa semuanya, dia melakukan itu dengan alasan yg hanya dia sendiri yg tahu, sekarang Baduh mau bantu kamu kembalikan sowok yg di tanam" "pertanyaanya, kamu mau apa tidak?"

"saya di sowok oleh nenek saya sendiri?"

ia mengangguk

Mira menggelengkan kepala tidak percaya dengan apa yg dia dengar, "nenek saya sudah lama meninggal, sejak saya masih kuliah"

"begitu" si wanita tersenyum, "jadi karena itu, sebenarnya, aku akan memberitahumu sesuatu dan mungkin ini menganggumu, ingat di mana kamu tinggal dulu?"

tiba-tiba Mira tersadar, ia melupakan sesuatu, benar, rumah, ia tidak ingat apapun tentang rumah

"kenapa?" wanita itu mendekati, "kamu lupa?"

Mira menatap si wanita, "bahkan kamu tidak akan bisa menjawab pertanyaanku yang ini," "alasan apa kamu tetap membayar kost."

"tempatmu tinggal dulu, padahal, kamu sudah lama tidak tinggal di sana?"

Mira teringat dengan tempat itu, "kost?"

"iya, kenapa?"

"entahlah, karena aku suka tempat itu" jawab Mira,

si wanita tersenyum, ia mendekati sosok bernama Baduh itu, mendengar saat dia kembali berbisik, "kata Baduh, kamu menyembunyikan sesuatu di sana, sesuatu yg teramat penting, sehingga nenekmu sampai melakukan itu"

Mira menatap sengit mereka, "apa tujuan kalian sebenarnya?"

"menuntunmu nak, menuntunmu menuju takdir besarmu, takdir di mana kamu akan bertemu dua dari mereka, Codro dan.." sebelum wanita itu bicara, sosok itu tiba-tiba berteriak sangat keras, "OJOK SEBUT JENENGE IBLIS-IBLIS IKU" (JANGAN MENYEBUT NAMA IBLIS- IBLIS ITU) si wanita diam,

"Uripmu bakal abot nduk" (hidupmu akan sangat berat) kata sosok itu, ia mengulurkan tangan melambai meminta Mira mendekat, Mira tercekat menatap tangan sosok itu begitu kecil, begitu kurus, begitu pucat, makhluk apa yg ada di depan Mira ini, Mira belum bisa melihat wajahnyanya

"mreneo nduk, mrene" (kesini nak, kesini)

Mira menatap si wanita, ia mengangguk seakan mengatakan kepada Mira tidak akan ada yg terjadi, Mira pun mendekat, ia merasakan tangan mungil itu membelai rambutnya, Mira bisa melihat satu bola mata kecil di wajahnya,

"ngelawan siji ae sewu nyowo gak cukup, opo maneh koen nduk, sing bakalan ngadepi loro menungso rai iblis model ngunu" (melawan satu saja seribu nyawa gak cukup, apalagi kamu nak, yg akan melawan dua dari mereka, manusia berwajah iblis seperti itu)

Mira hanya diam mendengarkan,

rasanya dingin, saat tangan kecil itu menyentuhnya Mira gemetar, sesuatu perlahan-lahan kembali, ia ingat ia pernah menulis sesuatu, tidak hanya satu namun berlembar-lembar kertas, sesuatu yg perlahan menyeruak naik,

"wes iling?" (sudah ingat?) tanya sosok itu,

"di bawah ubin Kost saya, di sana semua di tanam" ucap Mira,

di bantu si wanita sosok itu perlahan membuka karung gabah, dan Mira melihatnya, wajahnya hancur seperti korban kebakaran, kakinya jauh lebih kecil di bandingkan badan dan kedua tangannya yg semuaya kurus kering,

ia menatap Mira iba,

"Hitam?" kata si wanita, "inilah akibat bila manusia kalap dengan warna hitam"

"beliau dulu adalah satu dari orang yg pernah menjaga padusan pituh, meskipun ia tidak mengenal bapakmu karena memang setiap tahun beregenerasi, tapi satu yg beliau tahu"

"bapakmu tidak memenuhi janjinya sebagai seorang Kuncen"

"Kuncen?"

"setelah ini, hidupmu akan semakin berat nak, sangat-sangat berat sampai kamu ada di titik ingin mati, dan saat hari itu datang, pilihan itu akan muncul dan di sana takdir kami di pertaruhkan"

"tinggalkan adikmu di sini, kami yg akan menjaganya, pergilah ke tempatmu tinggal, cari apa yg harus kamu cari, lalu pergi" kata si wanita,

"tak jogone adikmu nduk, tujuanmu siji, golekono Rinjani"

"Rinjani?" tanya Mira,

"pergi" sahut si wanita, Mira meninggalkan tempat itu,

Mira menemukan Riko tengah duduk, saat ia melihat Mira ia

mendekatinya, "Lindu gak papa, dia ada di kamar sedang tidur"

"antarkan aku" kata Mira,

"kemana?"

"ke tempat kost'ku, aku mau ambil sesuatu di sana"

"apa?" Riko tampak penasaran,

"takdirku" jawab Mira,

Malam itu, mobil Riko menembus kabut, belum pernah Mira memaksa dirinya sampai seperti ini, tak ada yg tahu apa saja yg Mira dengar

karena setiap kali Riko bertanya, Mira seakan tidak ingin membahas semua itu, ia hanya bilang ada sesuatu yg harus ia pastikan di tempat

kost itu

"kenapa gak nunggu besok aja, lagian butuh waktu buat sampe di sana" kata Riko setengah hati, Mira hanya diam ia lebih banyak melamun, "Mir, denger gak sih omonganku!!" sahut Riko namun Mira tetap diam, ia tertunduk sebelum, "Rinjani sudah mulai" ucap Mira seperti berbisik,

"Rinjani" kata Riko mengulangi, "kamu gak papa Mir" sahut Riko menyentuh bahu Mira, mobil melaju tenang, jalanan tampak sepi namun ada sesuatu yg membuat Riko merasa ganjil saat mendengar nama itu, Mira tetap tak menjawab, ia masih menunduk sembari terus bergumam aneh,

gumaman Mira terdengar mengganggu, Riko terus menggoyang badan Mira, namun gadis itu tetap menunduk. ia terus menerus bergumam sebelum, hening, hening sekali hingga Riko bisa mendengar nafasnya sendiri, Riko tampak merasa aneh, sesuatu telah terjadi, dan itu benar- benar mengerikan

tak beberapa lama Riko melihatnya, sekelebat bayangan putih sebelum menjalar membuat Riko tersadar, di sepanjang jalan tepat di samping ketika mobil melaju, berbaris anak-anak perempuan berambut panjang, berdiri mematung sejauh mobil terus melaju, Riko menoleh pada Mira, namun,

Mira sudah melotot menatapnya, tersenyum menyeringai layaknya bukan Mira yang ia kenal,

ia mencengkram tangan Riko, membanting setir sebelum mobil terpelanting hebat, Mira berteriak dengan suara paling memekikkan, "OJOK GOWO CUCUKU!!" (jangan bawa cucuku!!)

untungnya Riko masih mampu mengendalikan mobil, ia menghantam kepala Mira dengan sikunya, meski mobil sempat keluar jalan Riko berhasil menginjak rem kuat-kuat, ia menatap Mira pingsan dengan darah di kening,

"Asu!! meh mati aku!!" (Anj*ng!! hampir saja aku mati!!)

Riko melangkah keluar dari dalam mobil, ia menatap ke sekeliling, tak di temui lagi sosok anak kecil yang menatapnya di tepian jalan, Riko tampak bingung, kejadian yg baru menimpanya benar-benar kacau, ia mendekati kursi Mira, membuka pintunya, mencoba memastikan keadaannya,

"Mir, Mir" panggil Riko, namun perempuan itu tak menggubrisnya, Riko semakin bingung, tiba2 Mira membuka matanya mencekik leher Riko, Riko tercekat kaget sebelum memukul wajah Mira hingga perempuan itu benar-benar tak sadarkan diri, "Mati arek iki" (sial, mati anak ini) batinnya

saat itu juga Riko masuk lagi ke dalam mobil, tanpa membuang waktu ia meninggalkan tempat itu..

ia tahu ada yg tidak beres dengan sahabatnya, dan itu semua sepertinya berhubungan dengan tempat yg akan ia tuju, apapun itu, Riko harus mencari tahu ada apa di sana..

pagi sudah datang, sepanjang malam Riko tak beristirahat, meski pertanyaan itu masih berputar di dalam kepalanya ia berusaha sesekali melirik Mira yg masih terlelap dalam tidurnya, ketika jalanan sudah mulai ramai, Mira membuka mata, hidung dan keningnya nyeri, ia menatap Riko,

"kenapa?" tanya Mira, ia mengelep darah di hidung dan keningnya, "ada yg terjadi sama aku?"

Riko menatapnya sesekali sebelum tersenyum kembali memandang jalanan, "gak ada kok. semua aman"

Mira mengangguk,

"ini tempatnya" kata Riko setelah memasuki sebuah gang,

Mira mengangguk, mobil perlahan mendekat, Mira bisa melihat pagar besi yg dulu sering ia lewati saat malam ketika ia belum selesai menyelesaikan tugas di kampus, ia masih ingat tempat ini namun ia tidak ingat ada apa disini



Mira melangkah turun dari dalam mobil, Riko mengikuti, perlahan mereka berjalan mendekati tempat itu, sesekali Riko menatap ke

sekeliling, tidak ada yg aneh dari tempat ini, Mira menyalakan lonceng, seorang ibu-ibu mengamatinya dari jauh, "neng Mira ya" katanya seraya mendekat

Mira tersenyum menatapnya, ia membuka pagar, pandangan Mira langsung tertuju di kamar mana tempat dulu ia tinggal, tiba-tiba perlahan ingatannya kembali, namun samar-samar

"saya kira kamu ndak akan kesini, ibu itu bingung, kenapa kamu masih bayar kost padahal sudah ndak di sini"

Mira hanya tersenyum, bingung harus menjawab apa, ia melewati ibu itu yg masih menatap Mira heran,

"mungkin Mira suka dengan tempat ini buk, jadi dia gak rela kamar bersejarahnya di tempati orang" sahut Riko, si ibuk tampak tidak puas, "kuncinya mana buk?" tanya Mira tiba-tiba

"oh iya" sahut si ibuk, ia memberikan kunci pada Mira dan perempuan itu langsung menuju ke sana, Riko segera menyusul, meski si ibuk masih mengawasi namun Mira tak peduli, harga sewa di sini setidaknya cukup untuk membayar ganti rugi ingatannya,

"di sini tempatnya" kata Riko, hal pertama yg ia rasakan saat masuk ke dalam kamar kecil ini adalah aroma debu yg menusuk, tak hanya itu, tempat ini benar-benar buruk untuk jadi tempat tinggal, Mira melihat Riko lantas ia bertanya "linggisnya mana?"

Riko menatap heran, "Linggis"

Riko kembali dengan 2 linggis di tangan, ia cepat-cepat mengunci pintu, "mau hancurin lantainya, kalau ketahuan, bisa di polisikan kita"

Mira tak menggubris, ia sedang asyik memeriksa lantai keramik, seakan sedang mencari sesuatu

Riko menatap ke sekeliling tiba-tiba dirinya tertuju pada papan tulis di tembok. aneh, pikir Riko, untuk apa papan tulis itu di balik, Riko tersadar saat Mira memanggilnya, ia sudah ada di dapur, meminta Riko memberikan Linggis sebelum ia menghantamkannya di lantai, Riko pucat

sudah lebih dari setengah jam Mira menghantam lantai-lantai keramik, Riko terus mengawasi pintu, bukan tidak mau membantu, sejak tadi di luar ibu kost mondar-mandir membuat Riko semakin pucat, dan semua terbayar saat Mira mengatakannya, "di sini!!" Riko mendekat,

"ini apaan?" hal pertama yg Riko katakan saat melihat sebuah kotak kayu di simpan di dalam lantai berkeramik,

"gak tau" kata Mira,

"kamu yg tanam!! hebat betul nanam beginian di sini, yg ngeramik kamu juga"

Mira tak peduli, ia membuka kotak itu, dan di sana ia menemukannya

lembaran foto-foto tua saat Mira masih kecil, di belakangnya ada seorang lelaki berkumis yg di tenggarai adalah bapak, Mira membuka lembar-per lembar, bapak mengenakan pakaian adat putih seakan menasbihkan dirinya benar-benar seorang kuncen, Mira terus mengamati sampai,

ia berhenti di sebuah foto, bapak bersama 6 orang lain dengan pakaian yg sama berpose di sebuah tempat dengan rumah tua di belakangnya, di depannya ada seorang lelaki mengenakan pakaian hitam duduk di depan sendirian, foto orang itu di coret dengan spidol hitam,

"siapa Mir?" Riko merebutnya namun Mira hanya diam,

Riko mengamati foto itu sebelum menaruhnya lagi, "untuk apa kamu ngubur ini semua"

Mira terus menggeleng, ia tidak tahu harus menjawab apa, semuanya masih samar.

Riko mengambil sebuah buku tua dari kotak itu, namun Mira justru berdiri, matanya tertuju pada papan tulis terbalik di tembok, "bantu aku angkat papan ini" katanya, Riko tidak mengerti namun ia setuju membantu Mira,

saat mereka membalik papan itu, Riko tercengang melihatnya,

"sejak kapan kamu buat ini?" kata Riko mengamati setiap detail yg ada di dalam papan,

Mira mencoba mengingat-ingat, samar-samar semuanya kembali, setiap malam Mira mengerjakan ini, namun ia sendiri tidak tahu menahu kenapa mengerjakan hal-hal seperti ini,

Riko mendekati, dirinya masih takjub mengamati setiap coretan dan kertas-kertas yg tertempel, ada banyak sekali tulisan yg Riko tidak mengerti, salah satunya adalah Padusan pituh dan, "Rinjani" "apa itu Rinjani?"

Mira menoleh menatap buku, mengambilnya, membuka lembar per-

lembar, sebelum sampai di satu titik halaman, Mira menunjukkan pada Riko, di sana ia melihat coretan gambar dari tangan, seorang wanita

berambut sangat panjang tengah duduk meringkuk di kelilingi gambar gadis kecil, di atasnya tertulis jelas "RINJANI"

meski hanya sebatas coretan, Riko bisa merasakan sensasi tidak mengenakan saat menatap gambar itu, ia merasa merinding, Mira menatap papan lagi, menunjuk satu persatu titik yg di hubungkan dengan benang-benang itu, lalu berbicara pada Riko, "istilah ini semua apa ya artinya?"

Riko menoleh ikut mengamati, banyak istilah yg di tulis dengan aksara jawa di bawahnya Riko hanya membaca beberapa hal yg tidak ia mengerti seperti,

"Gundik-colo" "lemah layat" "sewu dino" "janur ireng" namun anehnya, semua benang mengarah pada satu titik,

titik terakhir,

ROGOT NYOWO?

"Mir, aku ngerasa gak enak sama semua ini, kayanya kamu harus berhenti"

"sebentar" Mira merobek salah satu sobekan kertas di papan, ia

menatap Riko sembari menunjukkan, "satu keluarga di bantai di malam pernikahan, inget gak sih ini tentang apa?"

"janur ireng?"

Mira mengangguk

"sepertinya aku mengumpulkan sesuatu, tapi aku lupa ini apa!!" Mira tampak berpikir keras namun semakin keras ia mencoba mengingat, rasa nyeri itu kembali, "mungkin gak sih semua ini pernah terjadi? maksudku di belahan lain ada hal ini, koran ini misalnya, untuk apa ku robek?"

Mira mengambil buku itu lagi, melihat lembar per lembar, hingga terdengar suara pintu di ketuk, Riko dan Mira tercekat,

"tunggu di sini" kata Riko, ia mendekati jendela, mengintip siapa yg sudah datang, rupanya ibu kost, Riko bersiap membuka pintu tapi tiba- tiba Mira menariknya

ia menyeringai lagi, melotot menatap Riko, "ojok di bukak" (jangan di buka) katanya,

Riko terdiam, pintu terus menerus di ketuk, sementara Riko tidak mengerti apa yg terjadi, "nduk bukak nduk" (nak buka nak) teriak ibu kost,



Mira hanya diam berdiri melotot menatap pintu,

Riko bergerak mundur, sementara pintu terus menerus di ketuk, ia tak pernah merasa ada kejadian sejanggal ini, sebelum, hening

Riko menelan ludah, dan pintu di buka perlahan, hal pertama yg Mira lakukan adalah menerjang wanita itu, ia mencengkram lehernya, berusaha membunuhnya

"putuku ra melok urusan iki, culno ben aku ikhlas ra onok nang dunyo iki!!" (cucuku tidak ikut urusan ini, lepaskan biar aku ikhlas tidak di dunia ini lagi)

namun wanita itu tertawa, tawanya begitu aneh, suaranya seperti seorang lelaki, "ra isok, aku butuh putumu" (tidak bisa)

(aku membutuhkan cucumu)

Mira berteriak keras sekali, namun wanita itu tertawa semakin keras, Mira mencengkram terus menerus lehernya, Riko yg awalnya diam, menarik Mira mencoba melepaskan cengkraman itu, "Edan!!" (gila) "bisa-bisa mati nih orang"

namun Mira terus melawan, semua kejadian gila itu membuat semua orang berkerumun sebelum memisahkan mereka,

"mari iki, suwe ta gak, putumu bakal marani aku dewe, ben dek ne sing milih" (sebentar lagi, lama atau tidak cucumu sendiri yg akan

mendatangiku, biar dia yg pilih)

wanita itu tersadar, ia menatap semua orang sebelum bertanya apa yg terjadi, Mira pun sama, ia tidak tahu kenapa semua orang berkerumun di sini, hari itu juga Riko membawa Mira pergi,

"nanti ku jelasin apa yg terjadi" kata Riko,

Riko sudah meletakkan papan itu di dalam rumahnya, ia masih tidak dapat berkomentar bagaimana Mira bisa mengumpulkan semua ini, "pantas kamu di terima jadi jurnalis, lha wong ngumpulin ini saja kamu bisa"

Mira tak perduli, ia terus menerus membaca buku tua itu,

"dulu ibuk pernah bilang, ada ilmu yg namanya rogo sukmo, dan nenekku katanya bisa itu" kata Mira,

"lha tapi nenekmu sudah lama mati kan?" kata Riko "dia sudah gak butuh ilmu itu lagi, dia bisa masuk sewaktu-waktu"

"bukan nenekku, tapi yg merasuki ibuk itu, dia pasti bisa"

"kadang aku mikir" kata Riko, "ini semua ilmu kejawen ya" "kayaknya iya"

"bagaimana kamu bisa mengumpulkan ini semua?"

"entahlah" ucap Mira, lembar perlembar sudah Mira baca, semua itu menceritakan Rinjani yg tinggal di sebuah gunung di jawa, namun bukan gunung Rinjani

Mira berdiri mengangkat tas'nya, "kayanya aku harus pulang ke kampungku, ada yg mau aku cari"

"eh goblok" sahut Riko, "gak dengerin aku tadi ngomong apa?"

Mira hanya diam, "dia bilang nanti kamu sendiri yg akan mencari dia, lebih baik jangan Mir, firasatku gak enak"

Mira tidak perduli, ia mendekati sahabatnya itu "aku titip Lindu, sampein ke mbak Stela juga, aku cuti"

Riko tetap tidak setuju, ia mencengkram tangan Mira, namun perempuan itu menatapnya sengit, "ini penting, lepasin"

"aku ikut" kata Riko,

Mira menggeleng menjawab "Gak!!"

"kalau ada apa-apa kabarin saja"kata Mira, ia melangkah ke luar rumah, sudah lama Riko tidak melihat mata Mira seserius ini, Mira memang perempuan yg keras namun justru hal itu yg membuatnya berbeda di antara yg lain, Riko mencoba mengerti, ia melihat bayangan perempuan itu pergi

stasiun sangat ramai, sembari menunggu kereta datang Mira duduk sembari beberapa kali ia membolak balik lembaran dalam buku itu, mencoba mengingat detail yg ia lupakan, namun sayangnya tak ada yg ia ingat, Mira tersadar saat ada seorang lelaki mendekatinya, bertanya kepadanya,

"mbak punya korek ndak?" kata lelaki itu, "buat ngerokok"

Mira melihat lelaki itu sengit, tak menjawab pertanyaanya, si lelaki beringsut mundur takut, dari jauh lelaki lain berambut gondrong memanggilnya, "Rus, ayok, bis e wes tekan" (Rus, bisnya sudah datang)

si lelaki menatap kawannya sebelum ia menatap perempuan itu lagi "jangan galak-galak mbak, ndak dapat jodoh nanti"

"Ruslan asu!! telat kene" (Ruslan Anj*ng!! nanti telat kita)

"iyo Agus Asu!!" kata lelaki itu, dua orang aneh itu perlahan pergi, Mira menatap kereta sudah datang,

Mira melangkah masuk ke gerbong, ia menatap pemandangan itu untuk terakhir kalinya, ia siap dengan semua yang sudah menunggunya, ia harus mencari tahu siapa Lindu dan dia di kampung halamannya.

sudah lebih dari 6 jam Mira duduk di gerbong, sudah puluhan orang datang dan pergi, waktu berlalu begitu cepat, membuat Mira sendiri bertanya-tanya, apa yg dia cari selama ini, dan perlahan semua terungkap namun matanya menangkap seorang wanita tua, ia duduk sembari mengawasi

sejak tadi, wanita itu tak kunjung pergi, ia mengenakan gaun lawas cokelat, dengan belanjaan tas sayur di samping kakinya, Mira berusaha mengabaikannya, namun aneh, Mira merasa wanita tua itu terus melihat dirinya, tak sedetikpun ia berpaling, ekspresinya begitu dingin

merasa ada yang salah dengan si wanita, Mira berdiri, ia berniat untuk pergi, Mira mengangkat tas punggungnya, tapi si wanita ikut berdiri, membuat Mira semakin yakin ada yg salah dengannya,

Mira melangkah pergi, sesekali ia melihat si wanita mulai berjalan mengikuti

di gerbong lain, Mira melihat banyak sekali orang menatapnya aneh, Mira berjalan tenang berusaha membaur dengan mereka, ia menoleh namun tak di dapati si wanita itu, belum, sampai si wanita melangkah masuk mendekatinya, Mira kembali berjalan berusaha menjaga jarak,

Mira memilih berhenti, ia duduk di salah satu kursi paling sudut, sesekali ia melihat si wanita, aneh sekali, kali ini si wanita hanya berdiri diam, mematung

Mira mencoba tenang, ia terus meyakinkan dalam dirinya tak ada yg salah, tak ada yg salah, berulang-ulang kali,

di jendela hujan deras turun, langit mendung, sementara kereta mulai memasuki area persawahan, Mira merapalkan jaket, memeluk tas punggung, sembari sesekali mengawasi, si wanita masih berdiri tapi anehnya, tak ada satupun orang yg merasa terganggu dengan kehadirannya

seorang lelaki yg duduk di depan Mira juga bersikap aneh, saat mata mereka bertemu, ia langsung membuang muka seakan melihat sesuatu yg mengerikan, Mira menatapnya lekat-lekat tangannya gemetar hebat sembari mencengkram koran,

"pak" tanya Mira, si lelaki tersentak kemudian pergi

kepergian lelaki itu membuat Mira semakin bingung, ia menatap ke tempat di mana wanita itu berdiri, ia masih di sana, namun sesuatu terjadi

hening, Mira tak bisa mendengar apapun, bahkan suara hujan di luar jendela pun tak bisa ia dengar, si wanita mengangkat tangan menunjuk

saat itu juga, fenomena itu terjadi, semua orang yg ada di dalam kereta berdiri, menatap Mira

semuanya

Mira bersiap, ia mengenggam rapat tas punggungnya, si wanita melangkah mendekatinya, semakin dekat, semakin dekat, dan, "Nduk"

Mira menghantam kepala si wanita dengan tas

Mira mendudukinya terus memukul-mukul kepala si wanita, Mira begitu kalap, teriakan si wanita membuyarkan semuanya, ia terus meminta- minta tolong dan Mira baru sadar, di sekelilingnya orang-orang berkerumun untuk memisahkannya, yg terjadi berikutnya Mira terguncang bingung

"ini minumnya mbak" kata seorang lelaki petugas stasiun, Mira duduk di dalam ruangan itu di mintai penjelasan "nyapo to, ngantemi ibuk koyok wong kesurupan" (kenapa sih, anda memukuli ibu-kaya orang kesurupan) kata si lelaki,

"maaf pak, saya juga ndak tau" kata Mira menunduk,

si petugas melihat kawannya, ia memberikan gestur tangan "STRESS!!" Mira menoleh, si petugas tampak tidak enak hati tersenyum sebelum melihat ke tempat lain

"saya ndak stress pak"

si petugas setuju, karena yg seharusnya stres mungkin ibuk yg di pukuli, di siksa di dalam gerbong

"sebenarnya anda beruntung, dia gak nuntut, anda boleh pergi, tapi sebelumnya, buku apa ini?"

Mira menatap buku yg di bawa, buku itu tampak begitu usang bila di perhatikan lagi,

"itu peninggalan keluarga pak"

si petugas mengangguk mengembalikannya, "anda mau kemana?" Mira mengambil buku, membuka lembaran di dalamnya, menunjuk pada si petugas, ketika si petugas melihat itu, ia menatap Mira, melotot sebelum memanggil kawannya, wajah mereka tampak begitu panik sebelum mengatakan "mbak boleh pergi sekarang!!" kata si petugas tiba-tiba, "monggo"

hujan masih turun, Mira melangkah menembus jalanan, masih terasa aneh, karena di setiap Mira melangkah, semua orang yg berpapasan dengannya seakan-akan melihat dirinya begitu dingin, begitu membuat Mira tenggelam dalam kengerian yg ia ciptakan sendiri

"mas, bisa anterin kesini" tanya Mira kepada seseorang yg duduk berteduh, Mira menunjuk tulisan dalam bukunya, namun seperti yg lain, ia tiba-tiba pergi meninggalkan Mira seorang diri,

"asu" ucap Mira lirih, sudah lebih dari 10 kali ia di perlakukan seperti ini,

tanpa dapat satu-pun orang yg mau membantunya, Mira terpaksa tidur di stasiun, saat itu dia bertemu lagi dengan si petugas, "mbak yg tadi toh"

Mira berdiri menatapnya, "saya ndak dapat tumpangan pak"

si petugas kemudian duduk, ia menatap Mira, "ya sudah, saya antar saja

ya"

hujam sudah reda, namun mendung belum juga pergi, si petugas stasiun memberi Mira helm sebelum mengeluarkan motor buntut tahun lawas, Mira menaikinya, perlahan motor berjalan pelan sebelum akhirnya menembus jalanan, di sana ia bercerita, bercerita tentang desa itu

"terakhir saya kesana itu sudah lama mbak" ia melihat Mira dari kaca spion, "kalau mbak bingung kenapa banyak orang menolak sebenarnya karena sesuatu"

"sesuatu?"

"iya. katanya, di sana" si petugas menelan ludah tampak ragu, "ada Brangos"

"Brangos itu apa pak?"

si petugas diam

"saya ndak bisa ngasih tahu lebih jauh, katanya Brangosnya muncul juga baru beberapa tahun ini, saya belum pernah lihat, saya juga

penasaran sebenarnya"

"muncul? maksudnya?"

"ya muncul mbak"

motor mulai memasuki area jalanan tanah, di kiri kanan jalan banyak sekali bambu

belum pernah Mira merasakan perasaan setakut ini, namun, setiap motor melaju, ketakutan itu terus menumpuk, pelan, pelan sekali, seperti sesuatu berbisik-bisik di telinganya, Mira mulai melihatnya.

kerumunan orang berjalan bersama-sama, si petugas menghentikan motornya.

"mohon maaf mbak, saya pikir saya berani loh tadi, ternyata ciut juga nyali saya" ia menunjuk kerumunan orang itu, "mereka warga desa di sana, mbak ikuti saja mereka, ngapunten saya harus balik"

meski aneh, Mira melangkah turun, setelah berterimakasih, Mira mendekati kerumunan

orang-orang itu memandang Mira dari kejauhan,

meski ragu, Mira berjalan mendekati, di depan gapura desa Mira bisa melihat pohon besar, salah satu dari mereka mendekati Mira, bertanya kedatangannya kesini, Mira menurunkan tasnya bersiap mengambil buku itu, namun, ia ingat

bila ia menunjukkan buku itu, Mira takut mereka akan bereaksi sesuatu yg tidak di inginkan, lantas Mira mengatakannya bahwa ia adalah jurnalis yg datang untuk meliput desa ini

pandangan orang-orang itu tampak tidak senang, tak ada satupun yg tersenyum, namun Mira melihat sesuatu

di salah satu rumah, Mira menatap banyak sekali anak-anak kecil perempuan, mereka berlarian di depan sebuah rumah, tak beberapa lama, anak-anak perempuan itu menatap Mira sebelum tersenyum kepadanya,

Mira merinding melihatnya, karena setelahnya, seseorang mendekatinya,

berbicara dengan si lelaki yg mendatangi Mira, "Pak, sampon sedo" (pak, dia sudah meninggal)

meski orang itu masih tidak senang dengan kehadiran Mira, namun akhirnya mereka membiarkan Mira begitu saja, anak-anak perempuan itu lenyap sesaat kemudian.

Mira baru mengetahui setelah ia mencuri dengar, bahwa kedatangan orang-orang ini adalah menjenguk salah satu dari mereka yg tengah sakit, dan sekarang orang itu sudah meninggal, mereka berkerumun di rumah duka, Mira masih mengawasi dari jauh, bertanya-tanya kenapa tak seorangpun

bersahabat dengan kedatangannya, Mira semakin tidak mengerti bagaimana ia mencari semua ini, bila tak ada satupun yg mau membuka mulut, Mira berdiri masih menatap rumah duka, ia melihat orang-orang itu yg menggendong mayit sebelum meletakkanya di ruang tengah, orang-orang-

mengelilinginya.

Mira masih menatap si mayit, dengan kain kafan putih ia berbaring di atas tikar, sesuatu tiba-tiba berbisik di telinga Mira, berbisik lirih sebelum terdengar jelas, sesuatu seperti, "Tangi" (Bangun)

tiba-tiba, entah bagaimana semua ini terjadi, Mira-

dan semua orang yg ada di sana menyaksikannya secara langsung, mayit yang sudah di kafani tiba-tiba terbangun, ia duduk menatap Mira dari dalam rumah.

"Brangos!!" batin Mira, jantungnya seperti berhenti saat melihatnya.

orang yg ada di dalam rumah seketika menutup pintu, sedangkan orang-orang yg ada di luar rumah berkerumun mencari tahu apa yg terjadi, dari semua pemandangan itu, Mira yg paling penasaran, fenomena apalagi yg ia lihat ini.

"ada apa ini pak?" tanya Mira,

"berangos mbak, mayit sing urip maneh mergo onok pakane Rinjani nang kene!!" (mayat yg hidup lagi karena mencium makanan Rinjani) "opo?"

si bapak geleng kepala, malas menjelaskan, mereka masih berkerumun mencari tahu, Mira semakin merinding

"Wes suwe loh gak kedaden ngene lah kok isok" (sudah lama loh gak kejadian begini, kok bisa muncul lagi) kata seorang lelaki pada

temannya, Mira hanya mendengarkan, sesekali ia ingin melihat, namun rumah duka tertutup rapat

tak beberapa lama, seorang anak kecil laki-laki berjalan mendekat, ia mengenakan pakaian serba putih sebelum ia masuk, anak lelaki itu berhenti menoleh melihat Mira

Mira tertegun menatap anak itu, karena saat ia mendekat semua orang menunduk kepadanya

anak itu melangkah masuk ke dalam rumah duka, Mira mendekati orang di sampingnya bertanya perihal siapa anak itu,

"anda tidak tahu beliau siapa?"

Mira menggelengkan kepala, "beliau adalah kuncen mbak"

"kuncen" ucap Mira,

"kuncen di desa ini"

pintu terbuka, seseorang melangkah mendekati Mira sebelum memintanya untuk ikut masuk, awalnya Mira ragu namun ia akhirnya mengikuti, yg pertama Mira lihat saat melangkah masuk ke dalam rumah itu adalah mayit di depannya berdiri dengan kapas masih di hidung, matanya menatap Mira

anak lelaki itu tengah duduk, matanya mengawasi Mira, "wes suwe ket kapan kae, pakane Rinjani mampir nang deso iki" (sudah lama sejak makanan Rinjani terakhir mampir ke desa ini)

Mira menatap anak lelaki itu, ia tahu dia sedang berbicara dengannya,

"ngapunten, asmone kulo, Ara" (maaf sebelumnya, kenalkan nama saya, Ara)

"saya Mira" ucap Mira sembari masih mengawasi mayit yg terus berdiri di sampingnya, tak sedikitpun Mira takut, justru ia begitu tertarik,

"bagaimana bisa seperti ini?" tanya Mira,

Ara menunduk sebelum mengatakan kepadanya, "itu karena kamu menginjak kaki di tanah ini, tanah milik Rinjani"

Mira terdiam, banyak pertanyaan di dalam kepalanya, namun tampaknya anak lelaki itu sedang tidak ingin bicara banyak, yg terjadi selanjutnya, si mayit di ikat,

sebelum di masukkan paksa ke dalam keranda

"melok aku Mir, tak duduhno opo sing mok goleki" (ikut aku Mir, akan ku tunjukkan apa yg kamu cari)


Mira dan rombongan itu berjalan masuk ke dalam kebun, banyak sekali pohon-pohon besar tinggi di kanan kiri, setelah menempuh jalan cukup jauh, mereka berhenti di salah satu rumah tua, Mira mengenal rumah itu, itu adalah rumah yg ada di dalam foto,

orang-orang mengeluarkan mayit-

mengikatnya dengan tali tambang, Mira bingung melihat pemandangan itu, karena yg terjadi selanjutnya, tali si mayit di tarik di gantung di atas pohon, di sana Mira tercekat menyaksikannya,

tepat di atas sana, Mira bisa melihat ada 7 mayit yg di gantung di dahan- dahan pohon

Mira tak bisa berkomentar, ia shock menyaksikan pemandangan gila

itu,

belum berhenti sampai di sana, Mira harus melonjak kaget saat satu persatu mayit-mayit yg di gantung itu bergerak, menggeliat satu sama lain,

"mereka hidup" batin Mira,

"wes ngerti bahayane ilmu-mu"

"monggo" (silahkan)

Mira melangkah masuk di dalam sebuah ruangan besar, dari luar rumah ini memang begitu megah, terlalu megah untuk di miliki seseorang di desa ini, namun yang bisa Mira nilai dari rumah ini adalah bahwa rumah ini sudah di tinggalkan

ada hal yg membuat Mira sadar dirinya tidak pernah di sambut di sini, tak seorangpun terlihat senang terutama saat tahu siapa dirinya,

namun hanya anak lelaki ini yg tampak begitu tenang, sesekali ia tersenyum dengan wajah polosnya namun Mira tahu, ada seseorang di balik raganya

"wes suwe aku ngenteni kowe, sing ragil sing paling janjeni" (sudah lama saya nunggu kamu, yg paling muda, yg paling menjanjikan)

ruangan itu pengap, tak seorangpun di ijinkan masuk, orang-orang desa menunggu di luar rumah, anak lelaki bernama Ara itu terus berbicara,

"ragil?" ulang Mira, "tapi saya anak pertama"

"ora" kata Ara, "awakmu ragil, aku wes tahu ketemu ambek kabeh pakane Rinjani, koen sing terakhir" (saya sudah pernah bertemu dengan makanannya Rinjani dan kamu adalah yg terakhir)

Mira tak mengerti, anak itu masih memandanginya,

Mira menurunkan tas punggungnya, mengeluarkan buku tua, ia membuka lembar perlembar sampai di gambar wanita dengan rambut panjang itu, Mira menunjukkan gambar itu pada anak lelaki itu dan wajahnya seketika berubah, ia memalingkan wajah, "nduk" katanya seraya berpaling,

"ojok pisan-pisan kowe wani nduduhno aku Rinjani!!" (jangan sekali- sekali menunjukkan kepadaku Rinjani!!) ucap Ara,

"apa itu Rinjani?"

Ara meminta Mira memasukkan kembali bukunya sembari ia menata duduknya, sebelum ia mulai mengatakannya,

"Rinjani adalah ingon milik Codro!!"

"aku kenal karo bapakmu nduk" (saya mengenal siapa ayahmu) ucap Ara, "dia orang baik, sekaligus abdi kuncen yg bisa di percaya, dia jaga tempat itu karena memang tidak boleh sembarang orang mendekatinya"

"Kuncen Padusan pituh"

"suatu hari ada dayoh datang ke tempat itu" Ara diam, ia mencoba mengingat kembali kejadian itu "dayoh itu adalah poro benggolo, mereka datang menyampaikan pesan bahwa tuan mereka akan datang kesini untuk mengambil sesuatu yg menjadi miliknya. kamu tahu apa itu?"

Mira menggelengkan kepala,

"Rinjani"

Mira tidak mengerti maksud dari Ara, namun Ara seperti bisa membaca pikiran Mira,

"Rinjani dulu manusia, terlalu kuat tapi justru karena kuatnya dia, Codro ingin menjadikannya ingon miliknya"

"simbol warna dalam budaya jawa hanya ada dua, hitam dan putih" Ara menjelaskan, "untuk menguasai putih seseorang harus benar-benar hitam terlebih dahulu, Rinjani benar-benar hitam, sudah ratusan orang melihat kengerian yg ia ciptakan"

"setiap Rinjani datang ke desa-desa, anak-anak pasti menangis, selusin orang akan mati, Rinjani seperti penyakit, namun suatu hari entah apa yg terjadi dengannya, mungkin karena terlalu kuat atau apa, dia mengurung diri di sana, tempat akhirnya bapakmu mau jadi sebagai kuncennya"

"Rinjani ingin menjadi putih, ia sudah melalui jalan sehitam itu, namun sayangnya, Codro tak membiarkannya, ia ingin Rinjani tetap hitam, malam itu adalah malam yg paling gelap, ternak banyak yg mati, gagal panen di mana-mana, tapi Codro ingin Rinjani"

"setiap hari, Codro kirim anak-anak ke tempatnya, Rinjani suka anak- anak, terutama anak perempuan, ia suka membelai rambut mereka, namun rasa suka itu perlahan menggerogoti isi kepalanya, Rinjani mulai berubah, ia mencabut sehelai demi sehelai rambut anak itu, sampai mati!!"

"setiap hari, selalu ada anak perempuan yg masuk ke tempatnya dan tidak pernah keluar lagi, Kuncen yg semula menjaganya karena ingin Rinjani berubah, mulai ragu, mereka tidak mau lagi menuruti perintah Codro memberi Rinjani anak lagi"

"saat itulah untuk pertama kalinya Rinjani menampakkan dirinya, ia keluar dari tempatnya bertapa, kulitnya tirus pucat, tangan dan kakinya kurus kering, namun rambutnya begitu panjang, ia menatap semua Kuncennya lalu bersumpah, anak pertama dari mereka akan menjadi makanannya"

"maksudmu makhluk itu ingin saya?" tanya Mira, ia tidak begitu percaya dengan ucapan Ara, anak kecil yg di rasuki oleh sesuatu yg seperti ingin menggiringnya,

"bukan itu yg saya ingin sampaikan" Ara menatap Mira, "kau tahu, bapakmu benar-benar orang yg hebat!!"

"paling hebat, karena dari 7 Kuncen yang memiliki anak, hanya bapakmu yg berhasil menangkal kutukan Rinjani untuk mendapatkanmu, setidaknya membiarkanmu hidup sampai sejauh ini. karena itu, aku manggil kamu Ragil, paling muda di antara mereka"

"tapi" Ara menatap Mira aneh, "setahun yg lalu, muncul dua orang perempuan yg datang ke desa ini, dia juga bisa menjadikan mayit hidup lagi sama sepertimu, namun aku tidak tahu siapa dia, pengetahuanku terbatas, dia hanya bertanya di mana Rinjani sekarang"

"tapi salah satu dari mereka bukan sembarangan orang aku tahu" kata Ara,

Mira tiba-tiba membuka kembali lembaran-lembaran di bukunya, ia menatap Ara sebelum menulis sesuatu di atasnya, ia menunjukkan pada Ara saat itu juga,

"Sengarturih dan Bonorogo!!"

"benar" kata Ara, "salah satu dari mereka di ikuti oleh makhluk itu, bagaimana kamu bisa tahu?"

"entahlah" kata Mira "aku hanya menulis sesuatu yg kau ceritakan!! untuk apa mereka mencari Rinjani?"

"aku tidak tahu, sepertinya akan terjadi sesuatu yg sangat buruk!!"

"lantas, aku kesini dengan satu pertanyaan"

Ara mengamati Mira, ia tahu apa yg akan di katakan oleh Mira,

"jangan nduk, bapakmu sudah susah payah ngelepasin kamu dari Rinjani, jangan kau tukar nyawamu dengan darah dagingnya Codro, kuperingatkan kau!!"

"aku juga harus mencari Rinjani!!" ucap Mira,

"Bangsat!!" teriak Ara, "kau tahu berapa lama aku nunggu kamu di sini untuk menyampaikan permintaan bapakmu langsung, kalian benar- benar sama, bodoh dan nekat!! Rinjani tak akan pernah bisa di ajak bicara, setidaknya itu-

yang terjadi dengan kepala keluarga Codro terakhir!! dia mati di tangan Rinjani!!"

"Codro mati?!" tanya Mira,

"benar, sekarang keturunannya lah yg sekarang bersembunyi, dia menunggumu mematahkan sumpah bapakmu sendiri!!"

"aku tetap harus ke tempat Rinjani, ada yg harus di benarkan" ucap Mira,

Mira menatap Ara, ia diam lama, sampai akhirnya anak lelaki itu menyerah, "bila memang kau memaksa dan aku harus melanggar sumpahku juga, akan aku lakukan"

dua orang lelaki desa melangkah masuk ke ruangan

satu dari mereka menarik rambut Mira, membuatnya menatap ke langit-langit, sementara yg lain memegang tangan Mira, menahannya, Ara berdiri di atas meja menatap wajah Mira, sebelum memasukkan tangan kecilnya ke dalam mulutnya.

"ini akan sakit sekali, tahan!!"

Mira tercekat, tubunya mengejang saat anak lelaki itu menarik sesuatu di dalamnya,

"ini adalah sumpah bapakmu Mir, sumpah yg tidak pernah ia buat dengan yg lain, namun untukmu dia harus mengorbankan nyawanya!!" Mira menatap rambut di pintal di tarik terus mnerus dari mulut Mira

panjang, panjang sekali, Mira terus meronta, isi perutnya seperti di tarik, sementara Ara terus berujar, "ingat sekarang, ingat Mir"

sekelebat bayangan neneknya muncul, Mira mengingatnya, mengingat saat neneknya merawatnya,

piring berisi makanan yg Mira makan selama ini rupanya sepiring rambut panjang yg masuk ke dalam tubuhnya.

mata Mira berair, rasa sakit itu menyeruak masuk ke dalam tubuhnya, sementara dari tenggorokannya rambut yg di pintal terus keluar, panjang, panjang sekali

setelah Ara berhasil mengeluarkan rambut panjang itu, Mira memuntahkan isi perutnya, "sejak kapan!! sejak kapan!! mbahku melakukan itu"

Ara menatap Mira, di tangannya rambut itu tersulur panjang, "ini adalah rambut Rinjani, untuk mendapatkannya, bapakmu sampai harus mati!!"

seseorang melangkah masuk, la berteriak, "Mayite wes mati, mayite wes mati!!" katanya, salah satu dari lelaki di ruangan menatap Ara, "yo mati to, wes dadi mayit!!" (ya iyalah sudah mati namanya juga mayit) saat itu, Mira menyadari, ia sudah kembali, namun dari jauh bisikan itu datang, bisikan yg selalu membuat Mira dulu senantiasa di tegur oleh neneknya, suara yg memanggil-manggil namanya.

"sepertinya, dia memanggilku" Mira menatap Ara, sebelum menoleh, matanya menerawang jauh ke pemandangan di luar jendela, "Rinjani memanggilku"


SourceBy : SimpleMan Story