RUMAH ROMBE

 

RUMAH ROMBE


CeritaHororRumahJalu

Tidak ada yang tidak mengenal peristiwa ini. Sebuah peristiwa yang

dulu sempet membuat geger satu desa, bahkan begitu mengerikannya tragedi ini, sehingga membuat banyak orang begidik ngeri tiap melihat saksi bisu peristiwa ini.

Ya, benar ! itu adalah RUMAH ROMBE

Sebelum gw mulai masuk ke bagian ceritanya, tidak ada salahnya bila gw kembali mengingatkan bahwa, peristiwa semacam ini sebenarnya banyak di sekeliling kita. Hanya saja, apakah kita begitu peka untuk menyadarinya?

Karena apa yang akan kalian baca, merupakan satu dari sekian banyak peristiwa-peristiwa yang mungkin di luar nalar kita. Manusia kadang terlalu kecil untuk tau apa yang tidak seharusnya di ketahui dan mungkin ketidaktahuan itu adalah hal yang membuat manusia dapat bertahan di tengah banyaknya kengerian di sekeliling kita.

Baiklah. Cukup untuk intronya. Jadi, mari kita mulai ceritanya.

Tahun 2005, gw udah kelas 5 SD. Sebelumnya, gw akan tulis kembali dimana gw tinggal.

Gw tinggal di sebuah kecamatan dengan 2 desa yang di pisahkan oleh sungai kecil. Jauh di hilir sungai ada sebuah pabrik gula, bekas peninggalan belanda. Kita tidak akan membicarakan pabrik itu karena, nanti akan ada waktunya untuk gw, menceritakan apa yang ada disana. Sesuatu yang mungkin kadang gak bisa di terima oleh akal sehat. Kita masuk ke desa gw lebih dulu, karena apa yang akan gw ceritakan adalah salah satu bagian kelam yang pernah gw saksikan dengan mata kepala gw sendiri.

Desa gw dulunya adalah sebuah rawa-rawa sungai yang membelah desa. Gak lebih dari sungai kecil yang airnya mengalir dari sungai besar yang jauh di utara. Karena Desa gw adalah bekas rawa-rawa membuat banyak orang berpikir ulang buat tinggal di tempat ini.

Tapi yang gw pernah denger dari cerita bapak soal desa gw adalah, hanya ada 7 orang yang pertama kali tinggal di wilayah ini. Itu sebelum desa ini resmi di kenal.

7 orang ini adalah cikal bakal yang membabat habis semua tumbuhan liar dan pohon besar untuk di jadikan tempat tinggal.

Namun yang harus diketahui, sebelum 7 orang ini, rupanya ada 1 keluarga yang lebih dahulu tinggal di desa ini. Dia di kenal dengan nama Mbah puteri.



Wanita paruh baya yang tinggal seorang diri di sebuah rumah tua peninggalan belanda.

Disinilah keanehan itu terjadi.

Konon....dari cerita bapak, rumah mbah puteri adalah sebuah rumah yang menakutkan. Ada perasaan ngeri setiap kali memandang dan mbah puteri sendiri hanya tinggal seorang diri. Padahal, rumah itu cukup besar untuk di tinggali sebuah keluarga besar.

Disinilah gw patut bangga, kenapa? Karena 7 orang yang pertama kali membuka lahan di desa ini adalah kakek gw. Sekarang gw tau, kenapa kakek gw bisa membagikan tanah yang luas untuk 10 anaknya.

10 anak bayangkan.

Bapak sendiri adalah anak 3 dari 10 bersaudara. 6 orang lain, gw juga kenal. Usia mereka hampir sama dengan kakek gw dan gw gak heran, tiap melihat mereka dan mendengar cerita bagaimana mereka menjadi yang pertama membuka lahan, gw sangat bangga.

Tapi, yang gw ceritain gak ada hubungannya dengan mereka. Karena, cerita ini di mulai dari rumah MBAH PUTERI.

Seperti yang gw bilang, Mbah puteri hanya tinggal sendirian. Beliau

tidak memiliki seorang anak, apalagi cucu. Jadi, apakah mbah puteri tidak memiliki suami?

Jawabanya, TIDAK.

Mbah puteri dahulu memiliki suami, namun mereka sudah meninggal. apa gw baru saja bilang "mereka?"

Ya... mereka yang gw maksud adalah lebih dari 1 (satu). Mbah puteri pernah menikah lebih dari 14 kali. Awalnya gw gak percaya mendengarnya, maksud gw.. mana ada orang yang bisa menikah sampai 14 kali, tapi kemudian gw percaya ketika cerita itu muncul dari, nyokap gw sendiri.

Lalu, bagaimana bisa??

Jawabannya, Mbah puteri rupanya bukan wanita sembarangan. Banyak yang mengatakan, beliau berdarah ningrat. Sehingga ilmunya sangat tinggi. Lelaki yang menikahinya tak lebih dari lelaki yang tertarik dengan paras ayu beliau, namun....

Konon, Mbah Puteri memiliki perewangan (pengikut), yang tidak pernah suka Mbah puteri di nikahi oleh lelaki biasa. Sehingga, banyak dari mereka yang akhirnya jatuh sakit kemudian meninggal.


Gw ceritain dari awal kisah ini di buka. Seperti yang gw bilang, waktu itu gw masih kelas 5 SD pada tahun 2005. Gw masih tinggal bareng dengan kakek gw dan tentu saja dengan saudara-saudara bapak. Karena orang jaman dahulu kebanyakan bertetangga dengan saudara kandung mereka sendiri, termasuk bapak.

Di depan rumah gw, sekitar 300 meter ada sebuah rumah besar, megah & luasnya sendiri bisa 6 kali luas rumah gw. Namun, semenjak pemiliknya meninggal, rumah itu menjadi kosong.

Rumah itu adalah rumah milik Mbah Puteri.

Setiap kali pulang ngaji, mau gak mau, gw bakal lewat samping rumah itu dan entah kenapa setiap melihat rumah itu, ada satu titik kecil rasa penasaran yang kadang buat kaki gw seolah di ajak untuk masuk kesana. Yaa.... seolah-olah rumah itu bisa menarik rasa penasaran seseorang.

Bertahun-tahun rumah itu di biarkan kosong begitu saja. Rumput liar sudah mulai tumbuh di halamannya. Terkadang bila ada waktu, bapak dan tetangga ikut memotong rumput biar terlihat lebih rapi. Di depan rumah itu ada sebuah pohon mangga, pohonnya besar. Jauh lebih besar dari pohon mangga biasa. Rumahnya sendiri menghadap ke utara. Tidak ada pagar di sekelilingnya, hanya 2 pintu dengan corak eropa. Lantainya, masih menggunakan bahan tekel. Gw pernah tanya nyokap, kenapa rumah itu di biarkan kosong. Nyokap bilang, gak ada yang mewarisi tanah dan rumah itu.

Sampai suatu hari, gw lihat sebuah mobil kijang lama berhenti di depan rumah itu. Rupanya, rumah itu sudah dibeli. Di miliki oleh seseorang yang tidak akan lama lagi, rumah yang sudah kosong bertahun-tahun itu akan ada yang nempati lagi. Gw punya firasat buruk soal ini.

Keluarga Rombe. Itu yang pertama gw denger waktu nyokap ngobrol sama bapak. Keluarga Rombe bukan orang asli jawa. Seinget gw beliau berasal dari Kalimantan. Alasan kenapa beliau tinggal disini adalah karena keluarga Rombe memiliki bisnis di bidang pembuatan bego (Sak untuk padi). Keluarga Rombe dipimpin oleh ibu paruh baya, mungkin usianya kalau gw gak salah 51 tahun. Masih bugar, beliau menggunakan bahasa indonesia, belum bisa menggunakan bahasa jawa.



Beliau memiliki 3 orang anak. Yang paling tua adalah Mas Romi. Usianya mungkin 21 tahun waktu itu. Anak keduanya adalah seorang perempuan, namanya Mbak Rachel usaianya sekitar 18 tahun dan yang bungsu namanya Tomi (14 tahun). Penilaian gw tentang mereka adalah mereka keluarga baik-baik, bahkan baru pertama kali kenal mereka membagi-bagikan makanan ke tetangga. Selain itu, mereka juga tidak pernah lupa menyapa tetangga. Bukan kriteria orang kaya yang sombong. Lalu, semua di mulai pada saat itu.

Suatu malam, Bu Rombe pernah bermimpi. Beliau, di datangi oleh orang yang tubuhnya besar dan tinggi. Kulitnya hitam pekat, sehingga wajahnya tidak kelihatan. Tidak hanya satu, melainkan

bergerombol. Mereka meminta bu Rombe mengikutinya. Gw inget karena bu Rombe pertama kali menceritakan ini sama nyokap gw. Gw cuma curi dengar dan karena waktu itu gw cuma anak kelas 5 SD mungkin pikir nyokap gw gak akan mengerti. Gw bisa lihat, mata bu Rombe berair seperti menangis, bibirnya gemetar. Nyokap hanya mengatakan agar beliau tenang, sesekali mengelus bahu.

Kumpulan makhluk hitam itu, membawa bu Rombe bertemu dengan satu makhluk yang besarnya berkali-kali lipat dari makhluk yang membawanya. Sebegitu besarnya, sampe bu Rombe tidak bisa melihat wajahnya.

Nyokap hanya mengatakan "Dalboh" (Hantu tinggi besar).

Saat bertemu, Bu Rombe mendengar makhluk itu berbicara bahwa, mereka tidak keberatan keluarga bu Rombe tinggal disini. Namun, mereka mengingatkan untuk berhati-hati selama tinggal di rumah ini. Bu Rombe tidak mengerti maksud ucapan itu, gw cuma dengerin dan masih bisa lihat wajah ngeri bu Rombe. Setelah itu, bu rombe terbangun begitu saja. Sejak saat itu, banyak kejadian janggal terjadi dan ini semua hanya menimpa bu Rombe.

Mula-mula waktu bu Rombe mendengar suara bising di dapur, beliau pergi untuk melihat. Ketika sampai di dapur, beliau melihat gayung melayang begitu saja. Awalnya ini semua masih bisa di tahan oleh bu Rombe, karena beliau adalah Kristen yang taat. Namun semakin lama, semakin menjadi-jadi. Kamarnya bu Rombe ada di dekat ruang tamu, di lorong pertama. Di samping jendelanya, ada pohon jambu air.

Pernah waktu beliau sedang tidur, ada suara tawa cekikikan dari luar jendelanya. Karena penasaran beliau mengintip lewat celah jendela dan betapa terkejutnya beliau waktu melihat ada wanita bergaun merah duduk di salah satu tiang pohon jambu air, menatapnya dengan mata hitam.


Semua kejadian ini, hanya di ceritakan pada Nyokap. Karena rumah gw adalah rumah yang paling dekat dengan rumah bu Rombe. Selain itu nyokap bila ada kesulitan keuangan, Bu rombe lah yang selalu membantu. Nyokap pernah ngasih saran, untuk memanggil kiyai atau orang pintar. Tapi bu Rombe menolaknya, beliau adalah umat kristen yang taat dan memanggil kiyai atau orang pintar tidak ada dalam imanya.

Namun bukan berarti bu Rombe pasrah dengan keadaan ini. Pernah ia, memanggil teman gerejanya. Seorang wanita uzur. Ketika wanita itu menetap semalam, wanita itu menjerit tak henti-hentinya dan mengatakan bahwa rumah ini di bangun di tanah terkutuk. Hal ini sempat membuat orang-orang desa berkumpul, karena wanita itu teru berteriak dan menjerit, seperti kesetanan. Bu Rombe semakin takut.

Sementara anak-anaknya, tidak tau apa-apa. Semua gangguan- gangguan itu rupanya terus berlanjut dan menjadi semacam rutinitas bagi bu Rombe, sampai beliau tau dimana tempat dan siapa penunggunya. Hal ini, belum menimbulkan konflik kekerasan fisik.

Sampai...........


Bu Rombe kembali bermimpi. Mimpi yang sama, bertemu dengan

makhluk hitam dan membawanya ke sosok besar dan tinggi itu lagi, kali ini suaranya marah, sangat marah sehingga Bu Rombe sampe menangis sejadi-jadinya.

Keesokan harinya....

Konon, beliau marah karena ada tamu yang tidak di undang.

Hari berganti hari. Gw bisa lihat sendiri perubahan yang terjadi dengan Bu Rombe. Beliau menjadi lebih kurus, pucat dan tampak letih. Gw bisa menebak, bahwa mungkin tidur adalah hal yang paling dia hindari, mengingat ketika beliau bercerita ke nyokap bahwa makhluk itu semakin intens menganggunya. Menteror dengan nada marah yang bahkan Bu Rombe sendiri tidak mengetahui sebabnya.

"Tamu tak di undang."

Nyokap selalu memberi saran agar Bu Rombe mencari pertolongan, seseorang yang mungkin tau hal-hal yang menganggunya, namun Bu Rombe selalu menolaknya. Beliau percaya dengan kekuatan Tuhan dan Imannya.

Siang itu, gw lagi makan di teras, gw kaget waktu Mbak Rachel nyamperin gw.

"Mak dimana?." Tanyanya, wajahnya panik.

"gok pawon." (di dapur) Kata gw.

Nyokap yang denger suara Mbak Rachel buru-buru keluar, air matanya sekarang keluar. Nyokap segera berlari dengan mbak Rachel menuju rumah. Gw ikut di belakang mereka, begitu sampai di dalam rumah, mbak Rachel nunjuk kamar Bu Rombe.

Di bukanya pintu itu, dan seketika bau anyir bangkai tercium menyengat, begitu menyengat sampai gw nggak mau masuk lebih jauh, tapi gw bisa lihat dengan mata kepala gw sendiri. Bu Rombe tengah terduduk di atas ranjangnya, matanya merah baru menangis, kondisinya benar-benar nggak karuan. Kemudian, beliau muntah.

Muntah cairan hitam yang gw yakin bukan darah, warnanya hampir sama dengan darah mengering tapi itu bukan darah. Karena bau anyir busuk itu berasal dari cairan itu.

"Tolong." ucapnya.

"Tolong."

Nyokap langsung lari, mencari Pak RT. Pak RT datang dan beberapa warga, tapi ketika mereka masuk gw inget, Bu rombe malah tertawa cekikikan, kemudian berteriak lantang



"METU."

(Keluar)

Bingung...!

Itu yang gw yakin sekarang ada di dalam pikiran Pak RT dan bapak- bapak, karena setiap kali Pak RT mengingatkan untuk istighfar, bu Rombe justru tertawa.

"Opo iku istighfar istighfar. Imanmu jek sak jentik'e tanganku gak usah gaya-gaya an."

(Apa itu istighfar istighfar. Imanmu saja masih sekecil jari kelingkingku, gak usah pamer.)

Tegang wajah semua orang, termasuk gw yang ada di baris paling belakang. Sekedar mengintip di luar rumah, orang-orang berdatangan, semakin rame. Mbak Rachel kemudian mendekat.

"Kamu siapa, Mama mana bisa bahasa jawa."

"Makmu!!."(ibumu). Dia tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya.

"Aku guk Makmu cah wedon"

(Aku bukan ibumu anak gadis)

Pak RT cuma menahan Mbak Rachel agar tidak mendekatinya. Sampai Mbah Gimon muncul, beliau masuk ke kamar dan melihat langsung apa yang ada di depannya.

"Demit ASU." (Setan Anjing).

Mbah Gimon itu tetangga jauh gw. Kesehariannya hanya berkebun, tapi beliau pernah menghadapi hal semacam ini, yaitu ketemplekan (kesurupan).

Yang bikin gw takjub, Mbah Gimon tidak membaca Ayat suci untuk hal mistis semacam ini, karena setau gw cara itu yang dilakukan untuk mengusir. Sebaliknya, Mbah Gimon hanya menekan jari kaki Bu rombe, lalu bu Rombe menjerit sambil memaki-maki.

Bapak-bapak inisiatif memegangi badan Bu rombe yang mulai

mencakari wajahnya sendiri. Setelah beberapa saat, bu Rombe jatuh pingsan.

Mbah Gimon kemudian melotot melihat ke kamar Bu rombe, seperti ada yang beliau cari.

"gok ndi iki?." (dimana ini?) katanya.

"goleki nopo to pak?." (Cari apa pak) Kata warga yang kebingungan.

Mbah Gimon keluar dari kamar Bu rombe, berbelok masuk kamar Mbak Rachel, semua orang mengikuti. Akhirnya...dia membawa keluar

sebuah boneka beruang kecil.


"koen oleh iki tekan endi ndok." (Kamu dapat darimana ini nak)

Mbak Rachel yang awalnya kebingungan, lalu menjawab.

"Di kasih mbah, sama seseorang waktu pulang sekolah."

"ojok-ojok ojok ojok gelem yo nduk, lek onok seng kek'i" (jangan-jangan jangan, jangan mau lagi ya nak kalau ada yang ngasih- ngasih lagi)

Di robeknya boneka itu dan di dalamnya, ada boneka kayu kecil. Di ujungnya, ada beberapa helai rambut.

"onok seng gak seneng ambek keluarga iki, pantes firasatku elek terus ben liwat omah iki"

(ada yang gak suka sama keluarga ini, pantas saja firasatku jelek terus setiap melewati rumah ini)

Nyokap gw maju, dan menceritakan semua.

"Oalah ngunu tah" (Oalah begitu tah) Kata mbah Gimon.

Disinilah, Mbah Gimon akan membuka rahasia yang nanti bakal jadi bencana fatal bagi keluarga Bu rombe. Bu rombe akhirnya tau apa yang menimpa mereka. Termasuk, maksud dari tamu itu yang rupanya Mbak Rachel lah yang membawa benda asing masuk. Ibaratnya ada tamu yang tidak di undang masuk ke kawasan yang padat makhluk begituan, hal itulah yang membuat mereka begitu murka.

Mbah Gimon bertanya pada Bu rombe, apakah beliau setuju bila urusan soal rumah ini di serahkan sama beliau, karena sejujurnya mbah Gimon tidak tega melihat bu Rombe di siksa dengan cara seperti ini.

"Saya Kristen, pak. Jadi kurang percaya hal begituan. Mohon maaf." Ucap beliau.

Gw yang selalu nempel nyokap mendengar mbah Gimon mengatakan:

"Jaga Gandrang. Iku seng neror awakmu, nek koen kepingin eroh" (Jaga Gandrang. Itu yang neror dirimu bila kamu ingin tau)

Nyokap menjelaskan pada bu Rombe, dan bu Rombe kemudian bertanya:

"Apa itu Jaga Gandrang mbah?" tanya bu Rombe.

"Pasukan Jin" kata mbah Gimon.



"Wes di tandur suwe ambek seng nduwe omah iki biyen, awakmu gak di senengi asline gok kene, gak di terimo, eroh akibate?" (sudah lama di tanam oleh yang punya rumah ini dulu, kamu tidak di sukai sebenarnya disini, gak di terima. Tau akibatnya?)

Nyokap yang nerjemahin.

"Apa akibatnya mbah?" kata bu Rombe.

"Apes, ajor, bosok. MATI." kata Mbah Gimon.

(sial, hancur, busuk, Mati)

Nyokap sampai tidak bisa menjelaskan itu pada bu Rombe. Beliau hanya bersimpati, namun bu Rombe tampaknya tau apa yang di ucapkan Mbah Gimon.

"lalu saya harus apa mbah?."

"Di bongkar ae kabeh, nek awakmu gelem percoyo aku, aku isok paling mbongkar"

(di bongkar saja semua, bila kamu percaya saya, aku mungkin bisa membongkarnya)

Bu Rombe, kemudian mengiyakan tawaran Mbah Gimon. 7 hari kata Mbah Gimon. Beliau mau berpuasa terlebih dahulu. Gw inget...! Malam itu rame, karena sampe ngadain bantengan. Potong kepala sapi, sampai tumpengan warga. Semua itu, di tanggung oleh bu Rombe. Keesokan malamnya. Mbah gimon memulai ritualnya. Beliau hanya memutari rumah. Beberapa kali tampak menancapkan pasak. Pasaknya dari bambu kuning dan di ujungnya ada tali pocong.

Bu Rombe hanya duduk di teras. Sementara warga berkerumun melihat, seperti pertunjukkan. Gw kadang radak nyengir kalau inget ini. Maksud gw, hal yang kaya begini memang seharusnya gak perlu di buat seheboh ini. Namun, omongan mulut ke mulut dan tentu maksud tujuan asli mbah gimon seolah menguburkan niat baik beliau menjadi ajang pamer ilmu.

Gw gak di bolehin keluar rumah, padahal banyak warga yang nonton langsung, akhirnya gw cuma bisa curi lihat dari jendela kamar. Disini, malapetaka terjadi. Gw gak tau apa yang dilakukan mbah Gimon karena, 9 orang langsung jatuh pingsan. Hal ini membuat warga panik, tapi mbah Gimon hanya bilang mereka hanya kerasukan biasa, bukan hal serius. Kadang malapetaka kecil adalah pertanda untuk malapetaka yang lebih besar.


Acara yang semua ramai menjadi sepi dan hening. Gw yang di dalam rumah bahkan bisa merasakan angin sudah berubah, jauh lebih dingin. Imbasnya, di mulai ketika bu Rombe tiba-tiba menangis. Bu Rombe menangis di teras rumah. Mbah Gimon yang melihat gelagat itu mendekatinya. Ketika mbah Gimon mendekat, bu Rombe tertawa,

cekikikan, kemudian menangis lagi. Tertawa lagi. Hal itu terus terjadi sepanjang malam. Disitulah Mbah Gimon tau dimana batasan dia harus berhenti.

Esoknya, Mbah Gimon meminta maaf. Dia tidak bisa lagi membantu bu Rombe. Akibatnya, setiap malam bu Rombe akan melakukan hal yang sama. Tertawa, menangis, tertawa lagi, kemudian menangis lagi.

Namun.... yang paling buruk dari itu adalah di punggung bu Rombe, selalu di temukan luka lebam biru. Padahal, beliau baik-baik saja. Keluarga besar bu Rombe akhirnya menyarankan agar beliau meninggalkan rumah itu. Bahkan pihak keluarga sampai harus melakukan pembersihan. Namun, itu tidak merubah apapun.

Nasi sudah menjadi bubur. Tepat 4 bulan setelah mereka pergi dari rumah itu, bu Rombe meninggal. Gw gak tau karena apa beliau meninggal. Orang-orang mengatakan beliau sakit keras, namun cuma nyokap gw yang bilang, bila beliau di ikuti sejak kejadian malam itu. Nyokap bicara bukan karena dasar.

Karena sebelum bu Rombe pindah, beliau menemui nyokap untuk pamit dan ketika dia pamit, beliau mengatakan umurnya tidak akan panjang, dan bila nanti beliau meninggal, beliau tidak mau di kuburkan di dekat tanah ini.

Kisah ini belum berakhir sampai disini, karena ada 2 keluarga yang kelak akan tinggal di rumah itu. Dan ada sebuah cerita dari mulut ke mulut. Pernah suatu malam, di jendelanya...seseorang melihat bu Rombe, berdiri di sana. Melotot memandang keluar rumah.

Bila ada yang berpikir kisah ini berakhir setelah bu Rombe meninggal, maka hal itu salah besar. Justru, konon cerita dari mulut ke mulut, seringkali ada yang melihat lampu di rumah itu menyala. Padahal, rumah itu sudah di biarkan kosong. Gw bukan gak pernah

mengalaminya. Sebaliknya malah, gw pernah sekilas melihat bayangan seseorang melintas di jendelanya. Perawakanya, menyerupai bu Rombe dengan rambut panjang keritingnya.


Tapi, dari semua cerita tentang sosok menyerupai bu Rombe, gak ada yang mengalahkan kisah ini. Pernah suatu malam, ada penjual Bakso lewat, gw pikir gak ada orang seniat ini buat jualan pukul 1 dinihari. Maksud gw, siapa juga yang mau makan bakso jam 1, hal itu yang dilakukan oleh penjual bakso ini. Gw tau, sebelumnya dia gk pernah lewat sini.

Lewatlah dia di depan rumah. Kemudian, seseorang memanggil.

"Bakso mas" Kata suara yang memanggil, keluarlah yang konon kata si penjual, seorang wanita paruh baya mengenakan gaun tidur putih dari rumah tersebut.

Si pedagang melayani seperti biasa, namun.. kisah ini pertama kali di ceritakan oleh Mas Edi. Mas Edi kebetulan dapat giliran jaga. Ketika Mas Edi melihat dari jauh gerobak bakso yang tengah berhenti, Mas Edi mendekatinya, berniat memesan untuk menambal perutnya yang lapar. Entah apes atau apa, ketika Mas Edi memperhatikan dengan seksama, yang di hadapannya, adalah sosok wanita. Masalahnya, kaki wanita itu tidak menapak tanah.

Mas Edi menunggu lama sampai akhirnya tukang bakso itu kembali menjajakan daganganya. begitu sudah jauh dari rumah itu, Mas Edi menegur tukang Bakso itu.

"Mas Mas sini" Kata Mas Edi, tidak yakin apakah harus memberitahu.

"Tadi, siapa mas yang beli baksonya?" Tanya Mas Edi berusaha memancing pembicaraan.

"Yang punya rumah kayanya sih mas, saya tidak tau. tidak biasa jual

disini. kenapa ta mas?." Tanya si pedagang.

"Masnya tau tidak kalau rumah itu sekarang kosong?."

Si pedagang mulai menaruh curiga.

"Tadi, yang beli.. mohon maaf mas, sepertinya kuntilanak mas"

Jawab mas Edi, alih-alih si pedagang merasa takut, beliau justru

sekarang tau alasan kenapa pertanyaan yang mengganjalnya sekarang terjawab.

"Oh pantes mas." kata si pedagang.

"Pantes bagaimana maksudnya mas?."tanya mas Edi

"Mana ada orang bayar bakso dengan daun"

Setelah itu, pedagang bakso itu pun pergi. Gw rasa cerita ini cukup untuk menutup keluarga bu Rombe, dan kenapa rumah itu begitu terkenal dengan nama Rumah Rombe.



Gw inget nyokap baru ngasih tau, kalau kita akan pindah rumah. Jujur, gw gak suka di ajak pindah. Meskipun masih satu desa hanya berganti RT, gw udah nyaman 2 bulan sebelum gw pindah. Gw lihat ada sebuah mobil berhenti di depan rumah bu Rombe. Rupanya itu adalah mas Romi, di sampingnya ada seseorang pria dan wanita, usianya setara dengan nyokap gw.

Gw cuma melihat dari jauh. Tampaknya, mas Romi sedang berbicara dengan mereka. Beberapa hari kemudian, gw akhirnya tau bila rumah itu terjual kepada keluarga baru yang akan menempati rumah itu.

Entah keluarga yang akan menempati rumah itu tau atau tidak namun, bila gw jadi mereka, gw gak akan pernah mau beli rumah itu sekalipun di jual dengan setengah harga. Namun rupanya, keluarga ini begitu suka dengan rumah itu. Karena keesokan harinya, mereka bertamu di rumah gw. Mereka berasal dari jawa tengah, sebuah keluarga kristen. Mereka juga bercerita memiliki 2 anak putera. Namun, mereka akan datang 2 hari lagi. Yang tua seumuran dengan gw, yang bungsu usianya masih 7 tahun, dan kemungkinan mereka juga akan pindah sekolah di sekitar sini.

Dari semua keluarga yang bakal gw ceritain, keluarga inilah yang paling akrab dengan gw, karena mungkin mereka memiliki anak yang usianya sebaya dengan gw.


Besoknya gw di minta Pak Albert, nama bapak yang akan menempati rumah ini dengan bu Eli, menyambut anak mereka, Stevanus dan Eeng. Waktu gw lihat Stevanus, gw sempet minder. Walaupun usianya sama dengan gw, perawakannya tinggi besar. Namun, ketika gw melihat saudaranya si Eeng.... gw gak mau komentar apapun. Sebelumnya gw minta maaf, karena si Eeng rupanya memiliki kelainan mental.
Ada hal yang menarik perhatian gw dari Eeng, waktu pertama kali masuk.Secara mengejutkan dia berlari dengan gelagat seperti anak usia balita, dia berlarian kesana kemari. Namun, mendadak dia berhenti di depan kamar yang dulu di pakai oleh bu Rombe, dia diam disana lama. Kemudian mengatakan dengan senyuman ganjil.
"Ante"
Waktu itu, gw belum paham apa yang dia bicarakan, sampai Stevanus mengatakan Eeng biasanya berbicara dengan logat kurang sempurna. Gw berdiam diri sebentar sebelum gw berpikir, "Ante" terdengar seperti ucapan "Tante". Gw merinding mendengarnya.
Gw mencoba bersikap biasa saja, terutama saat gw ada di dalam rumah itu. Suasana gk enak sangat terasa. Pak Albert, meminta gw ikut berkeliling rumah, melihat ada apa saja. Sebenarnya gw gak mau, tapi Stevanus waktu itu cerita mau ngajak gw maen game.
Game waktu itu adalah hal yang sangat mahal, jadi gw iyain. Sebelumnya, gw cuma pernah ke rumah ini gak lebih melewati kamar bu Rombe. Di sebelahnya masih ada 2 kamar lagi, yang gw perkirakan adalah kamar Mbak rachel dan mas Romi dulu. Namun hari ini gw baru tau, bila rumah ini rupanya sebesar ini.
Kalau kalian tau kebanyakan rumah belanda, rata-rata di bangun dengan pondasi yang tinggi. Gw gak tau kenapa, karena kebanyakan rumah model belanda selalu memiliki tangga untuk naik maupun turun dan sekarang gw tau, rupanya letak kamar mandi jauh di bawah, gw harus menuruni anak tangga yang tingginya gak lebih dari 1 meter. Disana ada beberapa pintu kamar dan dapur. Dapurnya sendiri masih menggunakan tungku dan beralaskan tanah, sementara lantai di atas menggunakan tekel. Dari semua tempat di rumah ini, suasana paling menakutkan memang di area dapur dan kamar mandi.

Bulukuduk gw merinding. Pak Albert hanya melihat ke sekeliling, namun perasaan gw semakin gak enak waktu pak Albert membuka pintu demi pintu di area dapur, seperti firasat muncul begitu saja. Di dalam kamar-kamar itu, hanya ada ranjang tua. Temboknya pengap dan sedikit bau. Bila kalian ingin membayangkan, bayangkan saja sebuah ruangan di dalam penjara. Nyaris seperti itu suasana kamar di lantai bawah.
Setelah gw balik, gw sampe kepikiran gak mau lagi balik ke rumah itu sementara waktu. Rupanya, gangguan-gangguan itu mulai bermunculan, ketika gw denger Stevanus bercerita. Stevanus menggunakan kamar nomer 2, yang dulu menjadi kamar Mbak Rachel. Sementara si Eeng, menggunakan kamar yang dulu digunakan bu Rombe. Kamar ke 3 tentu digunakan pak Albert dan bu Eli.
Stevanus pernah cerita, waktu tengah malam dia terbangun karena tiba-tiba merasa haus. Karena air ada di dapur, maka ia pergi kesana sendirian. Begitu menuruni tangga, Vanus merasa dirinya gak sendirian. Setelah mengambil air di kendi dan menuangnya dalam gelas, Vanus mendengar suara.
Suaranya seperti ranjang reot ketika di duduki. "Krieeeet..", suaranya berasal dari satu kamar.
Penasaran, vanus mendekat. Suaranya semakin keras, sampai vanus berdiri di depan kamar itu. Tangannya sudah siap membuka pintu, namun Pak Albert menepuk bahunya.
"sudah minumnya" Vanus kaget.
Pak Albert meminta Vanus kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, pintu itu di segel oleh Pak Albert. Gw yang denger gak komentar sama sekali, bahkan waktu Vanus bilang :
"Mau tidak menginap di rumahku malam ini, papa gak ada di rumah malam ini, jadi kita buka kamarnya."
Gw cuma nyengir, kemudian menolaknya keras-keras. Kejadian berikutnya waktu gw maen game sama Venus, tahun segitu yang bisa gw maenin cuma game mario, sama game circus. Pas gw lagi asyik asyik maen, gw denger suara berisik dari kamar si Eeng. Vanus baru aja tidur, membiarkan gw maen sendirian.

Awalnya gw acuhin suara itu, tapi suaranya semakin menjadi-jadi. Gw rada kesel, walaupun kelainan, si Eeng ini pecicilan dan gak bisa diem. Gw inisiatif buat lihat apa yang dia lakuin. Ketika gw buka pintu, gw kaget waktu si Eeng sedang ngunyah sesuatu. Awalnya gw cuma lihat doang sampe gw sadar, yang dia gigit rupanya kecoak hidup. Gw lari bangunin Vanus dan begitu dia bangun, kami kembali menemui Eeng, Vanus membuka mulutnya dan dia benar-benar nelen itu binatang.
"Eeng gak pernah kaya gini." Kata Vanus.
"Nanti biar gw aduin Mami" Lanjutnya.
Gw akhirnya pamit. Tapi sebelum gw keluar rumah, gw bisa lihat Eeng nyengir ke arah gw terus menerus, kaya dia ngelihatin gw entah kenapa. Gw udah mulai mikir yang ngga-ngga tentang anak ini.
Jujur gw gak suka sama si Eeng dan gw juga tau si Eeng juga gak suka gw. Tapi karena dia cuma anak berkebutuhan khusus buat gw kadang harus jaga sikap, sedangkan dia bersikap seenaknya. Gw biasa ngobrol sama Vanus di teras dan kalian tau apa yang Eeng lakukan?
Cuma ngelihatin gw.
Dia ngelihatin gw dari jendela, nyengir. Jelas saja gw terganggu. Tiap gw aduin ke Vanus dan Vanus akan marah, si Eeng akan bilang dengan ucapannya yang gak jelas. "ante au ain"
Anehnya, di telinga gw terdengar:
"Tante mau main."
Gw putusin menghindari rumah itu.
Suatu hari pulang dari sekolah, gw di panggil pak Albert, di tanya ini itu kenapa gw gak pernah maen kesini lagi. Gw gak bisa jawab. Pak Albert ngajak ke halaman belakang, dimana dulu itu adalah tempat kamar mandi lama. Jadi, semenjak pak Albert tinggal disini beliau membangun kamar mandi baru.
Area di sekelilingnya di tutup oleh pagar bambu. Disana, banyak ayam kate di lepas. Pak Albert mengatakan kalau beliau suka sekali berternak ayam kate. Waktu gw cuma ngelamun ngelihatin ayam-ayamnya, pak Albert mendadak bilang.
"Kamu bisa lihat ya?."
Gw kaget. "Lihat apa nggih pak?." Tanya gw.
"Lihat begituan." katanya.
"Mboten pak, mboten saget kulo."
(tidak pak, tidak bisa saya).
"Oh.." Pak Albert tersenyum lalu berucap:
"Kalau gitu, bisa merasakan pasti kan?."
Gw cuma bengong melihat pak Albert. Disini gw baru tau rupanya meski beliau Kristen tapi beliau bisa melihat hal-hal begituan. Gw kaget, lebih ke gak nyangka. Beda banget sama almarhumah bu Rombe, yang beragama kristen dan gak percaya hal yang begituan.
"Kamu mau tak kasih tau ada apa saja disini?."
Mendengar itu, gw diem.
"Kamarnya si Eeng" Kata pak Albert,
"Ada wanitanya. Apa sebelumnya, kamar itu di pake wanita. Siapa namanya? Sebentar, Mamah Rombe ya.."
Membicarakan hal seperti ini di tempat kejadian buat gw gemetar. Gimana gw gak gemetar, kalau mereka denger bagaimana nasib gw. Rupanya pak Albert gak menghentikan pembicaraan ini padahal gw udah nunjukin gelagat gak nyaman.
"Si Eeng berasa di mong (jaga) sama dia. Kamu juga hati-hati ya, kalau kamu nunjukin ketidaksukaanmu sama Eeng takutnya dia apa-apain kamu." Pak Albert bicara itu sambil tertawa.
Gw.....?????
PUCET..!
"Yang paling jahat ada di dapur dan kamar mandi lama. Kayaknya penunggu tetap, bentuknya mirip pasukan jin" Kata Pak Albert.
"Wajahnya serem. Gak pernah ketawa kayanya. Di kamarnya ada mbah-mbah tua, gak cuma satu, tapi banyak sekali." Pak Albert menerawang jauh.
"Saya penasaran, rumah ini sepertinya di bangun di atas tanah pembantaian" Kemudian pak Albert nunjuk pohon jambu air.
"Kamu tau apa yang ada disana.. "Katanya.
"Kuntilanak merah, di sebelahnya ada 4 kuntilanak putih juga."
"Tau bedanya?" Ucap pak Alberth, gw semakin gak nyaman.
"Yang merah itu ganas, yang putih juga sama. Tapi, yang merah biasanya maen fisik. Tampaknya dia gak suka sama saya" Pak Albert nyengir kembali.
Setelah lama, akhirnya gw beranikan diri untuk bertanya.

"Bapak gak takut?"
Pak Albert kemudian mengatakan:
"Tuhan yang menciptakan mereka. Kenapa harus takut?"
Gw antara kagum dan bingung. Sampe akhirnya gw inget dan ngomong
"Nama pemilik sebelumnya memang bu Rombe pak. Katanya beliau meninggal karena....."
Pak Albert memotong ucapan gw
"di SANTET ya... Saya yakin pasti di SANTET."
"Bapak tau darimana?." Tanya gw.
"Bau daun jarak. Di kamarnya menyengat bau daun jarak, dan juga masih ada makhluk yang membawa santetnya." Ucap pak Albert. "Maksudnya pak?"
"Si Eeng, sekarang sedang maen sama Jin'nya, dia yang menyerupai Mamah Rombe."
"Bapak gak takut Eeng kenapa-kenapa." Tanya gw khawatir.
"Kenapa takut? Pada dasarnya mereka kaya kita. Butuh teman. Mungkin mereka bisa lihat kalau Eeng gak seperti kebanyakan manusia."
"Gimana maksudnya pak?."
"Menurut kamu mereka jahat apa tidak?."
"Jahat pak." Kata gw lagi.
"Mereka jahat karena sudah membawa maut pada bu Rombe
Pak Albert cuma tersenyum kemudian balik bertanya, "Yang jahat mereka apa yang nyuruh?"
Gw tertegun "Yang nyuruh pak."
"Bener !" Kata pak Albert.
"Di agama saya mengajarkan kedamaian, tapi pada dasarnya manusia memang serakah"
"Mereka gak lebih dari objek sebagai jalan pintas untuk
mendapatkan sesuatu. Kalau mereka sudah menganggu, itu karena
awalnya terganggu. Disini kita harus banyak bercermin, hidup
berdampingan lebih baik."
Pak Albert kaya tau sesuatu yang ada dalam diri gw. Semua kalimatnya monohok, seolah memukul gw dengan anggapan bahwa semua makhluk semacam itu ya jahat padahal ada sisi lain yang bisa di ambil bila kita bijaksana. Gw akhirnya yakin bila pak Albert memang sudah benar menempati rumah ini. Tapi, gw gak tau bila dia menyembunyikan sesuatu, karena ketika gw tau.
Gw sangat prihatin dengan akhir keluarga ini.



Minggu pagi adalah hari kartun bagi anak-anak, karena gw gak punya tv dan satu desa yang punya bisa di hitung jari, gw pergi ke rumah Vanus. Gw inget vanus pamit mau ke warung, akhirnya cuma gw yang nonton tv di ruang tengah.
Eeng ada di kamar. Jarak antara ruang tengah dan kamar Eeng hanya beberapa langkah saja, pas gw lagi asyik asyik nya nonton kartun, gw kaget waktu Eeng teriak kenceng. Si Eeng ini memang kerjaanya aneh- aneh. Gw gak sekali dua kali lihat dia ngomong sendiri, lompat-lompat sendiri dan sekarang teriak.
Akhirnya gw ngecek dan buka pintu kamarnya. Di rumah sedang
kosong, pak Albert dan bu Eli ada acara di gereja. Begitu gw lihat apa yang terjadi, gw panik. Si Eeng seperti orang ayan dengan posisi tidur di lantai. Dia menjerit, kaki dan tangannya bergerak-gerak, gw yang kebingungan akhirnya lari mendekatinya. Begitu tepat di depan Eeng, punggung si Eeng tiba-tiba nekuk. Badannya gak normal. Asli, kaya ada tenaga yang gede nekuk badannya dia.
Gw akhirnya lari keluar rumah. Di depan, ada Vanus baru balik dari warung, gw langsung bilang. "Eeng.. kerasukan"
Kami masuk berbarengan, pas pintu di buka, gw lihat Eeng lagi tiduran di atas ranjang. Tampak gak terjadi apa-apa. Vanus, lihat gw dengan wajah bingung. Gw, lebih bingung lagi. Gw jelasin tapi Vanus cuma iya iya aja. Gw berencana mau cerita ke pak Albert, tapi kayanya dia gak bakal peduli. Toh dia yang ngebiarin Eeng maen-maen sama begituan.
Besoknya, gw denger berita mengejutkan. Pak Albert dan Bu Eli, mau cerai. Disini gw baru tau, ternyata dari semua orang yang tinggal di keluarga ini, rupanya bu Eli yang paling tersiksa dan sekarang gw paham, kenapa beliau sekarang jauh lebih kurus. Gw gak mau cari tau, tapi Vanus cerita kalau awalnya bu Eli ngajak pindah rumah lagi. Tapi pak Albert menolak keras-keras, beliau beralasan sudah nyaman tinggal di lingkungan ini. Bu Eli akhirnya mengalah, tapi bagai api dalam sekam, teror yang di lalui Bu Eli buat gw mikir lagi. Apa yang dilakukan bu Eli sehingga mereka menganggu sebegitu hebatnya sama beliau. Rupanya, ada sesuatu yang janggal dengan semua ini dan ini di mulai oleh Pak Albert sendiri.
Bu Eli mengancam akan pergi dengan Eeng, si Vanus akan ikut pak Albert. Rupanya ini di tentang lebih keras. Eeng tetap tinggal, Vanus boleh pergi dengan bu Eli, gw yang denger mereka selalu bertengkar, bikin gw gak nyaman. Terlebih Vanus merasa dirinya gak di inginkan, sedangkan adeknya yang memiliki kekurangan justru di perebutkan. Gw cuma bisa bersimpati.

Akhirnya Vanus dan Eeng tetap tinggal di tempat ini, gw akhirnya tanya apa yang membuat bu Eli gak nyaman. Rupanya, awalnya dari luka misterius di tubuh bu Eli. Gw yang denger langsung curiga, gejalanya mirip seperti bu Rombe, "Lebamnya dimana?" Kata gw.
"Di badan, biru-biru."
Pernah waktu pak Albert tidak di rumah. Bu Eli sedang mau beristirahat. Lalu, tepat saat dia merebahkan badannya, tubuhnya seperti di tekan dengan sangat keras. Sebegitu kerasnya sampai tidak bisa menjerit dan itu terjadi sampai pagi, pas pak Albert pulang, bu Eli menangis.
Bu Eli menceritakan semuanya. Tapi, Pak Abert hanya mengatakan mungkin efek kelelahan. Semua terus terjadi, sampai akhirnya setiap bu Eli tidur, mulai bermimpi aneh-aneh, salah satunya dia di kepung oleh makhluk hitam yang besar-besar. Bu Eli hanya bisa menjerit, melihat mereka marah.
Ini terus berlangsung, seperti teror yang tidak ada habisnya, yang membuat bu Eli akhirnya tidak kuat, ketika dia melihat Eeng badanya panas dan dari hidungnya keluar darah terus menerus. Setiap mau di bawa ke rumah sakit, pak Albert akan menolaknya, mengatakan ini hanya sakit biasa. Bu Eli akhirnya pergi setelah tidak sanggup lagi untuk tinggal.
Vanus akhirnya sadar, ketika dia mengatakan "ada yang gak beres sama rumah ini, setelah tinggal disini keluarga gw kaya tertimpa sial terus"
Gw cuma bisa ngebatin
"Firasat gw gak enak sama si Eeng"
Apa yang gw khawatirin rupanya bener, Eeng anak yang hiperaktif itu mendadak menjadi anak pendiem. Bahkan terkadang seharian hanya mengurung diri dalam kamar, gw merasa ada yang di sembunyikan.
Selama ini gw gak pernah menghabiskan waktu sama Eeng. Namun hari ini, ketika gw lihat dia ada di dalam kamarnya, gw mendekatinya. Mencoba berinteraksi dengan dia. Setiap gw ajak dia bicara, dia hanya mengatakan, "Ati" "Ati"
Awalnya gw pikir itu hati-hati, ternyata itu adalah "Mati".
Semakin lama, pak Albert juga terlihat mencurigakan. Beberapa kali gw denger, pak Albert jadi bahan omongan warga, mulai dari dia yang sering keluar rumah malam-malam buat pasang dupa, atau teman- temannya yang perilaku dan penampilanya aneh. Hal ini membuat banyak warga cemas. Vanus juga merasa ada yang berubah dari
adiknya. Setiap malam, dia seperti mendengar suara yang berasal dari kamar adiknya, Eeng. Suaranya seperti suara tertawa, hanya saja itu suara perempuan.
Waktu itu malam hari, gw kebetulan lagi maen ke rumahnya Vanus, tiba-tiba gw kaget waktu ada yang bertamu malam hari. Rupanya itu Mbah Timan. Siapa Mbah Timan?
Beliau adalah Ketua RW.
Pak Albert yang menemui Mbah Timan, di dampingi pak RT. Gw gak sengaja curi denger obrolan mereka tampak serius.
"Jangan lakukan pak." Kata mbah Timan.
"Kasihan, begitu-begitu juga dia anak bapak, darah daging anda."
Gw mencoba mengorek informasi. Apa yang di katakan Mbah Timan mendapat penolakan, seolah Pak Albert tidak paham ke arah mana tujuan dari percakapan mereka. Gw sendiri melihat Eeng semakin pucat, badannya bahkan terlihat seperti tulang di balut kulit. Vanus mengatakan si Eeng sekarang lebih sering muntah. Masalahnya, setelah dia muntah hidungnya akan mengeluarkan darah.
Puncak dari tragedi ini terjadi, ketika Jumat Kliwon. Gw dikejutkan dengan teriakan dari Vanus. Dia menjerit meminta tolong. Warga yang mendengar segera berkumpul, Vanus segera membawa mereka masuk ke dalam rumah. Disana, Eeng terbujur kaku dengan mata melotot. Gw shockbukan maen. Karena baru kali ini, gw lihat seseorang meninggal dengan cara gak wajar seperti ini. Kejadian gak wajar ini jadi berita besar, banyak yang menuduh Eeng meninggal karena di tumbalkan oleh Pak Albert.
Pak Albert sendiri sedang tidak ada di tempat, karena beliau sedang ada urusan seperti biasanya, namun begitu beliau pulang dan mendengar berita ini, Pak Albert tampak menangis seperti anak kecil. Bu Eli datang ke rumah itu lagi. Amarahnya memuncak dan terjadilah pertengkaran hebat sampai semua warga bisa mendengar apa yang terjadi.

Seperti warga, Bu Eli menuduh kematian Eeng ada hubunganya dengan Pak Albert. Namun, tidak ada bukti apapun. Rentetan kejadian ini masih mengganjal di pikiran gw, namun gw juga gak bisa membuktikan apapun. Tapi, satu hal yang gak pernah gw lupain adalah kepergian Pak Albert dari rumah itu menyisahkan satu masalah yang paling fatal.
Konon....ada satu warga, yang pernah melihat Pak Albert menggali tanah belakang rumah, di samping kamar mandi lama. Galiannya menyerupai kuburan. Namun, ukurannya tidak terlalu besar dan rumor yang menyebar, itu adalah kuburan milik Eeng. Walaupun itu sekedar rumor. Namun, sejak denger itu, setiap gw kepikiran halaman belakang rumah Rombe, gw kebayang kalimat Eeng "Ati" yang berarti "MATI"
Keluarga yang terakhir, jujur gw gak begitu kenal. Karena waku mereka menempati rumah Rombe, gw udah pindah rumah. Tapi, gw masih sering maen buat inget-inget kejadian apa saja yang terjadi, bisa di bilang disini, pak Albert rupanya membuka petaka yang sebenarnya.
Keluarga yang terakhir adalah suami isteri yang baru di karuniai anak masih bayi. Mereka berasal dari keluarga muslim setahu gw, karena saat pertama mereka menempati rumah itu, diadakan pengajian dan
syukuran. Lalu, dimana cerita ini di mulai.
Ceritanya di mulai ketika mereka sudah sebulan menempati rumah ini. Kabar dari yang gw denger, setiap malam hari, terdengar suara tangisan bayi mereka yang tidak mau berhenti. Sang ibu seringkali menimang- nimang untuk membuat si bayi tenang. Kamar yang ia pakai adalah kamar bekas Eeng dan bu Rombe.
Semakin larut, si bayi semakin menjadi-jadi. Tangisannya membuat sang ayah heran, karena ini terjadi hampir setiap hari. Namun anehnya, ketika jendela kamar itu di buka, si bayi berhenti menangis. Bayi kadang memiliki pengelihatan yang jauh lebih sensitif. Lalu, apa yang membuat si bayi menangis manakala jendela masih tertutup. Rupanya, ada sesuatu yang senantiasa menganggu bayi itu saat ada di kamar bekas si Eeng.
Mungkinkah itu Eeng?

Lalu, kenapa si Bayi berhenti menangis manakala jendela itu di buka? Rupanya, dulu Eeng sangat takut dengan kuntilanak merah di pohon jambu tepat di samping kamar. Pertanyaanya, kemana jin yang dulu selalu bermain bersama Eeng. Kunci jawabannya adalah Pak Albert lah yang menjadi sumber dari masalah ini.

Bagaimana gw bisa tau?
Karena, Mbah Timan lah yang akhirnya harus membereskan semuanya. Gw akan coba susun detail dari semua kisah ini lewat sudut pandang Mbah Timan ketika beliau menceritakan ini pada kakek gw. Gw harap kalian bisa memperhatikan setiap detail karena rupanya semua kejadian ini berhubungan satu sama lain.
Jujur nuntasin cerita ini dini hari seperti ini bikin gw merinding, tapi gw udah janji mau nyelesaiin malam ini jadi, ayo kita lanjut.
Kalian ingat dengan Mbah puteri, si pemilik rumah yang pertama. Rupanya suami beliau yang pertama adalah pemilik sebenarnya rumah ini. Seorang Londo, namun beliau sudah meninggal karena hal misterius. Disini, Mbah Timan mengatakan bila Mbah Puteri rupanya adalah Bahu Laweyan.
Apa itu Bahu Laweyan ??
Konon, mereka yang seorang bahu Laweyan adalah mereka yang diikuti oleh pasukan Jin dan siapapun yang menikahi Bahu Laweyan akan mendapatkan petaka berupa kemalangan, kesialan, bahkan kematian. Hal inilah yang terjadi kepada 14 mantan suami Mbah Puteri.
Yang mengerikan adalah semua jasad mantan suaminya, di kuburkan di bawah pondasi rumah, itulah alasan kenapa rumah ini tinggi di
beberapa tempat, sedangkan tanah dapur lebih rendah dari tempat yang lain.
Mbah Puteri sendiri menyadari dirinya seorang Bahu Laweyan, sehingga akhirnya beliau membuat perjanjian bahwa ia tidak akan pernah menikah lagi setelah pernikahanya ke 14. Sebagai gantinya, ia mendapat satu batu pusaka sebagai imbal balik segala kesialan itu.
Batu itu, di simpan Mbah Puteri tepat di salah satu kamar dapur yang di jaga oleh Nenek-nenek dan pasukan Jin, sehingga tanah di sana menjadi tanah keramat. Tanah yang tidak akan bisa sembarangan di tinggali apalagi di jadikan hunian bagi mereka yang tidak tau sejarahnya.

Semeninggalnya Mbah Puteri. Pasukan Jin itu tetap tinggal disana, menjaga batu pusaka yang di tinggalkan Mbah Puteri. Kemudian, kepemilikan beralih ke tangan bu Rombe. Disini, bu Rombe tidak tahu menau musibah apa yang beliau peroleh ketika tanpa sengaja ia menemukan batu itu. Namun, bu Rombe tidak menyadarinya karena cara menemukan batu itu hanya melalui mimpi beliau.
Apa yang bu Rombe lakukan membuat pasukan Jin Murka sehingga akhirnya mereka mulai menganggu, membuat pikiran bu Rombe semakin kacau. Manakala manusia sudah semakin lemah,
memudahkan mereka dikuasai akal dan pikirannya. Jin Perempuan yang dikirim untuk menyakiti bu Rombe melalui anaknya Rachel, rupanya mendatangkan konflik dengan pasukan Jin Rumah itu, yang merasa terganggu.
Ketika energi negatif bertemu dengan energi negatif, akibatnya adalah tolak menolak. Jin Perempuan itu rupanya cukup kuat sehingga ia menuntaskan segalanya saat bu Rombe semakin lemah dan lemah, hingga akhirnya meregang nyawa. Sayangnya ketika Jin Santet sudah menunaikan tugasnya, kontraknya terhadap si pengirim akan di anggap lunas, sehingga akhirnya jin perempuan itu menetap di kamar bu Rombe.
Disinilah Pak Albert tahu tentang batu Pusaka itu dari Jin perempuan yang kebetulan menyukai Eeng, syarat yang di tawarkan adalah nyawa Eeng. Pak Albert setuju dengan syarat itu, kontrak yang di jalin manusia dan bangsa jin memang bersifat mengikat, sehingga konsekuensi apapun harus di terima. Salah satunya adalah, serangan masif pasukan jin terhadap bu Eli.
Namun, hal itu tidak juga di indahkan oleh pak Albert yang sebegitu inginnya dengan batu Pusaka yang konon bisa mengangkat derajat manusia. Mbah Timan, memperingatkan Pak Albert atas konsekuensi yang dia buat. Pasukan Jin itu bersifat menjaga, tidak menyerang. Karena sebelum jauh ada mereka disini, rumah ini sudah berdiri di tanah yang di tinggali bermacam-macam makhluk ganas
salah satunya, kuntilanak merah.
Namun, karena ada pasukan jin itu, semua memiliki daerahnya masing- masing. Yang buat gw sedikit merinding dengan cerita ini adalah korban tumbal akan senantiasa penasaran, itulah alasan kenapa Eeng tidak pernah meninggalkan kamar itu.
Dengan semua kesimpulan yang Mbah Timan ceritakan membuat gw jadi tau. Pak Albert berhasil mendapatkan batunya. Konsekuensi yang dia dapat, keluarganya hancur. Eeng tewas sebagai tumbal. Sekarang semua yang ada disana, menjadi bebas dan hal ini menimpa keluarga
ini

Teror yang paling sering mereka dapat adalah setiap malam, seringkali terdengar suara wanita menangis dan bila di cari suaranya menghilang. Ketika tidak di cari, suaranya akan terdengar lagi. Ini terjadi sepanjang malam. Di dapur rupanya di tinggali oleh makhluk berperawakan besar. Sayangnya ia hanya menganggu dengan menjatuhkan barang-barang dapur.
Di siang hari, kadang kala si isteri selalu mendengar suara kaki berlarian, terkadang ranjang berdencit seolah-olah ada yang menginjak-injak ranjangnya. Beberapa kali sudah di adakan pengajian hingga memanggil orang pintar, hampir semua menjawab dengan jawaban yang sama.
Tanah ini, bukan tanah yang cocok untuk tempat tinggal. Sebegitu hitamnya tempat itu. Sampai akhirnya, ketika malam hari dimana sang ibu pergi untuk membuang air, saat ia kembali jabang bayi yang ia tinggalkan di dalam kamar, menghilang. Yang pertama kali menawarkan bantuan tentu saja. Mbah Timan, yang di bantu para warga. Mereka semua di minta berkumpul di luar rumah, sementara mbah Timan membaca ayat suci. Warga yang di kirim sebelumnya, mengkonfirmasi tidak menemukan apapun.
Suasana saat itu tegang.
Sampai akhirnya, Mbah Timan memerintahkan warga mengambil barang-barang dapur yang bisa dibawa khususnya yang menimbulkan suara. Di bantu warga, barang-barang segera di tabuh, riuh suasana seperti sebuah pesta dan Mbah Timan mulai berjalan memutari rumah, satu demi satu. Beliau melihat makhluk-makhluk itu, memenuhi segala tempat, menari mengikuti tabuhan barang-barang dapur warga.
Ketika berhenti tepat di kamar mandi lama, Mbah Timan melihat sosok nenek tua. Tubuhnya 3 kali tubuh mbah Timan, rambutnya panjang sampai menyentuh tanah. Begitu melihat Mbah Timan, wajah makhluk itu melotot marah.
"Kembalikan. itu bukan anakmu."
Makhluk itu tidak menggubris,
"Jangan sampai saya menggunakan cara yang kasar untuk meminta."
Para warga yang sedari tadi mengikuti Mbah Timan menabuh semakin keras. Sebegitu kerasnya, sampai makhluk itu menari-nari mengikuti tabuhan warga. Mbah Timan segera mengambil bayi yang ada di kakinya, di sembunyikan di bawah pohon seukuran mata kaki, yang anehnya sebelumnya para warga tidak ada yang bisa melihat, ada bayi disana.
Bayi di kembalikan dengan selamat ke pangkuan orang tuanya, lalu Mbah Timan berujar.
"Rumah ini tidak baik untuk di tinggali, yang baru saja ngambil bayi kamu itu Wewe gombel, sebelumnya dia tidak pernah berani kesini" "Tapi sekarang jadi berani, karena rumah ini, sangat dingin."
"Namun kalau panjenengan masih ingin tinggal, saya sarankan siap mental, yang disini bukan hanya kuntilanak, wewe gombel, tapi masih banyak lagi. Jadi saya serahkan keputusannya sama kalian." Mendengar itu, pasangan suami isteri itu akhirnya mengikuti apa yang Mbah Timan katakan. Mereka hanya menempati rumah itu tidak lebih dari 2 bulan, selebihnya hingga saat ini, rumah itu dibiarkan kosong. Menjadi monumen paling di hindari bahkan hingga saat ini.
Terakhir gw lihat rumah itu 4 bulan yang lalu, masih kokoh berdiri meski tanda kehidupan tidak terlihat sama sekali. Yang pertama kali gw inget setiap kali melihat rumah itu adalah kejadian-kejadian yang membuat gw kembali berpikir, betapa kecilnya gw di tengah rahasia-rahasia yang gak gw pahami sebagai manusia.
Begitu kecil nan polos.
Sekali lagi, gw gak berniat menakut-nakuti. Gw hanya sekedar berbagi. Ada kalanya hal-hal seperti ini bisa menjadi pelajaran untuk mawas diri, bahwa sebagai manusia tidak sepantasnya kita bersombong diri, dengan menghalalkan segala cara untuk meraih apa yang kita ingini.
Yang jelas, gak akan ada orang di desa gw yang bakal melupakan satu dari ratusan hal-hal di luar nalar itu yang pernah terjadi disini.
Gw tutup thread ini dengan satu pesan :
ADA YANG LEBIH BESAR DARI APA YANG KITA SEBUT DENGAN DUNIA
INI, JADI KENAPA KITA TIDAK MEMINTA KEPADANYA SAJA. BUKAN KEPADA, YANG MENYEKUTUKANYA.


-SELESAI-