SOROP

 

SOROP


Pertama kali saya dengar cerita ini dari sebuah pesan DM di twitter. Seorang perempuan yang ingin bercerita tentang pengalamannya saat ia pertama kali bersentuhan dengan penghuni di dalam rumahnya. Awalnya saya tidak tertarik, bagi saya sendiri setiap rumah pasti ada penghuninya.

Namun saya tetap antusias untuk mendengarkan ceritanya, satu persatu kepingan ingatan yang pernah ia alami, ia ketik dalam pesan pendek email dan saya baca satu persatu, masih belum tergugah dengan ceritanya hingga mata saya berhenti pada satu titik kalimat yang membuat saya tiba-tiba begitu tertarik.

Satu kalimat yang seakan merubah presepsi saya pada sebuah cerita rumah berpenghuni yang klise karena apa yang akan kalian baca ini bukan sekedar cerita hantu melainkan sebuah cerita yang benar-benar akan menjadi salah satu cerita paling berkesan teruntuk saya sendiri.

"Sorop"

Itu adalah ketikan kalimat yang membuat saya tiba-tiba berpikir untuk menemuinya, berbicara langsung dengan kontributor saya dan di sini peristiwa itu akan saya ceritakan sedetail mungkin.

Cerita tentang tenggelamnya matahari dan membangunkan mereka semua.

Butuh waktu 5 jam untuk sampai ke kota kontributor saya, berbekal lokasi tempat kita berjanji yang tiba-tiba di batalkan karena beliau ingin saya melihat langsung rumahnya. Saya tidak keberatan karena saya juga ingin melihat rumah yang akan saya ceritakan nanti.

Sampailah saya di rumah itu.

Hal pertama yang saya rasakan tentang rumah itu tidak berbeda jauh seperti rumah kebanyakan hanya saja rumah ini memanjang di bandingkan meluas dengan tatanan pintu kamar di satu lorong panjang yang langsung menuju pawon (dapur).

Saya duduk dan memandang kontributor saya. Rumah ini hangat tidak sedingin yang dia ceritakan, dan ekspresi wajah kontributor saya hanya tersenyum sembari mengangguk sebelum ia berbicara pelan, sangat pelan nyaris membuat saya membungkuk untuk mendengarkan,


"Mereka di sana"

Kontributor saya menunjuk satu pintu. Benar saja, ada satu pintu yang terlihat menggelitik saya karena hanya pintu itu yang memiliki geligik seakan pernah di bakar sebelumnya. Kayunya sudah rapuh namun di gembok dengan kuat.

"Itu adalah kamar pak de yang saya ceritakan mas"

seketika bulukuduk saya berdiri, mungkin karena saya sudah mendengar cerita ini sebelumnya dari email yang kontributor saya

kirim.

"Pak de mu sing iku"

("Pak de kamu yang itu") kata saya dan dia mengangguk.

Saya mengangguk berusaha mengerti.

Satu jam saya menunggu di rumah itu. Berbicara dan bertanya banyak hal dan dia menjawabnya sesuai dengan email yang ia kirim, terbesit pertanyaan yang pasti keluar terlebih bila seseorang mengalami gangguan hingga sesinting itu.

"Lapo gak di dol ae omahe mbak?"

("Kenapa gak di jual aja Mbak?")

Kontributor saya hanya menunduk. Tepat setelah saya bertanya itu ia langsung menunduk seakan pertanyaan saya gak sepantasnya dipertanyakan, tentu saja saya sendiri menyesal karena saya spontan dari rumah yang awalnya bagi saya biasa saja namun perlahan mampu membuat bulukuduk berdiri.

Untungnya, perempuan lain yang saya tunggu datang. Ia melihat saya dan setelah tahu siapa saya dia langsung duduk tanpa mengembalikan tasnya terlebih dahulu ke kamar. Dia menatap saya ragu sebelum mulai mengatakan kepada saya bahwa cerita yang kakaknya ketik tentang rumah ini benar adanya.

Semua itu di mulai saat....

"Pak de kulo pejah"

("Paman saya meninggal")



"Nduk mantuk yo, wes talah sepuroen pak De mu, kabeh keluarga wes sepakat, omah iki ngunu hak-mu, timbang merantau ngunu mbok di urus ae omahmu iki"

('Nak pulang ya, sudah lah maafkan pak De mu, semua keluarga sepakat, rumah ini hak kalian, daripada merantau begitu mending rumahmu ini di urus")

Isti nama perempuan itu, berbekal telephone di wartel setempat ia melirik kakaknya, Hanif.

Hanif menggeleng seakan menolak untuk kembali, apa yang menimpa keluarganya tepat setelah kematian orang tuanya tidak akan pernah ia lupakan terlebih perlakukan dari keluarga ayahnya.

"Ngapunten bu Lek, kulo kale mbak boten purun mbalik nek tasik enten pak De kale bu De"

("Maaf tante, saya dan kakak saya gak akan kembali kalau masih ada om sama tante di rumah itu")

Hening....

Tak beberapa lama Isti menutup telepone, wajahnya pucat. "Lapo Is?"

("Kenapa Is?") tanya Hanif, wajah adiknya masih sangat pucat.

"Pak De sakaratul maut mbak, bu De minggat, bu Lek kepingin kene muleh"

("Pak De sakaratu maut, sedangkan bu De pergi dari rumah, bu Lek ingin kita pulang")

Malam itu juga, Isti dan Hanif pulang.

Selama di perjalanan Hanif dan Isti saling melihat satu sama lain, entah

kenapa setelah mendengar kabar itu keduanya justru tidak tenang

seakan ada yang membuat mereka ketakutan.

"Bener sing di omongno bu Lek?"

("Bener yang di omongin bu lek")


Isti mengangguk.

"Iyo mbak, jare pak De mutah getih, trus nyelok-nyelok jeneng'e kene ambek..."

("lya mbak, katanya pak De muntah darah, trus dia manggil-manggil nama kita sama...")

Isti terdiam lama, "Sorop"

Hanif tidak lagi melihat Isti, ia memilih melihat ke jendela kereta, sudah lebih dari 14 jam perjalanan mereka, dan sebentar lagi mereka akan tiba tepat ketika matahari akan tenggelam, cahaya kemerahan di barat terlihat begitu mencolok.

Hanif masih ragu apakah ia siap melihat wajah pak De setelah apa yang mereka perbuat kepada dirinya dan adiknya.

Rumah itu memang tak seharusnya di pertahankan bila akhirnya menjadi seperti ini.

Di stasiun..., seorang lelaki kurus melambaikan tangan, Hanif dan Isti mendekatinya sebelum mencium tangannya.

"Ayok ayok, kabeh wes ngenteni"

("Ayo ayo, semua sudah menunggu") ucap si lelaki kurus,

Namanya Supri tetangga sekaligus orang yang dulu paling dekat dengan almarhum orang tua mereka.

"Pak De yo opo mas?"

("Pak de gimana mas?")

Supri yang tengah menyetir mobil tidak langsung menjawab. Wajahnya khawatir,

"Ra eroh"

("Gak tau")

Isti dan Hanif hanya saling melihat satu sama lain, belum terlalu jauh dari stasiun tiba-tiba hujan deras turun, wajah Supri semakin khawatir.

"Pertondo elek"

("Pertanda buruk")


Mobil tua itu tetap menerjang meski hujan semakin deras dan langit mulai menggelap. Tepat maghrib mereka sampai di depan rumah yang sudah di penuhi warga kampung.

Isti dan Hanif turun dari mobil sebelum mengucap terimakasih pada Supri, Hanif menyadari ada yang salah dari wajahnya.

"Ati-ati yo"

("Hati-hati ya") kata Supri yang membuat Hanif terdiam lama,

"Wes-wes ndang mrono, bulek wes ngenteni"

("Bu lek mu sudah menunggu, sudah sana")

Berlari di atas tanah berlumpur sebelum di sambut warga kampung, Isti dan Hanif menuju bu Lek yang sudah menunggu.

"Mrene nduk"

("Kesini nak") kata bu Lek,

la merengkuh badan Isti dan Hanif sebelum menuntunnya menuju sebuah kamar kedua dari ruang tengah, di sana orang-orang yang tengah mengaji tiba-tiba keluar saat melihat Isti dan Hanif.

"Monggo mbak" ucap mereka saat meninggalkan.

Hanif dan Isti saling melihat satu sama lain, suara dan wajah orang yang baru saja mengaji terdengar ketakutan, di dalam kamar ada sebuah kloso ("tikar tenun") di atasnya ada seseorang yang mereka kenal.

Pak De, ia terbujur diam.

Saat Isti dan Hanif sudah ada di dalam kamar,

Tiba-tiba, bu Lek melangkah keluar sebelum menutup pintu kamar itu.

Hanif menggedor gedor pintu, namun dari luar bu Lek terus berteriak.

"Wes nduk sepuroen pak De mu dilek, ben kabeh mari"

("Sudah nak, maafkan pak De mu dulu biar semuanya selesai")

Hanif masih menggedor pintu, bingung...... Tiba-tiba Isti menyenggol Hanif ia berujar lirih,

"Pak De"

Lelaki paruh baya itu bangun dari tempatnya. Ia merangkak mendekati Hanif dan Isti yang tersudut di depan pintu.


Namun, Hanif menyadari tubuh gempal pak De nya yang dulu kini

seperti tulang yang di balut kulit kering... Dari hidung dan mulutnya, dia terus memuntahkan darah.

Bola matanya sudah memutih nyaris seperti orang yang sudah lama mati.

Dia menatap Hanif dan Isti sebelum bersujud di depan mereka. Meminta maaf sambil tetap menangis, meraung.... Pak De yang mereka kenal arogan dulu tiba-tiba seperti anak kecil, ada satu kalimat yang tidak bisa Hanif dan Isti lupakan.

"Umbarno pak De mati nduk, ben pak de gak nang kene maneh"

("Biarkan pak De mu mati nduk, biar pak De gak di sini lagi") wajahnya memohon,

Hanif dan Isti ketakutan sembari kebingungan, Hanif yang pertama mengangguk ia sudah memaafkan, tepat setelah mengatakan itu, pak De jatuh dan konon akhirnya bisa meninggal.

Bu Lek membuka pintu dan memeriksa bersama warga, setelah di pastikan benar pak De gak ada, terlihat semua orang tampak lega. Hal yang aneh tentu saja, bagaimana orang bisa bersyukur saat ada yang

mati.

Terjadi perdebadan setelahnya.

Bu Lek meminta agar pak De langsung di kuburkan saat itu juga namun warga menolak, hujan deras masih terjadi. Sedangkan tanah kuburan akan di penuhi air dan lebih baik memang di lakukan esok hari, bu Lek akhirnya menyerah ia menatap dua keponakannya.

Warga meninggalkan rumah, bu Lek membawa Hanif dan isti ke kamarnya setelah mengunci pintu tempat pak De di baringkan.

Hujan deras masih turun. Hanif menatap kamarnya yang dulu. Rumah ini seharunya menjadi milik mereka bila saja bukan karena... Hanif terdiam, ia menoleh melihat Isti.

Rumah ini di buat dari bata lama, dengan di poles warna putih. Di sana- sini beberapa bagian temboknya sudah retak. Jarak antara lantai ke langit-langit cukup tinggi, lebih tinggi dari rumah pada umumnya. Alasannya karena semakin tinggi langit-langit hawa dingin rumah kian

terasa.



Setelah lelah mengamati bagian-bagian kamar yang sudah lama tidak mereka lihat, Hanif menuju kasur tempat Isti sedang melamun.

"Mikir opo Is?"

("Lagi mikirin apa?")

Isti seperti terkejut, ia menatap kakaknya seperti ingin mengatakan

sesuatu tapi dirinya ragu.

"Gak mbak"

("Tidak mbak") jawab Isti

"Yo wes, mbak turu sek yo. Ojok turu bengi-bengi"

("Ya sudah, mbak tidur dulu ya, jangan tidur malam-malam")

Hanif menutup mata, Isti masih seperti melamun.

Namun, belum lama Hanif memejamkan mata, Hanif tiba-tiba terbangun, di dalam kamar tiba-tiba terasa sangat dingin.

Hanif terbangun mencoba mencari selimut namun ia baru sadar, adiknya Isti tidak ada di sampingnya.

Hanif terhenyak sejenak, saat pintu kamarnya tiba-tiba berderit terbuka, Hanif menatap pintu itu. Terpikir di dalam kepalanya apakah adiknya pergi ke kamar mandi.

Hanif melangkah keluar kamar, ia berdiri sendirian di lorong. Setelah menatap ke kiri dan kanan, Hanif mendengar suara perempuan menangis. Suaranya familiar terdengar seperti suara bu Lek.

Hanif mulai berjalan pelan menuju sumber suara.

Aroma melati tercium begitu menyengat, dari telinga Hanif suara itu bersumber dari ruang tengah. Suara itu begitu menyayat, Hanif melangkah begitu pelan, dan di sana ia melihat bu Lek tengah duduk membelakanginya dengan daster putihnya. Ia tersedu-sedu sendirian di ruang tengah.

Kini Hanif berdiri di ujung lorong, batas antara ruang tengah. Hanif belum memanggil bu Lek.


Namun tiba-tiba suaranya yang manangis pilu tiba-tiba berganti menjadi suara tawa yang seperti orang sinting. Dan belum selesai sampai di situ Hanif melihat pemandangan lain dari ujung lorong.

Di ujung lain lorong perbatasan antara pintu pawon ("dapur"), Hanif melihat seorang nenek bungkuk dengan badan tengah menggendong bayi. la menggeleng pada Hanif yang membuat Hanif tersentak sebelum melihat ke kursi itu lagi, sosok itu lenyap begitu pula si nenek itu.

Namun, dari pintu tempat pak De di kunci, Hanif mendengar suara Isti seperti sedang mengobrol dengan seseorang.

Hanif pun mendekati pintu pak De, berusaha membukanya namun sayang pintu di kunci.

Kkarena suara itu benar-benar terdengar di telinga Hanif, ia mengintip dari lubang.

Di sana, pak De tengah duduk bersila dengan wajah pucatnya ia menatap ke tempat Hanif mengintip..., Di belakangnya, Isti sedang memijat badannya yang kurus kering.

Pak De melambaikan tangan seakan tahu keberadaan Hanif, ia memanggil-manggil Hanif.

Hanif terhenyak dari tempatnya, ia menggedor-gedor pintu itu seperti tengah kesetanan.

Mmendengar suara yang Hanif keluarkan tiba-tiba pintu kamar bu Lek terbuka, wanita paruh baya itu mendekati Hanif bertanya ada apa.

Hanif menunjuk pintu dan mengatakan Isti ada di dalam.

Kaget mendengar penuturan Hanif, bu lek mengeluarkan kunci dari kantongnya sebelum membuka pintu.

Pintu terbuka, di sana Hanif menyaksikan pak De masih terbujur kaku di atas tikar tenun, tak bergerak sama sekali.

Hanif menatap bu Lek berusaha menjelaskan namun bu Lek pucat.

Hanif menatap bu Lek yang seperti terpaku melihat ke atas, Hanif pun mengikuti namun di sana ia tak melihat apapun.

Namun bu Lek segera mengatasi situasi..., la menarik Hanif keluar dari kamar, sebelum mengunci pintu kamar.

Namun dari gelagat wajahnya, bu Lek masih melihat ke atas.


Bu Lek mangantarkan Hanif kembali ke kamar, di sana Isti tengah tidur di atas kasur.

"Iku adikmu"

("Itu adikmu") kata bu Lek,

Hanif hanya mematung memandang adiknya yang meringkuk sembari terlelap tidur.

Bu Lek pun pamit namun Hanif tiba-tiba bertanya.

"Onok opo mau nang dokor?"

("Ada apa tadi di atas?")

Bu Lek yang berniat pergi menatap Hanif terlebih dahulu sebelum mengatakannya sembari menoleh melihat kamar pak De.

Dengan gemetar bu Kek mengatakan,

"Onok bu De, gawe klambi putih, longgo nang pian"

("Ada bu De, lagi duduk di atas pian langit-langit")

Hanif terdiam mendengar itu,

"Tapi bu De kan minggat?"

("Tapi bu de kan kabur?")

Bu Lek mendekati Hanif sebelum berbisik,

"Wes wes, bu Lek kedelengen, pikiran bu Lek mumet, gak usah di pikirno, turu' ae yo nduk"

("Sudah sudah, bu Lek lagi banyak pikiran, gak fokus, tidur saja ya nak")

Hanif kembali ke tempatnya, setelah melihat Isti ia meringkuk sebelum ikut terlelap tidur.

Namun malam itu, rupanya masih belum di mulai.

Karena kejadian setelahnya, Sorop baru akan di mulai.

Pagi itu, ramai semua tetangga datang melayat pun dengan jenazah pak De yang sudah di sholati. Hanif sempat mencuri dengar bu Lek berbicara dengan seorang lelaki tua yang mengenakan baju putih dan mengenakan kopyah hitam. Mereka membahas perihal bagaimana rumah ini kedepannya.


Ada dialog yang membuat Hanif tertegun ketika mendengarnya saat bu Lek bertanya perihal rumah.

Benar.... Rumah ini memiliki sesuatu yang sepertinya memiliki hubungan antara dirinya dan seluruh anggota keluarganya.

"Ojok di dudui, menengo"

("Jangan di kasih tau. diam aja dulu")

Setidaknya hari itu berakhir. Langit sore lebih merah dari biasanya, sedang adzhan maghrib selesai berkumandang. Tak terlihat seperti mau gelap namun bisik orang-orang yang sudah berdatangan di rumah membuat Hanif dan Isti merasa tak nyaman. Mereka berbisik tentang Sorop.

Setiap kali Hanif bertanya perihal itu, bu Lek pasti mendesis seakan hal itu tabu untuk di bicarakan. Hanif dan Isti hanya saling melihat tak mengerti maksud orang-orang.

Sekarang.... Langit kemerahan itu sudah berganti menjadi kegelapan total. Isti mengamati sesuatu di luar rumah.

"Onok opo Is, kok ket mau nyawang cendelo?"

(Ada apa Is, kok dari tadi lihat jendela?) tanya Hanif pada adiknya yang usianya hanya terpaut 3 tahun darinya.

"Igak mbak, aku ketok-ketoken onok wong nang dalan ndelok'i omah e kene"

("Gak ada mbak, tadi aku mungkin salah lihat ada.... ada orang berdiri di jalan kayak sedang mengamati rumah kita")

Mendengar itu, Hanif ikut mengintip namun tak di dapati apapun selain pekarangan kosong dengan tumbuhan rimbun di sekitarnya.

"Gak onok Is"

("Gak ada Is")

Mereka segera menutup gorden jendela.

Setelah mengunci jendela, Isti dan Hanif tercekat melihat bu Lek sudah mengenakan jaket.

"Nduk, bu Lek mau pulang, wes gak popo kan?"

"Nak, bu Lek mau pulang, gak apa apa kan?")



Hanif dan Isti saling melihat, la bingung wajah bu Lek tampak

menyembunyikan sesuatu.

"Kok gopoh, gak mene tah?"

("Kok buru-buru, gak besok saja")

Bu Lek menggeleng mengatakan kalau esok dia akan kembali, lagipula belum selesai selepas hari ke tujuh kakaknya. Namun tetap saja, bu Lek tampak berbeda, tangannya seperti gemetar hebat. Hanif dan Isti tak kuasa mencegahnya. bu Lek pun pergi malam itu.

Sebelum bu Lek pergi, Hanif sebagai anak pertama di pasrahi kunci yang semuanya adalah kunci yang di butuhkan di rumah ini. Hanif sempat melihat mata bu Lek yang seperti menolak untuk melihatnya. Bu Lek hanya berpesan agar kamar tempat almarhum pak De lebih baik di biarkan saja kosong.

Bu Lek pun pergi. Hanif langsung mengunci pintu ketika ia berbalik Isti menatapnya kosong, ia mendekati Hanif sebelum berbisik.

"Mbak sampeyan yo ngerasakno ambek opo sing tak rasakno kan?"

("Mbak kamu juga merasakan sama seperti yang saya rasakan bukan perihal rumah ini?")

Hanif tak lantas berkomentar, la hanya diam meski kepalanya sedang mengingat kejadian pertama saat menginjak rumah ini..., Untuk apa Isti tiba-tiba bertanya perihal itu padahal ia tahu sendiri ini adalah rumah mereka dulu, saat bapak dan ibuk masih ada.

Tapi, Hanif ragu.

"Pawon e mbak gak kehalang lawang, iku gak apik, ket awal omah iki gak beres posisine, tekan teras mlaku lurus wes ketemu ambek pawon"

("Dapurnya mbak gak terhalang pintu, itu gak bagus, dari awal rumah ini sudah salah posisinya, bila dari teras hanya berjalan lurus sampai dapur")

Isti terdiam lama,

"Di tambah nang pawon onok si mbah"

("Di tambah di dapur ada si mbah")

Hanif tercekat saat mendengar Isti bilang itu.

"Opo is, koen ngomong opo"

("Apa is, kamu barusan bilang apa")



Isti menggeleng,

"Onok mbah nang pawon"

("Ada si mbah di dapur")

"Koen ngomong opo?"

("Kamu itu ngomong apa")

Isti menatap Hanif lantas meninggalkannya.

"Ibu yang dulu bilang, aku ambil kamar bapak ibuk ya mbak, mbak hanif ambil saja kamar kita"

Isti pergi setelah meminta satu kunci tempat kamar bu Lek yang dulu adalah kamar orang tua mereka.

Setelah Isti masuk ke kamarnya Hanif berjalan menuju kamarnya,

Posisi ketika ia berjalan menatap lurus menuju pawon ("dapur") hal yang membuat Hanif setuju bahwa tata letak posisi rumah ini sudah salah setidaknya harus ada pintu di sana.

Tepat ketika Hanif membuka handle pintu dari seberang kamar tempatnya yang adalah posisi kamar pak De, Hanif mendengar suara orang bersenandung. Senandung suara itu tampak familiar menyerupai bapak saat menina bobokkan Isti dulu. Hanif terdiam, ia menoleh melihat kamar pak De.

Hanif segera masuk ke kamar mencoba mengabaikan suara itu sembari ia menuju ranjang tempatnya tidur. Malam semakin larut, Hanif berbaring di ranjang setelah menutup tirai putih di sekitarnya. Entah sudah berapa lama ia masih terjaga karena sedari tadi Hanif merasa tidak tenang.

Dari luar suara binatang malam terdengar, Hanif melangkah turun setelah ia tidak sanggup menahan lagi keinginannya untuk buang hajat.

la membuka pintu, berdiam sebentar di sana namun suara senandung itu sudah tak terdengar lagi.

Hanif berjalan menuju pawon meski sempat berhenti di kamar Isti. Hanif ingin membangunkannya agar ada temannya bicara namun Hanif tak enak hati bila harus membangunkan adiknya. Ia pun melangkah ke sana sendirian.



Di pawon ada pintu belakang karena kamar mandi di rumah ini memang terpisah dengan bagian rumah. Hanif melihat ke sekeliling sebelum bergegas mengambil lampu petromaks yang tergantung di tiang pawon, Hanif membuka pintu belakang. Perasaan tidak enak itu mendadak kembali.

Benar saja. kondisi selepas hujan kemarin membuat tanah di belakang pawon berlumpur.

Kkadang Hanif tak habis pikir kenapa kamar mandi tidak di letakkan saja di dalam rumah agar ia tak kewalahan seperti ini namun pikirannya tiba-tiba teralihkan melihat pintu kamar mandi tertutup.

Hanif mengetuk pintu berpikir apakah ada orang di sana, hal yang sederhana bila tinggal di kampung seperti ini adalah membuka pintu kamar mandi bila tak ada orang di dalamnya karena memang kamar mandi seperti ini biasa di gunakan tetangga juga. Namun anehnya tak ada jawaban.

Hanif menggantung lampu petromaksnya masih berusaha mengetuk tapi tetap tak ada jawaban, namun sialnya pintu justru di kunci.

Kesal melihat itu, Hanif mengetuk semakin keras sampai akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya, dari dalam Isti melangkah keluar

"Sabar to mbak" ucap Isti

Hanif bernafas lega melihat adiknya, Isti lantas menyingkir dan membiarkan kakaknya masuk ia juga berpesan bahwa akan menunggu Hanif di sana.

"Masuk ae, tak enteni nang kene"

("Masuk saja tak tunggu di sini") ucap Isti,

Hanif mengangguk sebelum menutup pintu.

Di luar Hanif mendengar Isti bersenandung seperti senandung yang Hanif dengar, memang adiknya ini sangat suka bersenandung seperti ini saat sendirian. Hanif merasa tenang ia tidak sendirian saat ia sendiri sebenarnya merasa takut karena tepat di belakang kamar mandi adalah tulangan.

Ketika semakin lama, senandung Isti mulai menggema aneh di mana semakin lama ia seperti tersedu-sedu dan perlahan senandungnya terdengar seperti suara menangis namun begitu lirih.



"Isti"

Teriak Hanif dari dalam, suara itu masih terdengar lirih. Begitu

membuat Hanif bingung.

"Mbak iki omah kudu kene jogo yo"

(Mbak ini rumah harus kita jaga ya") ucap Isti menjawab panggilan Hanif namun suaranya masih bergetar,

"Mek petang puluh dino, ojok sampe metu teko omah iki"

("Hanya sampai empat puluh hari jangan sampai keluar dari rumah ini")

"Is, koen iku ngomong opo?"

("Is kamu ini ngomong apa?) tanya Hanif,

"Petang puluh dino mbak"

("Empat puluh hari mbak") jawab Isti.

"Is?"

"Petang puluh dino mbak"

Isti masih menjawab hal yang sama, yang semakin lama semakin keras dan menghentak.

"PETANG PULUH DINO MBAK!!"

Hanif yang merasa semakin aneh dengan adiknya lantas membuka pintu saat tidak menemukan adiknya di sana.

Hanif bergegas keluar menatap sekeliling kemana adiknya pergi saat tiba-tiba dari samping bilik Isti keluar sembari berteriak

"Petang puluh dino" dengan wajah melotot.

Hanif segera menarik adiknya masuk, sementara Isti masih berteriak hal yang sama terus menerus. Tepat saat di dalam pawon Isti menggeleng- geleng.

"Aku gorong oleh melbu mbak, aku gorong oleh melbu"

("Aku belum boleh masuk, belum boleh masuk") sembari menggaruk kulitnya yang memerah.

Melihat hal itu, Hanif pun semakin bingung dengan kondisi adiknya, lantas Hanif pun berlari. Ia berniat meminta bantuan tetangga namun saat melewati pintu kamar pak De, Hanif mendengar suara tertawa pak De yang dulu ketika bercanda bersama bapak.

Namun Hanif memilih mengabaikannya.

Tepat di luar pintu anehnya, sudah ada orang yang berdiri di sana mengenakan baju setelan putih dengan kopiah hitam yang berbicara dengan bu Lek tadi pagi.

Si lelaki tua itu seperti menunggu Hanif, tanpa membuang waktu Hanif menceritakan semuanya dan ia melangkah masuk ke rumah.

Beberapa kali lelaki itu menatap sekeliling rumah seakan ada yang ia lihat, terutama kamar pak De, lelaki itu sempat terdiam lama di depan pintu sebelum kembali berjalan menuju pawon. Ia meminta air putih sembari mengangkat tubuh Isti di atas bayang ("ranjang kayu")

Setelah meminumkan air putih Isti mulai tenang dan tidur. Sementara si lelaki tua itu berdiri sembari melihat-lihat isi rumah. la beberapa kali melihat ke tungku tempat biasa memasak dan sesekali menunduk. la juga menatap ke langit-langit sebelum menggeleng pada Hanif.

"Njenengan sing jenenge Hanif. Kulo Sugeng tonggone sampeyan"

("Anda yang namanya Hanif, saya pak Sugeng kebetulan saya tetangga anda") katanya,

"Wes suwe aku nyawang omah iki, tapi rupane kabehane tambah nemen"

("Sudah lama aku memperhatikan rumah ini tapi rupanya semakin lama semakin menjadi-jadi")

Pak Sugeng kemudian berjalan menelusuri ruangan demi ruangan, ia masih menggeleng,

"Nang kene wes akeh sing di kirim, Sorop' e iki wes kelewatan"

("Di sini sudah banyak sekali yang di kirim, kejadian Sorop ini sudah kelewatan") ucapnya.

"Sorop niku nopo pak?"

("Sorop itu apa pak?") tanya Hanif

"Sorop iku nek srengengeh wes mudun trus di ganteni ambek bengi, nah..., iku ngunu memedi nang omah iki tangi"

("Sorop itu ketika cahaya mulai tenggelam dan di gantikan oleh malam, saat itu makhluk dirumah ini bangun") pak Sugeng menatap kamar pak De,

"Isok di bukak gak iki?"

("Bisa di buka ini")


Pak Sugeng melangkah masuk ke kamar pak De, ia melihat ranjang kosong itu.

"Dadi omah iki iku di Sorop ambek wong sing kepingin koen ambek adikmu sing dadi hak waris iku urip loro"

("Jadi rumah ini di surup sama orang yang ingin kalian yang jadi hak waris jatuh sakit")

"Pak de mu mati gak wajar, nang lambene onok ali-ali sing sengojo gawe nyorop omah iki"

("Tau atau tidak, pak De mu meninggal secara tidak wajar, di dalam mulutnya di temukan cincin yang sengaja di pakai untuk surup rumah ini") pak Sugeng menatap Hanif mengajaknya keluar

"Trus yok nopo pak kulo kale adik"

("Lantas bagaimana saya dan adik saya")

Pak Sugeng menoleh,

"Gak popo, awakmu ambek adikmu kudu bertahan nang omah iki sampe petang puluh dino, sampek sing Sorop omah iki kenek ganjarane"

("Gak papa, kamu dan adikmu bertahan saja di rumah ini... Sampai empat puluh hari, biar yang surup rumah ini kena getahnya")

Pak Sugeng kembali ke pawon, ia mengamati Isti kembali, lantas berbicara pada Hanif,

"Adikmu opo gak nyepuro pak De mu?"

("Adikmu apa sudah memaafkan pak De mu dulu?")

Hanif menggeleng, ia tidak tahu.

Pak Sugeng tak butuh jawaban karena sepertinya ia sudah tahu apa yang terjadi.

"Aku sing ngongkon bu Lek mu moleh, soale pancen gak oleh onok sing melok-melok termasuk aku, tapi ilingo nduk, koen ambek adikmu isok ngelewati iki, dungo..., ngaji...., sembahyang yo nduk" ("Sebenarnya saya yang nyuruh bu Lek mu pulang, karena memang gak boleh ada yang ikut campur termasuk saya, tapi ingat nduk, kamu dan adikmu pasti bisa melewati, jangan lupa berdoa, mengaji dan shalat ya nak")



Pak Sugeng lantas kemudian melangkah keluar rumah di ikuti Hanif.

Hanif terhenyak saat ia tahu rupanya beberapa warga tengah berdiri di sekeliling rumah menatap mereka.

"Warga sini juga tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kami semua ndak bisa bantu karena ini menyangkut urusan keluarga yang belum selesai"

"Urusan keluarga sing gorong mari mbak?"

("Urusan keluarga yang belum selesai mbak?") tanya saya saat itu.

Mbak Hanif tampak melihat mbak Isti namun ekspresi muka mbah Isti tiba-tiba berubah, la menunduk menghindari tatapan mata saya. Di sini, mbak Hanif yang melanjutkan ceritanya.

"Opo sing gorong mok ceritakno nang aku Is, onok opo mbek pak De, mbek bu De, mbek omah iki, koen sempet nang kene sawise aku minggat?"

("Apa yang belum kamu ceritakan kepadaku Is, ada apa sama pak De, sama bu De, sama rumah ini, kamu kan sempat tinggal di sini setelah aku pergi")

Malam itu sunyi senyap, semua warga dan pak Sugeng sudah kembali ke rumahnya. Ada detail yang tidak dapat pak Sugeng katakan, beliau beralasan ini demi kebaikan bersama tetangga.

Hanif tahu ia tak akan bisa memaksa orang tua itu bicara, sehingga ia mengalihkan perhatian pada Isti.

Isti menatap Hanif, matanya tajam dengan bibir gemetar hebat, seakan ada sesuatu yang ingin ia keluarkan detik itu juga,

"Ben Sorop pak De.. pak De.." Isti tiba-tiba tergagak,

Bibirnya sukar di kendalikan, dan dengan sengaja tiba-tiba ia menghantamkan wajahnya tepat di kursi kayu.

Bibir Isti bengkak dengan hidung patah, la tiba-tiba berteriak histeris sembari menunjuk Hanif yang menatap adiknya kebingungan.

"Koen mbak sing terlibat, koen sing asline terlibat!!!!"

("Kamu yang sebenarnya terlibat, kamu yang terlibat!!!")



Hanif mendekati adiknya cepat-cepat.

Namun berbeda dari sebelumnya, Isti meronta meminta Hanif melepaskannya dengan suara serak ia berlari sebelum menutup pintunya.

Hanif mengikuti saat di ujung lorong pawon, sosok nenek yang menimang dengan sewek melihatnya lagi. Ia hanya sekelibat sebelum pergi.

"Is!! Is!!" teriak Hanif,

la terus menggedor-gedor pintu namun tak ada suara yang menjawab, ia tak mengerti maksud terakhir apa yang Isti maksud bahwa dirinya terlibat, terlibat apa?

Hanif meninggalkan kamar Isti menuju kamarnya sendiri, saat ia mendengar pintu kamar Isti terbuka.

Hanif melangkah masuk, ruangan kamar milik bapak ibuk benar-benar sama seperti saat terakhir Hanif meninggalkan rumah ini, terutama jendela tua yang langsung menghadap ladang dan di sana, Hanif melihat Isti berdiri menatap luar jendela.

"Koen lapo Is"

("Kamu ngapain is")

Isti menoleh melihat Hanif yang menatapnya dengan ekspresi bingung.

"Bapak ibuk teko mbak, iku awe awe.. Isti oleh melu bapak ibuk?"

("Bapak sama ibu datang mbak, dia melambai-lambai, Isti boleh ikut bapak sama ibuk?")

Mendengar itu Hanif lantas menarik Isti dan menutup jendela.

Sudah lama Hanif tak pernah memeluk Isti yang sedingin ini, ia membawa adiknya menjauh dari jendela, menidurkannya di atas kasur lapuk dan membelai rambutnya. Luka di wajahnya masih kentara.

Setelah yakin adiknya sudah benar-benar tidur, Hanif mendekati jendela itu.

Hanif mengintip dari celah jendela, tak ada yang aneh dari pengelihatannya sejauh ia menatap ladang yang ditumbuhi banyak pohon pisang.


Heran... Hanif menoleh pada Isti saat tiba-tiba ia tersentak meliat Isti tengah duduk menatap lurus kearahnya.

"Pak De ngelakoni poso Sorop kanggo sampeyan"

("Pak De menjalani puasa Sorop buat kamu mbak")

Setelah mengatakan itu. Jendela kamar tempat Hanif berdiri tiba-tiba di

hantam dengan keras, membuat Hanif terlonjak mundur.

"Pak De muleh mbak, pak De MULEH" ucap Isti.

("Pak De pulang mbak, pak De PULANG")

"Nom, sinom. bukak yo nduk lawange, pak De muleh. wes kuangen karo koen nom"

("Nom, sinom. bukak ya nduk pintunya, pak De pulang. kuangen sama kamu nom")

Hanif melihat Isti, mereka berdua tau. Siapa yang biasa di panggil sinom di rumah ini. Itu adalah panggilan pak De untuk dirinya.

"Ojok di bukak mbak. Ojok!!"

("Jangan di bukak mbak, jangan!!") ucap Isti, masih duduk ia

mencengkram tangan Hanif kuat kuat.

"Gendeng a koen, ra bakal tak bukak lah"

("Gila kamu!! gak bakalan ku buka lah")

Hening.... Hanif ikut duduk di samping Isti, mereka saling menatap ruangan itu.

Dari samping terdengar suara jendela yang terbuka, Isti dan Hanif saling menoleh sebelum satu di antara mereka melangkah turun.

"Ojok!!"

"Jangan!!" teriak Isti,

Namun Hanif mendekati perlahan.

memastikan bahwa seharusnya Hanif sudah menutupnya rapat-rapat.

Dilihatnya tak ada apapun di sana. Dengan perlahan Hanif menutup kembali jendela saat suara pintu kamar di belakangnya tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Saat itulah Isti dan Hanif melihat pak De tengah berdiri dengan keadaan tanpa busana sedikitpun.


"Pak De muleh yo sinom" ucapnya dengan kapas yang masih terpasang

di lubang hidungnya.


Desclaimer:

Cerita ini diambil dari pengalaman seorang perempuan bersama saudarinya,... Ia mengalami batas kengerian yang selama ini menjadi borok didalam keluarganya. Mereka tidak mengetahui hal ini, sampai akhirnya terbongkar semua bahwa ada sesuatu yang mendekam didalam rumah mereka.

Warning:

Bila saya luput dan teledor karena tidak sengaja menyebutkan clue tempat dan lain hal tolong disimpan untuk diri sendiri saja ya... Cerita ini sewaktu-waktu bisa saya hapus bila sudah dirasa tidak nyaman bagi saya sendiri,.. Ini bagian janji saya karena cerita ini sensitif.

Terakhir:

Kalian boleh membaca cerita ini dari awal lagi atau yang sebelumnya sudah pernah saya buat tapi tidak saya lanjutkan, bebas. Tinggal pilih.



Untuk pembuka cerita ini adalah narasi saya bersama kontributor saya sebelum mulai masuk ke inti cerita.



Waktu itu, hari sudah mulai petang,... Orang menyebutnya waktu SOROP (SURUP), sandikala berputarnya waktu dari siang ke malam, dari terang ke gelap dan pada jam-jam seperti itu sesuatu yang asing sedang merayap keluar. Waktu yang tepat menyembunyikan anak-anak dari sosok tak kasat mata.

"Kulo niki asline soko keluarga sing gak neko-neko... Bapak, Ibuk, pak De, bu Lek, si Mbah, kabeh wong apik, aku percoyo niku mas, tapi.."

("Saya ini sebenarnya berasal dari keluarga yang tidak macam-macam,.. Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Kakek semuanya orang baik mas, tapi...")

"Ncen, tekan garis keturunan mbah Nang niku pendatang sing kamudian rabi kale mbah dok, tiang jowo asli, usaha keluarga kulo niku berdagang.."

("Memang dari garis keturunan kakek,.. Beliau adalah pendatang yang kemudian menikah dengan nenek, asli jawa, usaha keluara itu

berdagang..")

"Gak onok sing aneh, gak onok,.. Sampe pak De gowo mantok mbak niku, mbak sing bakal dadi bu De kulo engken"

("Gak ada yang aneh, gak ada,.. Sampai pak De membawa perempuan itu, perempuan yang nanti jadi bu De saya")

Saat itu Hanif masih duduk di bangku SMP kelas 7,...

Setelah sholat bersama keluarga, mereka menuju ke pawon (dapur). Di sana ada meja makan tempat anggota keluarga berkumpul. Hanif menjadi yang terakhir datang namun, saat dia akan duduk, bapak melihat kearahnya.

"Nduk, pak De dereng mantok, tolong celuken bu De'mu ning kamar, wes wayae mangan, yo"

("Nak, pak De'mu belum pulang, tolong panggilkan bu De'mu, sudah waktunya untuk makan, ya...")

Hanif terdiam lama, ia seperti melamun namun kemudian gadis kecil ini mengangguk, berjalan, pergi.


Kamar pak De berada disisi kanan bila berjalan dari arah dapur. Langit sudah gelap terlihat dari celah-celah genting tua. Gadis kecil ini lagi-lagi melamun, ada perasaan ragu,.. Bagian yang paling tidak disukai dari rumah ini adalah kamar milik pak De, apalagi bila harus masuk.

Hanif sudah berdiri di muka pintu kayu,.. la terdiam di sana, memandang tuas pintu untuk beberapa saat, sebelum memberanikan

diri mengetuk,

"Tok tok tok"

Tak ada jawaban,

"Bu De, niki hanif, wayahe dahar"

(Bu De, ini Hanif, sudah waktunya untuk makan")

Masih tak ada jawaban,...

Mungkin bu De sedang tidur, pikir Hanif waktu itu.

Namun,.. Dari dalam ia mendengar nafas mendengus, seperti mengeram. Anehnya meski terdengar kasar namun sejatinya suara itu begitu halus, seperti masuk ke telinga dengan cara lembut. Hanif berhenti, ia lalu mendorong pintu perlahan.

Kamar bu De memang gelap, Hanif sudah hafal karena biasanya pak De yang menyalakan lampu.

Sudah lama ia ingin tahu kenapa Bu De suka sekali dengan keadaan kamar gelap gulita seperti ini, namun pertanyaan itu ia urungkan karena tak tahu harus bertanya kepada siapa.

Di sana, meski dalam keadaan gelap, ada sedikit cahaya dari lampu di luar yang masuk lewat jendela. Hanif melihat bu De sedang tidur namun kondisi tubuhnya ganjil, ia meringkuk seperti orang kedinginan disudut kasur kapuk. Hanif hanya diam, suara mengeram itu berasal dari sana.

Aroma lembab, dingin lantai tekel, bau apek dari debu,.. Hanif sangat membenci kamar ini, ia tak tahu alasan sebenarnya selain alasan- alasan tersebut. Namun kondisi di dalam kamar ini begitu mencekam, siapapun pasti merinding apalagi bila orang tahu seperti apa bu De itu..

"Bu De.. bu De.." panggil Hanif,

Kakinya berjalan sedikit demi sedikit mendekati kasur kapuk yang disangga dengan ranjang besi berkarat namun masih terlihat kokoh,.. Bu De masih meringkuk, mengeram persis seperti orang yang kedinginan. Hanif masih berusaha memanggil, pelan.. pelan.. pelan.


Tangan Hanif yang pendek berusaha menjangkau dan menyentuh

tubuh bu De yang ada disudut kasur, namun sayang sekali gadis itu tak bisa menjangkaunya kecuali ia ikut naik keatas kasur yang akan

menimbulkan suara berkrieet yang cukup keras. Ia tak mau menganggu bu De, namun,...

Dilain hal, ia harus mencari tahu apa yang terjadi dengan bibinya, apakah beliau sedang sakit, ataukah beliau sedang...

Hanif naik keatas kasur,..

Suara krieeet panjang terdengar, namun bu De seperti tak perduli, ia masih mengeram sendirian disudut.

Tangan kecil Hanif menyentuh punggung bu De, ada yang aneh,..

Saat Hanif menyentuh punggungnya,kulit yang terbungkus kain itu entah kenapa terasa begitu dingin. Hanif terdiam sejenak, sedangkan bu De, ia tiba-tiba tak lagi mengerang, tubuhnya diam tak bergerak, Hanif semakin merasa aneh.

"Bu De.. bapak, ngengken kulo"

("Bu De.. Bapak, menyuruh saya")

Bu De masih diam, diam seperti patung. Selang beberapa saat dia berniat membalik muka, tapi terdengar suara seperti orang sedang bergumam kesal, marah. Hanif tak bisa mendengar dengan jelas.

Hanif bergerak mundur, ia mulai merasa takut.

"Nduk, bu De isok jalok tolong"

("Nak bu De boleh minta tolong")

Hanif masih diam, suara bu De terdengar lain, samar-samar serak,.. Hanif tak menjawab.

"Nduk,.. Nyidek'o, gak usah wedi,.. Mrene"

("Nak,.. Mendekatlah, gak usah takut,.. Kesini")

Hanif yang mematung di atas kasur lalu tergiur,

Saat Hanif mulai merangkak di atas kasur mendekati bu De, tangan keriput yang sedari tadi hanya diam tiba-tiba mencengkram lengan Hanif,..

Tapi sebelum melihat wajah bu De, telapak tangan seseorang tiba-tiba menutup mata Hanif, ia menarik Hanif sebelum menggendongnya, menjauh..


Hal yang terjadi selanjutnya adalah Hanif melihat pak De menutup pintu kamar, ia bilang bu De sedang tidak enak badan jadi dia belum bisa bergabung dengan yang lain. Pak De meminta Hanif agar kembali dengan yang lain, sementara beliau sendiri kemudian masuk kedalam kamar.

Sesaat sebelum pintu tertutup Hanif bisa melihat wajah bu De dengan raut wajah keriput serta rambut panjang acak-acakannya melihat Hanif melotot namun ia tersenyum menyeringai, persis seperti wajah nenek- nenek di film-film setan, tapi Hanif tak pernah menceritakan kejadian ini.

Simpang siur tentang keanehan bu De sebenarnya tak hanya jadi perbincangan keluarga, tapi tetangga-tetangga desa.

Pernah ada dua orang warga yang saat itu sedang jaga malam,.. Saat melewati di area kuburan, mereka mengaku melihat seorang wanita bergaun putih berjalan sendirian. Takut terjadi hal-hal yang tak diinginkan, mereka mengikuti.

Kebetulan hari itu ada warga sepuh yang baru saja meninggal.

Entah bagaimana, di salah satu kuburan mereka menemukan wanita ini berjongkok, posenya terlihat seperti sedang berdoa. Merasa ada yang janggal mereka berjalan mendekat.

Menghindari kesalahpahaman dua orang warga ini sepakat berjalan pelan, berusaha tak menimbulkan suara sambil memutar agar bisa melihat siapa dan apa yang sedang dilakukan oleh seorang wanita malam-malam seperti ini.

Saat itulah mereka yakin bahwa wanita yang ada di kuburan adalah bu De.

Bu De sedang berjongkok, sedangkan kedua tangannya menjumput tanah kuburan lalu memasukkannya kedalam mulut, melahapnya seolah-olah itu adalah nasi putih diatas sebuah piring..

Sebenarnya semenjak cerita itu tersebar, banyak orang mengaku tidak percaya tapi sayang, lebih banyak orang yang percaya dengan cerita tersebut.

Hanif dan keluarga sendiri tak tahu harus bereaksi seperti apa, namun pak De mengatakan bahwa hal itu tidak benar, tidak sampai,.. perlahan- lahan semua mulai menyadari keanehannya.

Hanif, Isti, dan seluruh anggota keluarga sedang duduk, diatas meja makan, lauk dan nasi tersaji di hadapan mereka. Namun hanya bu De seorang yang melihat kami semua makan dengan ekspresi wajah kosong.


Nasi diatas piring tak disentuhnya sama sekali sampai menjadi dingin, meski begitu tak ada yang berani menegur bahkan pak De sendiri seolah-olah tak melihatnya. Hanif dan Isti beberapa kali mencuri-curi pandang, wajah wanita itu begitu kacau. la, tersenyum berkali-kali sendirian.

Di lain waktu, bu De sudah mulai mau melahap nasi meski caranya terlihat lebih aneh. Ia mencengkram nasi putih melahapnya ke mulut bulat-bulat seperti orang yang sudah lama tak pernah makan tanpa menyentuh lauk sedikitpun.

Malam itu,.. Hanif tahu, bapak dan ibuk sedang berbicara.

Mereka duduk di ruang tengah bersama pak De, membicarakan tentang rumor-rumor miring,..

Namun pak De bersikeras bahwa isterinya hanya sedang sakit karena usaha pak De yang baru saja bangkrut ditambah ia juga baru saja kehilangan jabang bayi. Ia meminta waktu setidaknya untuk sembuh. Namun puncak dari segala masalah ini adalah saat bapak dan ibuk menemukan bu De sedang merobek daging berwarna kemerahan dari perut seekor kucing malang di tengah-tengah lorong.

Waktu itu bapak dan ibuk sudah tidak bisa menahan ini lagi, bu De dan pak De harus pergi.

Namun siapa sangka keputusan ini justru menjadi titik awal cerita ini...

Karena semenjak pengusiran itu, rentetan kejadian ganjil seperti tak pernah berhenti muncul di dalam rumah kami ini..

Disinilah semua dimulai..

"Nduk, kamu ndak pulang tah?,.. Ndak kangen sama bu Lek?... Kabeh dolor sepakat, rumah kui iku hak warismu, muleho yo nduk, ben omah iki gak kosong"

("Nak, kamu gak pulang?,.. Gak kangen sama bibi?... Semua saudara kita sepakat, rumah ini adalah hak kalian, pulang ya nak... Biar rumah gak kosong")

"Kosong yo nopo to bulek, pak De kale bu De kan ten mriku?"

("Kosong bagaimana sih Bi, pak De dan bu De bukannya tinggal disitu")

Wanita diujung telepon berhenti sebentar, hening yang cukup lama sebelum ia berkata,


"Pak De baru saja gak ada"

"Gak ada yo opo?"

("Gak ada gimana maksudnya?") tanya Isti, disampingnya, duduk Hanif

yang tak kalah terkejut mendengarnya,

"Dowo ceritane, muleh dilek yo..."

("Panjang ceritanya, pulang dulu ya...")

Isti mematikan telephone, melihat kakaknya yang menunggu jawaban,

"Pak De pejah, bu Lek kepingin kene mantok mbak"

("Pak De meninggal, bu Lek mau kita pulang mbak?")

Hanif terdiam sebentar,

"Bu De minggat, jare onok masalah nang omah... Pak De nyelok jeneng'e kene mbak sak durunge gak onok"

("Bu De pergi, katanya ada masalah di rumah... Pak De terus memanggil-manggil nama kita sebelum dia gak ada")

"Tenan tah?"

("Beneran tah?")

Isti mengangguk,

Buta dengan apa yang sedang terjadi, hari itu juga Hanif bersama adiknya Isti menuju ke stasiun, mereka harus pulang. Namun tak menampik bahwa Hanif merasakan firasat yang buruk.

la tak bercerita kepada Isti bahwa semalam ia bermimpi, ia melihat Pak De melambai-lambaikan tangannya.

Konon itu disebut dengan wangkrung,.. Sebuah mimpi dimana kita dipertemukan oleh orang yang kita rindukan. Konon bila kita datang ke tempat orang yang melambai-lambaikan tangan padahal dia sudah meninggal, kita juga akan mati di dalam tidur kita. Orang jawa jaman dulu sering menemui hal seperti ini.

Masalahnya Hanif baru tahu bila Pak De kabarnya sudah meninggal.

Meski dalam harapan Hanif, bu Lek cuma berbohong agar mereka pulang. Bagaimanapun setelah apa yang terjadi Hanif masih merasa yakin bahwa Pak De orang yang baik.

Ibuk dulu sering bercerita sebelum beliau kehilangan isteri pertamanya ia adalah lelaki yang selalu membantu menggendong Hanif saat masih kecil di bawah pohon jambu tepat di depan rumah, namun Hanif juga tidak akan bisa lupa kejadian Sorop saat hal itu terjadi dan menimpa ibunya..



Waktu itu sebelum maghrib ibuk ada di dapur, ia sedang menanak nasi di depan tungku saat seorang nenek tua melintas di belakangnya.

Ibuk tak bisa melihatnya namun bisa merasakan kehadirannya.

Sosoknya bersanggul dengan badan bungkuk, mengenakan jarik ia senang berada di sekitar dapur. Ibu sudah terbiasa dengan kehadirannya namun Sorop itu berbeda, ia merasa nenek tua itu memandanginya dari sudut dapur di samping tumpukan kayu bakar.

Aneh, tak biasanya ia seperti itu,..

Tak hanya itu, nasi yang seharusnya sudah matang tak kunjung tanak, sebaliknya nasi itu berbau bangkai. Hal yang membuat ibu sontak muntah-muntah, sampai akhirnya ia tak sanggup menahan rasa sakit ketika dari dalam tenggorokannya keluar tanah hitam beraroma busuk. Setelah kejadian itu hal buruk seperti silih berganti datang masuk kedalam kediaman ini.

Ibuk yang hanya bisa terbaring di atas kasur mulai merasa bahwa ada sesuatu yang begitu hitam tinggal di rumah ini,.. la sekali lagi tak bisa melihatnya, tapi bisa merasakannya.

Hanif sedang tidur saat ia mencium aroma wangi, ia tak tahu darimana asalnya. Namun ada belaian tangan dingin membelai-belai rambutnya, Isti tidur di sisi lain. Saat Hanif mulai sadar dan mencoba melihat siapa yang ada di sampingnya, ia tak menemukan siapapun.

Disitulah lalu terdengar ibunya menjerit, membuat seisi rumah gaduh,.. Hanif turun bersama dengan adiknya melintas ke kamar orang tua tempat dimana bapak sedang duduk dan menahan kedua tangan ibuk, sedangkan di bawah kaki mereka terlihat rambut menjuntai berjatuhan dengan darah.

Hanif tak akan bisa melupakan wajah ibuk yang melotot melihat bapak yang beristighfar sambil terus menahan kedua tangan. Ibuk mengeram, menjerit, lalu berkata,

"IKI NGUNU GUK OMAHE KENE, MINGGAT KOEN!!"

("RUMAH INI BUKAN MILIK KITA, PERGI SANA!!")

Tak lama ia menggigit leher bapak, merobek daging di pundak membuat bapak menjerit dan melepaskan pegangannya. Sementara sobekan daging yang tipis itu dikunyah bulat-bulat sebelum ibuk menelannya dan lalu memuntahkannya.


Malam itu ibu terlihat seperti orang sinting.

Bapak akhirnya memanggil teman baiknya yang bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang. Saat beliau masuk ke kamar ibuk, lelaki paruh baya itu tak henti-henti menatap ke langit- langit sambil sesekali seperti membaca sesuatu. Namun yang paling membuat Hanif penasaran adalah ketika ia berkata,

"Omah iki gak bener, pelan-pelan tambah akeh dayo'ne,.. Onok sing tau poso Sorop ya nang kene?"

("Rumah ini tidak benar, perlahan-perlahan semakin banyak tamunya... ada yang pernah puasa Surup ya disini?")

Hanif yang meskipun masih kecil ia bisa menangkap raut wajah bapak yang berubah, sembari menyisir rambut ibu yang hanya bisa menangis ditemani oleh Isti. Bapak menarik lengan temannya, lalu mengajak dia bicara empat mata. Bapak menyembunyikan sesuatu,..

Tak lama lelaki paruh baya itu menuju kamar Pak De, belum juga pintu itu terbuka si lelaki langsung menutup hidung. Ia lalu masuk, dibantu oleh bapak mereka menjungkirbalikkan ranjang tempat pak De dan bu De dulu tidur. Di sana mereka mencungkil satu persatu keramik yang ada dibawah.

Mereka meletakkan sesuatu sebelum menguburnya lagi,.. Si lelaki lalu mendekat ketempat ibu, ia hanya memberi doa setelah itu beliau pergi.

Konon, Hanif mulai merasa ada yang aneh, saat menjelang maghrib bapak akan masuk ke kamar pak De dan menguncinya, tak membiarkan siapapun masuk.

Hal ini terus berlanjut selama berhari-hari... Semakin lama kondisi ibuk semakin membaik, beliau mulai bisa berjalan meski tak bisa lama- lama. Sebaliknya, kondisi bapak semakin kurus dengan mata yang terlihat lelah.

Hanif dan Isti yang penasaran berniat untuk melihat apa yang terjadi.

Dari lubang kunci, Hanif yang tahu bapak baru saja masuk ke kamar pak De lantas mulai mengintip,..

Di sana ia melihat bapak sedang berdiri membelakangi pintu, menatap kearah jendela yang juga terkunci dengan gorden berwana putih, tak tahu apa yang sedang dilakukan bapak.

Kemudian bapak mulai menggoyangkan badan serta kedua kakinya seakan-akan sedang menimang bayi. Hanif tercekat tak mengerti, sebelum Hanif sadar di sekeliling bapak di penuhi oleh sosok tak di kenal, terutama sosok mata wanita tua yang kemudian memandang Hanif dari lubang kunci.


Sejak saat itu, tak ada lagi hal yang menganggu ibu, namun ini hanya

bertahan sementara. Karena selang beberapa waktu kemudian Pak De datang lagi ke rumah ini bersama dengan isterinya.


Saat itu, Hanif masih terlalu kecil untuk tahu urusan orang dewasa. Bapak memerintahkan Hanif agar mengajak Isti masuk bersamanya, meski di dalam hati anak kecil itu rasa penasaran atas apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah ini menyeruak naik.

Namun Hanif tidak dapat melakukan apa-apa selain menurut kepada bapak, apalagi saat itu Hanif melihat kilatan mata bapak, ia seperti marah. Rasanya bagi Hanif sendiri ini adalah kali pertama ia melihat bapak bersikap seperti itu, apalagi di depan saudara kandungnya sendiri.

Namun bukan Hanif bila tidak bersikap sedikit nakal, dari balik sebuah tirai yang tidak jauh dari dari sudut kiri lorong, Hanif berusaha

menguping.

Isti, adiknya, mencoba mengingatkan bahwa apa yang mereka lakukan terlalu berbahaya. Namun, Hanif, ia abai dengan peringatan adiknya.

Berkali-kali Isti memperingatkan bahwa ia merasakan firasat tidak enak. Isti menarik-narik baju-kakaknya.

Sesekali ia kembali mencoba mengingatkan agar lebih baik mereka tidak ikut campur dengan semua ini. Namun, Hanif sudah dirundung rasa penasaran yang tak bisa dibendung lagi.

Di titik terjauh dari posisi kedua orang tua yang sedang duduk membicarakan sesuatu, dua anak kecil ini berusaha mendengar apa yang sebenarnya sedang dibicarakan oleh Bapak, Ibuk, pak De dan bu

De.

Ada satu hal ganjil, dimana hari ini bu De tak terlihat seperti biasanya.

Bu De yang dikenal oleh orang sebagai pribadi yang tertutup dan sangat penyendiri tampak berbeda.

Beberapa kali Hanif mendengar beliau berbicara, tampak normal, walau sebenarnya hal seperti ini justru membuat bu De terlihat tidak normal.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan perempuan ini?

Dari sudut tempat Hanif dan Isti berdiri,.. la, bisa melihat wajah pak De yang menatap lurus, kemungkinan sedang melihat Bapak yang ada didepannya. Disamping kiri-nya bu De juga melakukan hal yang sama, wajah mereka terlihat serius bercakap-cakap. Sayang, tidak ada yang bisa didengar.

Posisi Hanif dan Isti tidak memungkinkan untuk bisa mendengar

dengan jelas. Kecuali, mereka mau melangkah sedikit lagi kedepan.



Namun bila itu dilakukan, bapak pasti akan tahu, ia akan marah besar. Terpaksa Hanif hanya bisa mengira apa yang sedang mereka bicarakan dari bahasa bibir.

Dan di-sinilah hal yang mengejutkan terjadi,..

Sesaat entah bagaimana hal itu terjadi, di tengah-tengah keseriusan Hanif melihat bibir pak De,.. Tiba-tiba, kepala bu De menoleh, bergerak pelan sebelum menatap Hanif dengan sorot mata melotot, ada senyuman aneh yang membuat gadis kecil ini merinding dibuatnya.

Bu De tersenyum, meski hanya sedikit sekali namun Hanif bisa merasa ketakutan, ketakutan yang tak bisa ditulis oleh kata-kata.

Perempuan itu sungguh menakutkan.

Lama setelah waktu bergulir, terdengar suara gebrakan di meja diikuti oleh suara bapak yang berteriak-teriak keras. Hanif dan Isti merasa kalut karena terkejut sementara di luar rumah mulai ramai tetangga berkumpul, mereka semua ingin tahu sembari mengamati situasi.

Tak beberapa lama, pak De keluar dengan isterinya. Mereka diusir dari dalam rumah oleh bapak, ibuk sampai menahan tubuh bapak agar tak terjadi kontak fisik, lagi-lagi tak pernah Hanif melihat bapak sampai sejauh ini.

Pak De pergi bersama bu De... Mereka meninggalkan tempat ini dengan sebuah mobil hitam mewah, mobil yang entah didapatkan dari mana.

Kepergian pak De dengan bu De benar-benar membuat Hanif merasa lemas, ia takut sesuatu terjadi. Mata bu De tak berhenti melotot pada bapak dan ibuk.

Di luar Langit sudah mulai gelap, dari jauh terdengar sayup-sayup suara adzhan maghrib berkumandang...

Hanif menanggalkan pakaiannya, meletakannya di sebuah paku yang timbul di kamar mandi kayu, tangannya menyentuh dinginnya air di dalam bak batu-bata, ia meraih gayung sebelum mulai membasuh perlahan tubuhnya dari ujung rambut sampai ke mata kaki.

Dingin,... Tiba-tiba sesaat gadis itu terlonjak karena merasakan sesuatu di belakangnya, sesuatu yang terasa seperti ada seseorang sedang

bernafas.

Hembusannya begitu terasa sampai menyentuh kulit leher Hanif. Dengan cepat gadis kecil itu langsung berbalik melihat ke sekeliling kamar mandi, namun dirinya tak menemukan siapapun kecuali dirinya seorang diri. Tak mungkin ada orang lain, pikirnya saat itu.


Hanif kembali menggayung air membasuh tubuhnya lagi namun

perasaan itu muncul lagi. Semakin lama semakin kuat, perasaan tak nyaman seperti sedang diamati oleh seseorang.

Setiap guyuran air yang membasuh wajahnya, tiba-tiba tersirat sesaat di dalam isi kepalanya.

Bayangan wajah tua,..

Sosok wajah tua berambut keriting panjang... la tersenyum lebih terlihat seperti menyeringai, bola matanya hitam, dengan kulit keriput ia berdiri tepat di belakang Hanif persis, seperti sedang membaui rambutnya.

Hanif berhenti, ia ingin menoleh namun wajah itu menempel di kepalanya.

Gadis itu seketika berniat pergi dari kamar mandi dengan perasaan ngeri,.. Saat ia membuka pintu tiba-tiba Hanif tercekat melihat Isti adiknya berdiri tepat di muka pintu. la melihat Hanif lalu bertanya kenapa wajahnya terlihat pucat, Hanif menggeleng, ia tak mau menceritakan ini.

Isti kemudian melewati Hanif sebelum menutup pintu kamar mandi.

Jarak kamar mandi dengan rumah memang terpisah beberapa langkah, Hanif masuk kedalam rumah melalui pintu Pawon (dapur) sebelum berjalan menuju kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat kamar ibuk..

Di sana, Hanif melihat ibuk sedang duduk bersimpuh dengan meja kayu kecil tepat disampingnya ada Isti sedang sibuk menulis. Tak beberapa lama wajah ibuk menoleh melihat Hanif begitu pula dengan Isti yang seperti penasaran kenapa kakaknya hanya berdiri dan menatap mereka seperti itu.

Kata orang jangan pernah mandi di saat-saat menjelang maghrib, konon hal itu adalah perbuatan pamali. Hanif tak berkata apa-apa lagi, ia pergi ke kamar mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.

Meski tak bisa diterima oleh akal ia yakin seribu yakin bahwa yang ia lihat tadi di kamar mandi adalah adiknya Isti.

Sebuah sepeda motor bebek baru saja tiba... Seseorang lelaki yang tempo hari datang lagi ke rumah ini.

la membawa sesuatu seperti kain yang menyerupai sajadah, entah apa itu sebenarnya ia memberikannya kepada bapak sambil berkata sesuatu seperti,


"SOROP' e kudu di resik'i"

("SOROP'nya harus di bersihkan")

Dari kamar, diam-diam Hanif mengamati...


Lelaki itu masuk kembali ke bekas kamar pak De dulu, menutupnya seperti biasa. Setiap Hanif melihat hal itu ibuk lalu mengingatkannya agar tidak ikut campur. Hanif mencoba mencaritahu dari ibuk namun sayang sekali nampaknya beliau tak mau.

Setelah itu, bapak dan lelaki itu berbicara di ruang tengah,.. Gumaman suara mereka terdengar, tampak begitu serius. Kemudian bapak memanggil ibuk diikuti oleh Hanif dan Isti, di sana bapak kembali bertanya...

"Gak popo tah kabeh eroh?"

("Apa tidak apa-apa kalau semua tahu?")

Lelaki itu mengangguk.

"Luweh apik kabeh eroh, ben gak onok sing disembunyino maneh"

("Lebih baik memang kalau semua orang tahu, biar tidak ada yang disembunyikan lagi")

Bapak mengangguk, lalu menyuruh semua untuk duduk, disana-bapak lalu berkata,

"Omah kene di iseni ambek bu De"

("Rumah ini di pagari sama bu De")

Hanif tentu saja tidak mengerti... Ibuk berusaha membantu menjelaskan namun Hanif dan Isti masih tak mengerti.

Saat itulah kain atau sajadah berwarna kemerahan itu akhirnya di buka oleh si lelaki, di dalamnya ada segumpal rambut yang begitu banyak, semua rambut itu milik bu De.

"Mene omah'e di resiki ambek mas iki, mbak ambek adik melu bapak yo nang omahe bu Lek dilek, mek sedino tok"

("Besok rumahnya kita di bersihkan sama Masnya ini, mbak sama adik nanti ikut bapak tinggal di rumah bu Lek dulu, hanya satu hari")

Hanif masih terlihat bingung, ibuk memeluk Hanif.

Setelah dijelaskan berkali-kali Hanif baru mengerti meski ia masih belum paham tentang bu De dan apa yang dia lakukan di rumah ini. la hanya tahu, rumah ini sedang berada di dalam suasana yang tidak mengenakan dan orang ini akan membersihkannya.

Lelaki itu berdiri, bersalaman.

la berkata besok akan kembali ke tempat ini dengan teman-temannya. la menitipkan kain sajadah berisikan rambut itu kepada bapak, agar menyimpannya di kamar saja. Jangan sampai hilang karena bagian itu adalah bagian terpenting untuk membersihkan.

Bapak mengangguk...

Lelaki itu pergi.

la mengenakan helm, lalu menyalakan motor dan perlahan cahaya lampu itu mulai hilang. Bapak mengajak Hanif dan yang lain masuk kemudian mengunci pintu.

Malam ini angin berhembus lebih dingin dari biasanya, entah kenapa Hanif merasa tak nyaman dengan suasana seperti ini..

"Mbak ojok lali cendelone di kunci"

("mbak jangan lupa jendelanya di kunci)" kata Isti dari atas kasur kapuk,

Hanif segera menutup jendela lalu berjalan menuju kasur kapuk yang sama. Mereka berniat tidur namun baru saja Hanif memejamkan mata ia mendengar suara krieek,...

Suara jendela.

Hanif menoleh melihat daun jendela yang tadi yakin sudah ia kunci tampak terbuka dengan kelambu transparan melambai-lambai tertiup angin dari luar. Hanif berdiri, ia melihat adiknya Isti sepertinya sudah terlelap di dalam tidurnya.

Mungkin kuncinya sudah aus, pikir Hanif saat itu.

Saat-saat Hanif berjalan di atas dinginnya ubin lagi-lagi terdengar suara berkrieet panjang, kali ini dari pintu almari.

Hanif terdiam sesaat, matanya tertuju pada gelapnya isi dalam almari sebelum ia merasa bayangan hitam melintasi jendela, Hanif menoleh namun tak melihat apapun.

Hanif buru-buru menarik daun jendela, mengunci angselnya dengan benar lalu bersiap kembali keatas kasur kapuk bersama dengan adiknya Isti.

Namun tiba-tiba terdengar suara familiar yang ia yakin pernah dengar, seperti,..

"Nak, tolooooong!! Nak tolong" Hanif menoleh ke jendela,

Di sana ada sepasang tangan menempel di kaca.

Hanif yang sempat terdiam beberapa detik mencoba mengendalikan situasi, ia ingin lari namun tubuhnya membeku. Gadis itu akhirnya hanya bisa terpaku memandang ke jendela sebelum wajah gelap itu menempel dan memohon dengan keras, "TOLONG"

Siapa sangka, akibat sentakan yang mengejutkan seperti itu justru membuat Hanif sadar, ia akhirnya bisa berlari menjauh dari tempat itu lari tungang langang ke atas kasur kapuk sampai membuat adiknya Isti terbangun dan menyadari bahwa kakaknya gemetar dengan wajah ketakutan.

Isti bertanya apa yang sedang terjadi,.. Hanif masih terlihat shock sebelum Isti menyadari bahwa daun jendela belum di tutup sama sekali.

Gadis kecil itu lalu turun melangkah ke tempat itu sebelum menutup dan mengunci angselnya, tak ada apapun, tak ada siapapun, namun,.....

Hanif merasa bahwa ia mengenali suara itu namun anehnya ia tak tahu siapa pemilik suara itu. Aneh....

Isti yang tidak mendapat jawaban dari Hanif tentang apa yang membuat kakaknya seperti ini memilih kembali untuk tidur, sebelum terdengar suara ketukan di pintu yang sangat keras.

Tak hanya Hanif dan Isti yang saling menatap satu sama lain namun terdengar langkah kaki cepat.

Bayangan bapak dan ibuk melintas di bawah pintu, membuat dua adik kakak itu ikut keluar, siapa tamu yang datang di malam-malam buta seperti ini.

Di sana, berdiri lelaki teman bapak. Ia berdiri di muka pintu masih mengenakan helm, terjadi percakapan diantara mereka,

"Iyo mas, kudu tak gowo sak iki"

("lya mas harus kubawa sekarang")

"Iyo-iyo sek"

("lya-iya sebentar") kata bapak sembari melangkah masuk kedalam rumah.

"Monggo pinarak"

("Mari masuk dulu") kata ibuk,


Namun lelaki itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, wajahnya datar saja. Setelah itu, ia memilih berdiri di depan pintu, Hanif tertuju melihatnya, entah kenapa ia melihat wajah lelaki itu sedikit pucat.

Hanif terus melihat lelaki itu sampai akhirnya ia sadar ada gadis kecil sedang memandanginya, ia menoleh terseyum kepada Hanif.

Tak lama, bapak keluar dengan membawa kain sajadah yang sudah dilipat tempat menyimpan gumpalan rambut tersebut, ia menyerahkan benda itu kepada si lelaki.

"Yo wes aku pamit, mengko mene aku balik"

("lya sudah aku pergi dulu, besok aku kembali") kata si lelaki menuju motornya,

Bapak mengangguk, tak lama lelaki itu sudah pergi meninggalkan rumah.

Bapak lalu menutup pintu mengajak yang lain masuk,.. Namun, Hanif masih merasa janggal.

Keesokan paginya, bapak sedang duduk di kursi kayu teras, tiba-tiba seseorang datang dengan motor.

Salah satu teman pabrik bapak yang lain, ia berhenti di depan rumah. Lalu buru-buru menemui bapak, dengan suara tinggi ia mengabarkan,

"Edi mas,.. Edi, mati dilindes Truk mambengi"

("Edi mas,.. Edi, meninggal dilindas Truk tadi malam")

Saat itu Hanif yang mendengarnya lantas tiba-tiba menjadi ingat, suara tolong yang ia dengar semalam rupanya sama persis seperti suara temen bapak, mas Edi.

Jadi yang di jendela dan datang ke rumahnya apa itu benar-benar mas Edi?

Apakah itu sebelum beliau kecelakaan?

Bapak langsung memberondong pertanyaan kapan itu terjadi,..

"Jam 8 malam mas, di samping rumah sakit K******I,.. Nyawanya gak ketolong, kepalanya pecah, sampai otaknya tercecer"

Hanif masih mencuri dengar,... Namun, bapak mendelik seperti menolak semua ini,

"Tapi membengi areke mrene!"

(Tapi tadi malam anaknya kemari")


Bapak langsung memberondong pertanyaan kapan itu terjadi,

"Jam 8 malam mas, di samping rumah sakit K******I, nyawanya gak ketolong, kepalanya pecah, sampai otaknya tercecer"

Hanif masih mencuri dengar,... Namun, bapak mendelik seperti

menolak semua ini,

"Tapi membengi areke mrene"

("Tapi semalam orangnya kesini")

Mendengar kalimat itu, si lelaki melihat bapak dengan ekspresi wajah tak yakin, seakan apa yang baru saja bapak katakan adalah hal yang mustahil. Hal ini juga yang dirasakan oleh semua orang yang ada disini, mereka saksi bahwa Edi sempat kembali ke rumah ini.

Siang itu juga, seluruh keluarga Hanif pergi melayat ke tempat mas Edi. Di dalam hati setiap orang pasti masih bertanya-tanya, bila memang mas Edi meninggal dengan cara tragis seperti itu, lalu siapa yang datang, untuk apa ia meminta kain berisikan rambut milik bu De?.

Menempuh jarak yang cukup jauh dari rumah, sampailah Hanif sekeluarga di sebuah rumah tua, tak lebih besar dari rumah miliknya, rumah milik mas Edi.

Di sana, Hanif melihat kerumunan bapak-bapak sedang berkumpul mempersiapkan pemakaman, terdengar riuk peluk batang bambu dipukul.

Entah hanya perasaan Hanif kecil saja atau memang semua orang disini sedang memandang mereka dengan sorot mata sinis.

Bapak berjalan di depan, ia menuju ke pintu rumah dimana di teras terlihat tengah berkumpul perempuan. Mereka sedang duduk di teras dengan suara isak tangis kecil.

Seorang perempuan muda menangis dan menarik perhatian Hanif sekeluarga, usianya berkisar dua puluhan, masih sepantaran dengan mas Edi. Begitu ia sadar dan melihat kedatangan Hanif sekeluarga, sorot matanya berubah,.. Ada kemarahan, kebencian yang semuanya campur aduk.

la berdiri sebelum berlari seakan mau menerjang tubuh bapak bila saja tidak direngkuh oleh tangan kurus seorang wanita tua berambut panjang. Wanita tua itu memekik meminta perempuan itu berhenti, suaranya berat dengan wajah keriput serta rambut putih beruban. la memandang Bapak.


Wanita tua itu adalah ibunda dari mas Edi, sedangkan perempuan muda itu adalah calon isteri mas Edi bila saja anak itu tak menemui ajalnya lebih dulu.

Ibu mas Edi mengajak Hanif sekeluarga untuk bicara di dapur, katanya ada yang mau dibicarakan, wajahnya terlihat serius.

Hanif dan Isti duduk dipangkuan ibu, tak jauh dari tempatnya bapak duduk sedang menatap ibunda mas Edi yang seperti sedang melamun, menerawang jauh,... Lama mereka hanya saling diam tiba-tiba ibunda dari mas Edi mentakannya.

"Wes suwe ra onok uwong sing sanggup poso Sorop"

("Sudah lama tidak ada manusia yang sanggup puasa Sorop")

Ibunda mas Edi lalu bertanya, suaranya terdengar putus asa,

"Sak iki ceritakno opo onok sing gurung tak erohi, soale Edi iku amanah"

("Sekarang ceritakan apa ada yang belum ku ketahui karena Edi itu bisa menjaga amanah")

Hanif bisa melihat perubahan di wajah bapak, ia melihat kearah ibuk yang mungkin sebenarnya melihat kearah Hanif dan Isti. Lalu setelah mengangguk sendiri, bapak membisikkan sesuatu kepada ibunda mas Edi, persis seperti apa yang bapak lakukan kepada mas Edi.

Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh bapak?.

Hanif tak pernah tahu, seakan-akan hal ini tak boleh diketahui oleh sembarang orang.

Lantas apakah anaknya sendiri belum cukup pantas untuk tahu. Entahlah,...

Waktu itu, bapak pasti punya alasan sendiri kenapa ia memilih menyembunyikan.

Setelah berbicara satu sama lain,.. Kali ini, suara ibunda mas Edi terdengar lebih pelan.

Beliau lalu mengajak bapak masuk ke rumah, ibu memegang tangan Hanif dan Isti kuat-kuat terutama ketika di ruang tengah yang tak terlalu besar itu, terbujur seseorang yang di tutup oleh kain jarik.

Hanya bapak yang ada di ruang tengah bersama dengan ibunda mas Edi.


Dari pintu dapur itu,.. Hanif, memandang saat kain jarik itu di buka oleh bapak. Wajahnya seketika pucat dan beberapa kali ia membuang muka, sepertinya wajah mas Edi tak bisa dijelaskan lagi dengan kata-kata.

Matahari sudah lewat diambang batas tengah, rombongan yang mengantarkan mas Edi ke tempat peristirahatan terakhirnya baru saja selesai menunaikan tugasnya.

Sebelum bapak pergi pamit, ibunda mas Edi mengatakannya,

"Tak warahno sek, Edi pasti nduwe alasan nolong kowe"

("Biar kuberitahu dulu mereka, Edi pasti punyaalasan mau menolong kamu")

"Engkok tak kabari yo"

("Nanti ku beri kabar ya")

Bapak beserta sekeluarga lalu pergi, ada getir yang harus mereka bawa terutama saat melihat pintu rumah tempat mas Edi menggedor-gedor di malam itu.

Adzhan maghrib terdengar berkumandang saat bapak mengunci pintu kamar pak De dengan gembok berukuran kepalan tangan beserta rantai usang berkarat.

Aneh,.. Pikir Hanif saat melihatnya, apa yang sebenarnya bapak sedang lakukan dengan kamar itu.

Tak lama bapak pergi berpamitan kepada ibu, ia akan menghadiri tujuh hari kematian mas Edi yang dimulai malam ini selepas maghrib. Ibuk mengangguk,...

Suara motor bapak terlihat menyusuri jalan setapak setelah keluar dari pagar, sebelum menghilang dari pemandangan.

Disaat ibuk sedang duduk dan melihat Hanif serta Isti mulai menata rapi buku-buku sekolahnya di meja kecil kamar,... Tiba-tiba ibu teringat bahwa malam ini ia harus menghadiri rumah bu Minah tetangganya. la menatap Hanif lalu memintanya untuk menjaga rumah sebentar, sementara ibu pergi bersama dengan Isti.

Hanif mengangguk, lalu melihat ibuk berjalan keluar kamar sebelum menutup pintu, suara langkahnya terdengar mengambang sebelum perlahan mulai lenyap. Hanif kembali menatap buku di hadapannya, seorang diri.

Di dalam kamar ibuk, tak terdengar suara apapun kecuali goresan pensil diatas kertas,..

Sampai...

Suara kecepak saat seeorang melangkah di atas lantai ubin mulai terdengar, caranya berjalan persis seperti saat ibuk berjalan..

Semakin lama, semakin terdengar jelas..

Hanif berhenti sebentar, matanya menatap kearah pintu kamar yang tertutup, menunggu langkah kaki itu yang mungkin sebentar lagi tiba di depan pintu, ibuk pasti sudah kembali.

Namun,.. Anehnya, saat langkah kaki itu seharusnya sudah tiba di sana, tak ada seorangpun yang membukanya.

Di dalam adat jawa ada sebuah larangan mendasar kenapa rumah tak boleh memiliki lorong lurus dari arah ruang tengah kearah dapur karena tidak ada yang tahu apa saja yang bisa serta merta melewatinya. Hanif merasa, siapapun yang baru saja terdengar berjalan di lorong rumah ini,.. Saat ini, sedang berhenti tepat di depan pintu.

Hening...

Hanif merasa kamar ini terasa begitu hening, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.

Sendirian, tapi Hanif merasa ada banyak sekali sesuatu sedang mengerubungi dirinya, hanya saja gadis kecil itu tidak tahu apa-apa, karena ia hanya terpaku pada satu pintu.

Pelan-pelan gadis kecil ini mulai berjalan mendekatinya. Langkah kakinya ragu-ragu, namun tertutupi oleh rasa penasaran bahwa apa yang baru saja ia dengar adalah suara langkah kaki milik ibunya.

Sesaat, ia bisa merasakan bagian di tengkuknya meremang. Telapak tangan terasa dingin.

Tangannya terulur menyentuh handle pintu, lalu menariknya perlahan- lahan.

Tapi...

Rupanya, tak ada seorangpun yang berdiri di sana. Hanif berhenti

sebentar, menunggu detak jantungnya yang berdebar kencang kembali normal.

Sebelum,...

"Prak" suara dari panci jatuh terdengar dari arah dapur.

Seketika Hanif langsung menoleh tepat ke lorong arah dapur. Sebelum Hanif tercekat karena tepat di depan wajanya, di samping sisi pintu yang tak bisa di lihat, seorang nenek mengenakan kebaya dengan sewek. Ia membungkuk atau lebih tepatnya memang bungkuk sedang melihat Hanif,..

Beliau tersenyum, senyum yang sama seperti wanita tua kebanyakan tunjukan. Dengan kulit keriput dan rambut panjang dibiarkan tergerai, hanya saja Hanif tak bisa merasakan tubuhnya sesaat ketika melihatnya, sebelum perlahan-lahan pandangan matanya lenyap.

la hanya ingat, gigi si nenek tua memiliki satu taring.

Bapak duduk disamping, sedangkan ibuk berdiri menggendong Isti, mereka semua sedang menatap dengan sorot wajah yang sama, khawatir.

Tak lama setelahnya bapak meraih segelas air dari meja meminumkannya pada Hanif yang baru saja sadar.

Belum juga bertanya, tiba-tiba ibuk berbicara.

"Nduk kowe lapo turu nang pawon ijen?"

("Nak kamu ngapain tidur diatas tanah dapur sendirian?")

Hanif tak menjawab, ia hanya terbayang-bayang wajah nenek tua itu, seperti ingin berbicara dengan dirinya namun Hanif tak tahu

setelahnya.

Diberondong pertanyaan itu Hanif seperti tak bisa menjawab, bibirnya keluh entah karena apa.

Bbapak akhirnya berkata biar Hanif istirahat saja dulu, lelaki itu menggendong Hanif ke kamarnya. Setelah meletakkan tubuh gadis kecil itu di atas kasur, bapak dan ibuk pergi.

Tak lama Isti, adiknya, bergabung bersamanya. Hanif hanya diam melihat ke langit-langit rumah saat adiknya kemudian berkata,

"Mbak, maksude opo?,.. Kowe kok ngomong onok mas Edi, onok mas Edi?"

("Mbak, maksudnya apa?,.. Kamu kok bilang ada mas Edi, ada mas Edi?")

Hanif yang mendengar itu lalu duduk melihat kearah adiknya.

"Mbak ngomong ngunu?"

("Mbak bilang begitu?")

Isti mengangguk.

"Gak mok iku,.. Mbak yo ngomong jare onok bu De melbu gendong anak'e, riwa-riwi nang ngarep kamar"

("Tidak Cuma itu,.. Mbak juga ngomong katanya ada bu De datang

gendong anaknya, hilir mudik di depan kamar")

"Teros, bapak eroh?"

("Lalu, bapak tau?")

Isti yang menatap Hanif, menggeleng.


Siang selepas dzuhur, Hanif baru saja menjajakkan kaki masuk ke rumah saat melihat seseorang yang familiar tengah duduk di ruang tengah.

la ditemani oleh bapak dan ibuk...

Saat melihat Hanif, bibirnya tersenyum tersungging..

Untuk apa, ibu mas Edi datang ke rumah ini?.

"Mas mu wes keblubuk jeru,.. Bojo'ne gak segan nyilokoi wong biasa,.. Tapi di delok disek yo, nek ancen wes ngerutuh, njenengan budal nang N**W*"

("Kakakmu sudah masuk terlalu dalam,.. Isterinya gak sungkan buat mencelakai orang biasa,... Tapi dilihat dulu ya, bila memang sudah gak bisa dibendung, kalian berangkat ke N**W*")

Hanif hanya mendengar sesaat ketika ia berjalan melewati mereka, ia mengisyaratkan bahwa ibunda mas Edi sedang melakukan sesuatu di rumah ini.

Ada yang salah di sini...

Hanif bisa mencium aroma bebauan yang sama sekali tidak menyenangkan, tercium languh dan membuat Hanif terbatuk-batuk...

Belum ia bertanya aroma apa yang ia cium, Hanif melihat sesuatu di meja kamar,..

Setempeh besar dengan bebungaan di payung dalam mangkuk daun pisang, di sekitarnya ada bakun tanah liat mengepulkan asap. Rupanya, aroma itu berasal dari sana, tak salah lagi ini adalah kemenyan.

Untuk apa, seseorang meletakkan ini di tempat ini?.

Tak hanya itu, Hanif tertuju pada sesuatu di dalam lingkup tempeh, tempat sebutir telur.

Hanif berniat menyentuh telur yang berwarna putih kepucatan itu, namun bapak yang melihat itu segera menghentikannya.

Bapak menjelaskan bahwa ini adalah karoh yang di tinggalkan oleh ibu mas edi. Saat Hanif meminta penjelasan lebih untuk apa benda seperti ini ada di sini, bapak hanya mengatakan bahwa hal ini untuk menghindari balak.


Hanif tak percaya sebenarnya, namun tak ada yang bisa dia lakukan.

Menjelang sore, Hanif sekarang tahu tak hanya kamarnya saja namun di beberapa titik ternyata banyak sekali benda yang sama ditemukan, salah satunya di kamar mandi.

Waktu Malam akhirnya tiba...

Seperti biasa,.. Setelah belajar bersama ibuk, Hanif dan Isti berniat untuk tidur. Belum beberapa menit Hanif tertuju pada tempeh yang terlihat seperti sesajen itu, di dalam hatinya masih bertanya-tanya untuk apa benda seperti ini?.

Tak lama Hanif menyadari Isti, adiknya sudah terlelap nyenyak di dalam tidurnya. Hanif seorang diri berjaga di keheningan malam yang semakin lama semakin sunyi senyap.

Saat itulah, Hanif mendengar lagi untuk kesekian kalinya, di luar kamar terdengar suara ketika seseorang melintas.

Hanif yakin bila bapak dan ibuk tak akan melakukan hal itu, lalu sejak kapan rumah ini terasa seperti ini?...

Seperti ada sesuatu yang ingin menunjukkan diri atau sekedar memberi tahu akan sesuatu. Firasat Hanif sebenarnya tak enak karena bila dipikirkan semua bermula setelah pak De dan bu De pergi dari rumah ini.

Satu persatu kejadian ganjil seperti hilir mudik mengelilingi kediaman yang tak terlalu besar ini. Di atas tanah warisan turun temurun keluarga Hanif ini seperti ada sesuatu yang terusik dan akhirnya mulai mengusik Hanif sekeluarga.

Hanif tak berusaha untuk mencari tahu, ia memilih meringkuk di sudut kasur kapuk miliknya. Membelakangi pintu berharap siapapun yang hilir mudik pergi dengan sendirinya.

Lalu, suara pintu di buka tiba-tiba terdengar.

Gadis itu meringkuk semakin takut, ia tak mau menoleh.

Tak mau menoleh, nyatanya siapapun itu tak mau pergi.

la justru mendekat, karena suara langkah kakinya terdengar mengambang memenuhi seisi kamar,..

Tap,.. Tap,.. Tap,..

Hanif terus menekuk badannya, menenggelemkan wajahnya di sisi bantal.


Lalu, sentuhan di kulit kakinya terasa.

Bagai tersengat listrik, gadis itu mengejang. la nyaris berteriak sebelum menoleh, mengerjap, berusaha menangkap siapapun yang baru saja menyentuh kulit kakinya.

Namun Hanif terhenyak sesaat karena tak mendapati siapapun ada di dalam kamar ini, kecuali dirinya dengan Isti. Adiknya...

Terdiam membeku untuk sesaat, Hanif melihat kesana kemari... Menyapu seluruh bagian kamar, tak ada apapun di dalam sini kecuali pintu kamar yang sedikit terbuka. Di sampingnya bayangan asap dari kemenyan yang dibakar di atas meja terasa mulai menganggu, Hanif ingin sekali menyingkirkan benda itu, sehingga tanpa sadar satu kakinya melangkah turun.

Saat disitulah, Hanif merasakan sesuatu di kakinya. Sesuatu yang terasa dingin dan berkecipuk. Gadis kecil itu, termenung mematung sebelum menoleh kebawah.

Awalnya hanya setetes yang terasa, semakin dilihat semakin membasah di sisi ujung ranjang. Hanif yang merasa bingung mengikuti sejejak tetesan yang mengarah kebawah ranjang, gadis itu menunduk namun tak melihat apapun di sana kecuali gelap di bagian bawah ranjang.

Sampai, bau tak sedap mulai tercium....

Saat itulah gadis itu menoleh kebelakang tempat dimana ia melihat dua kaki sejajar berdiri entah sajak kapan, ia mengenakan celana hitam yang familiar. Hanif tak bicara hanya diam mengikuti rasa penasarannya, siapa pemilik dari kaki ini?

Gadis itu mengadah...

Tempat ia melihat seorang mengenakan jaket kulit biru tua bersimbah darah dengan wajah hancur lebur, hanya darah yang keluar dari sisi bagian yang membuat gadis itu syok luar biasa... Mas Edi datang lagi ke rumah ini.

Hanif tidak ingat apa yang terjadi setelahnya...

la hanya tahu bahwa ia ada diatas kasur kepuk miliknya, memegang bagian badannya dengan kedua tangan. Menggigil ditemani ibuk yang tak berhenti memeriksa keningnya, saat itulah ibu mas Edi datang masuk mendekat kearah Hanif.

Wanita tua itu melakukan hal yang sama... Menyentuh kening Hanif lalu berjalan pergi sebelum kembali dengan segelas air, meminta Hanif untuk meminumnya.

Setelahnya baru ia menuju ke tempat tempeh itu berada, mengambil sebutir telur itu lalu membawanya, mendekat ketempat ibuk berada.

Di atas sebuah piring kosong ibunda mas Edi memecahkan telur tersebut dan di sana ibuk dan Hanif bisa melihat, segumpal darah kental berwarna merah kehitaman keluar. Aromanya busuk seperti anak ayam yang gagal hidup.

Ibuk memalingkan wajah, tak mau melihat hal ini.

"Mek gur gok kamar kosong iku ambek ing kene sing onok bangke kutuk iki,.. Sak iki bojomu mbek awakmu percoyo, nek omahmu iki wes darurat?"

("Hanya di kamar kosong itu dan kamar ini bangkai anak ayam ini keluar dari telur,.. Sekarang suamimu dan kamu sendiri percaya kalau rumahmu ini sudah dalam kondidi celaka?")

Ibunda mas Edi mengatakan itu sembari melihat Hanif, melotot.

Ibuk melangkah keluar setelah mengatakan akan membujuk bapak. Saat ibuk sudah pergi, Hanif melihat dengan mata kepala sendiri ibunda mas Edi menelan segumpal darah kental itu kedalam mulut.

"Bu De-mu opo ra seneng karo kowe nok?,.. Kenek opo kok kowe sing teros di tek'ke?"

("Ada apa dengan bude-mu nak (perempuan), bu De-mu apa tidak suka sama kamu?... Kenapa kok kamu terus yang dikasih unjuk?")

Hanif tak menjawab, ia bingung dengan apa yang terjadi,..

Keesokan paginya, bapak dan ibuk bersiap pergi setelah meminjam mobil dari teman bapak untuk pergi ke suatu tempat dimana ibunda mas Edi ikut. Sementara Hanif dan Isti melihat kepergian mobil dari balik jendela. Bu lek yang dimintai tolong untuk menjaga Hanif tiba di rumah,..

Namun, belum ada sehari, kabar itu datang.

Kabar bahwa mobil yang dikendarai bapak dan ibuk tergilas dalam sebuah kecelakaan mobil dengan mobil.

Hanya bapak yang selamat, namun hanya untuk beberapa jam saja sebelum menyusul yang lain. Saat itulah, rumah duka Hanif kedatangan

tamu.

Pak De dan bu De datang berkunjung.

Langit sudah berwarna kemerahan pertanda SOROP akan datang. Hanif duduk di meja belajar melihat Isti yang mengangguk gemetar, mereka berdiri dari tempatnya lalu berjalan menuju ke tempat itu.

Kamar bapak ibuk, sekarang adalah tempat mereka berkumpul untuk bersantap makan.

Tak terasa sudah 3 tahun sejak kematian bapak dan ibuk,...

Kini Hanif duduk disamping Isti, sementara tepat di hadapannya, bu De sedang melihat mereka, tersenyum seperti biasa. Di atas meja tersaji makanan yang berlimpah ruah, hanya pak De yang tak ada di sini..

Semenjak kematian bapak ibuk, pak De menawarkan diri pada bu Lek. Pak De bersedia sebagai wali dengan ganti menempati rumah ini. Hal yang sama sekali tak ditolak oleh bu Lek karena ia tak tahu permasalahan yang terjadi antara bapak dengan pak De dulu..

Ketidakhadiran pak De di meja makan bukan sekali ini saja, namun setiap hari sejak beberapa tahun yang lalu, alasannya karena...

Hanif meletakkan sendok,.. la selesai, lalu berjalan kembali ke kamar seorang diri sebelum berhenti di muka pintu, Hanif menoleh melihat pintu kamar pak De..

Melihat tak ada satupun orang di lorong, Hanif melangkah ke pintu kamar pak De. Disana ia menunduk mengintip apakah dia masih

melakukan hal yang sama,..

Rupanya, pak De masih melakukannya, menyantap makanannya tanpa menggunakan kedua tangannya dengan posisi tubuh telanjang..

Hanif terdiam, ia sudah lama tahu hal ini,.. Salah satu bagian dimana semua ini dimulai...

Awal dari salah satu ritual memulai dan menjalankan tradisi puasa SOROP yang dilakukan pak De dan Bu De selama ini...

"SOROP iku isok gowo balak bencono.."

("SOROP itu bisa membawa bencana..")

Hanif melihat Pak De di balik pintu yang terbuka, ia mengatakannya,

"Pak De muleh yo sinom"

(Pak De pulang ya Sinom") ucapnya dengan kapas yang masih terpasang di lubang hidungnya.


"Pak De tidak bisa mati, ada tanggungan yang belum selesai di dunia,.. Hal ini menyangkut antara saya, rumah ini dan dosa bapak ibu saya kepada bu De"

Saya melihat narasumber,..

Cerita yang satu tahun lalu belum selesai saya tulis, akan di mulai di titik ini,...


Ketika petang menjelang,..... dia kembali pulang......

Malam itu jauh lebih dingin dari malam sebelum-sebelumnya.

Hal itu yang sudah Hanif rasakan sejak sorop tadi bersama dengan Isti, adiknya. Tak beberapa lama saat dua kakak beradik itu melangkahkan kaki naik keatas dipan tempat tidur, setelah merasa yakin sudah mengunci seluruh pintu dan jendela di dalam rumah.

Mereka bersiap-siap melepas penat untuk beritirahat di dalam kamar, saat mendadak aroma anyir dari bebauan daging busuk tercium sekelebat lewat, yang membuat Hanif dan Isti berpandang-pandangan. Dalam kesunyian yang menguji itu, tak lama tiba-tiba terdengar suara jendela seperti dibanting.

Hanif dan Isti masih berpandangan dalam diam, mereka merasa aneh dengan kejadian ini. Bagaimana mungkin jendela yang sudah jelas-jelas ia kunci rapat, bisa terbuka lebar karena angin.

Hanif melangkah turun...

Melangkah, mendekat ke jendela sembari wajahnya melihat kepemandangan yang ada di luar rumah. Gelap,.... Tak ada siapapun di sana kecuali pohon pisang dan batang-batang singkong, sebelum tiba- tiba pintu kamar yang ada di belakang mereka terbuka dengan sendirinya, pelan.

Hanif dan Isti sontak melihat kearah pintu yang terbuka dengan sendirinya,...

Pintu terbuka pelan-pelan sekali, membuat kakak beradik itu seperti patung.

Ketika mereka terjebak di dalam keheningan ruangan yang tiba-tiba terasa anyep (hambar), Hanif melihat sosok hitam berjalan masuk ke kamar mereka.

Hanif bergerak mendekati Isti, adiknya, yang juga terpaku sama seperti dirinya,... la langsung memeluknya, merasakan tubuhnya gemetar hebat saat sosok hitam itu perlahan-lahan menampakkan wujudnya. Kulit kurus kering dengan perut sedikit buncit, garis wajah hingga batok kepalanya...

Sosok itu, tak lain dan tak bukan adalah pak De...

Pak De mereka yang belum lama dikebumikan,...

la datang dengan wujud yang sama seperti saat terakhir mereka melihatnya, pak De dengan kapas terpasang di hidung dan telinganya. la berjalan terlunta-lunta telanjang,... Ia berkata,


"Sinom"

Seperti menyeruak keluar dari tanah kubur,... Pak De datang menanggalkan kafan yang terpasang pada dirinya, berujar dalam suara yang tak begitu jelas, berkata bahwa ia pulang, ia rindu dengan keponakan-keponakannya.

"Pak De muleh Sinom, pak De muleh"

("Pak De pulang Sinom, pak De pulang")

***

Malam itu adalah malam tersinting....

Saya duduk untuk menyesap segelas air putih sembari mendengar beliau. Ada banyak pertanyaan di kepala saya, mulai dari apakah yang datang benar-benar pak De mereka dan apa hubungannya dengan dosa orang tua ygan sebelumnya disebut,...?

Hanif melihat kearah saya,... Kemudian berdiri, mengajak ke salah satu kamar tepat di samping lorong. Saat pintu yang digembok itu dibuka oleh mbah Hanif, saat itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala saya tak lagi ada.

Mbak Hanif kembali menutup pintu lalu menceritakan apa yang terjadi saat malam kedatangan pak De mereka.

***

Hanif dan Isti seperti tersirep tak bisa berteriak meminta tolong apalagi berlari pergi. Wajah lelaki itu sayu dengan warna kulit kekuningan pucat. Mereka tersudut di ujung dipan terpisahkan dengan tirai, saat makhluk penyerupa itu duduk lalu merintih seperti orang pesakitan.

Dari pintu kamar yang sudah terbuka, Hanif dan Isti bisa melihat lalu lalang ramai sesuatu melewatinya termasuk sosok nenek tua berpunggung bungkuk.

Mereka seperti terang-terangan menunjukkan eksistensinya. Termasuk wanita bergaun putih yang biasa duduk di ruang tengah pun hadir.

Kehadiran pak De yang ganjil seperti menyemarakkan kehadiran mereka semua yang menghuni dalam rumah.

Dalam detak jantung yang berdebar kencang itulah, sosok Pak De menoleh melihat ke mata Hanif dan Isti,...

la seperti ingin berbicara dengan gigi yang sudah menguning.... Air liurnya menetes,... Tangannya yang dingin membelai kulit pipi mereka,...


Dalam ketakutan yang tak tertahankan Hanif hanya bisa mendengar pak De menyebut-nyebut nama bu De,... Pak De tidak pernah

memanggil bu De dengan nama itu, namun entah kenapa ia seperti ingin menyampaikan sesuatu...

Awal dari semua ini,...

Setelah dirasa selesai menyampaikan semua, sosok yang ada di hadapan Hanif dan Isti terduduk bertekuk lutut di lantai menarik-narik rambutnya sembari mencoba berdiri. Apa yang ia lakukan persis seperti kebiasaan pak De dulu saat dalam kondisi cemas,...

la meninggalkan kamar,...

Berjalan menuju tempatnya biasa menghabiskan waktu sendiri, kamar yang dilarang.

Hanif dan Isti gemetar tak bisa tidur bahkan saat pagi datang menjelang,

Pagi-pagi buta, Hanif menuju rumah pak Haji menyampaikan apa yang ia lihat.... Sesuatu yang membuat lelaki tua itu sedikit tak percaya.

Bersama dengan warga yang dikumpulkan, semua bergerak menuju makam desa.

Mereka membongkar makam itu saat matahari belum muncul, tepat saat kayu-kayu di dalam makam di singkirkan, pak Haji dan Hanif bisa melihat pak De didalam sana, membiru dengan kain kafan masih terpasang...

Setelah kejadian itu,... Hanif merasa bahwa ia tak sekalipun berbohong, sosok yang ia lihat datang dan saat ini menetap di dalam kamar adalah beliau yang sekarang terbujur kaku di dalam tanah itu.

Pak Haji hanya sesekali menepuk bahu Hanif, ia meminta perempuan ini lebih sabar.

Hanif melangkah pulang, tak dilihatnya Isti dimanapun di dalam rumah ini,... Saat Hanif berjalan melewati pintu kamar pak De, ia mendengar sosok itu sedang bersenandung seperti dulu saat ia masih hidup. Pak De gemar bersenandung di depan burung-burung peliharaannya..

Hanif memilih untuk menjauhi kamar kosong itu....

Hal ini terus terjadi,... Setiap malam hari, ia akan mendengar atau

melihat Pak De lalu lalang keluar masuk kamar miliknya, meski sudah di kunci atau di jarik dengan gembok, sosok ini juga membuat Isti tak betah ada di rumah.


la sudah meminta tolong sanak saudara namun mereka seperti tak ingin terlibat meski ditutupi dengan kalimat bahwa Hanif dan Isti sedang banyak pikiran. Saudara saja tak mau membantu apalagi tetangga rumah.

Setiap adzhan berkumandang semua pintu rumah tiba-tiba saja tertutup rapat seolah-olah menjadi rahasia umum bahwa rumah Hanif sedang didayohi oleh sosok tamu yang tak mau mati.

Kini dua kakak beradik itu perlahan-lahan mulai menerima takdirnya,...

Saat Sorop menjelang, gelap mulai menampakkan diikuti hujan angin,... Hanif baru saja sampai rumah selepas kerja ikut saudara, namun ada yang aneh pada rumahnya.

Sore ini, lampu belum juga dinyalakan,... Perlahan-lahan dengan pertanyaan didalam benak, Hanif melangkah masuk seorang diri, saat ia mendapati surat di atas meja bahwa Isti tak akan pulang malam ini, ia akan menginap di rumah teman.

Hanif menutup pintu rumah, berjalan menuju lorong rumah,... Matanya menatap sekilas kamar kosong itu sebelum bergegas menuju ke dapur.

Saat di dapur itu ia teringat dengan sosok bu De,... la pernah dipukuli, dijambak sampai dirajam dengan butir beras,... Di tempat ini lalu apa hubungannya?

Apa hubungannya dengan semua ini,...??!!!

Bu De seringkali puas, ia tak pernah menyentuh nasi yang ada di meja makan saat mereka dulu terpaksa tinggal bersama, begitupun juga dengan Pak De,... Setiap tangannya menyentuh makanan yang tersaji, wajah bu De akan menunjukkan raut marah yang membuat lelaki itu menciut sebelum kembali ke kamarnya.

Hanif melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar orang tuanya dulu, ia menyibak kain-kain yang tersemat di lemari-lemari tua, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa mencerahkanya.

la pindahkan benda-benda usang itu, membongkar satu persatu perabotan berdebu....

la ingat pernah mendengar bahwa pak De telat menikah,... la menikah saat usianya sudah menginjak 59 tahun, ia bertemu bu De saat sedang mengantar barang ekspedisi.


Bila dipikir-pikir lagi, tak ada yang tau siapa sebenarnya bu De,...

Saat mengubrak abrik satu persatu barang peninggalan orang tua, Hanif mendengar langkah kaki di belakangnya, lewat sekelebat saja,... Hanif menghentikan sejenak aktifitasnya memandang kesekeliling, lalu kembali pada sisi lain lemari, bayangan-bayangan itu seperti sengaja lewat lagi.

Rumah ini sejak awal memang ganjil, tiba-tiba Hanif mengingat kata- kata itu....

Tak seharusnya sebuah rumah dibangun dengan satu lorong dapur ke ruang tamu dalam posisi lurus, lalu kecintaan bu De dengan rumah ini juga terasa ganjil ditambah hubungan dengan orang tuanya.

Saat itu Hanif menyadarinya, ia tahu bahwa semua ini memiliki hubungan dengan kalimat yang nyaris ia lupakan saat masih kecil dulu, "Poso Sorop"

Bu De melakukan puasa Sorop di rumah ini untuk seluruh keluarga Hanif,...

Tepat setelah menyadari itu, dibelakang Hanif ia melihat wanita tua yang selama ini menempati ruang dapur mengangguk sembari menyeringai, ia melangkah pergi meninggalkan Hanif seorang diri.

Hanif berdiri dari tempatnya lalu meninggalkan rumah ini, ia harus menemui bu Lek,...

Hujan turun kian deras dan Hanif menyadari bahwa ia tak bisa

menemui bu Lek malam ini, sontak ia berjalan menuju ke kamarnya. Saat itulah ia melihat kamar kosong itu dalam kondisi pintu terbuka. Hanif tak menggubrisnya, ia membuka pintu kamarnya dan disana ia melihat pak De.

Pak De sedang duduk dalam kondisi kepala tertunduk diatas dipan milik Hanif,... Rambutnya kian habis dengan menunjukkan garis kepala pucat keriput, tangannya semakin kurus dengan aroma bau bangkai yang menyengat dari tubuhnya, ia melihat kearah Hanif..

Hanif melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sosok itu terus menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah mengatakan sesuatu yang tak boleh Hanif lakukan,... Entah karena kedetakan mereka dulu, atau apa,... Hanif menutup pintu kembali, ia pergi ke rumah tetangga. Malam ini....


Sesuatu akan menyambangi rumah ini,... Tak hanya untuk hari ini, mungkin sampai seluruh keluarga Hanif habis. Pak De kesini tak hanya untuk menyampaikan peringatan, ia ingin mengingatkan siapa yang selama ini bermain,...

Esok Hanif akan mengakhirinya...



Gak ngerti lagi sama ini cerita Sorop, dari dulu sampai sekarang kok kaya kena sial Mulu,... Kadang kaya gak logis menghubungkan hal seperti ini,... Mulai dari sejak dua bulan, kaya saya mengalami psikis berantakan, trus orang terdekat saya baru saja pergi untuk selamanya...

Eh ternyata sepupu kecelakaan parah sampai sekarang sikapnya jadi seperti anak-anak.... Belum berhenti sampai disitu, pak Lek saya sekarang di rumah sakit sedang berjuang,... Rumah yang biasa hangat jadi dingin.... Ini semua bikin saya semakin gak karuan...

Kalau ada cerita yang akan selamanya saya benci mungkin cerita ini akan selamanya saya hujat,... Rasanya melanjutkan pun berat. Dahlah,... gak ngerti...

***

Siang itu, Hanif mengetuk pintu rumah seseorang.... Setelah tak beberapa lama, pintu akhirnya terbuka. Rupanya, itu adalah rumah milik bu Lek Hanif,...

Di sana perempuan paruh baya itu melihat Hanif dengan raut wajah terkejut, ada keraguan dan ketakutan di sela-sela garis wajahnya.

"Nduk onok opo, kok mrene?"

("Nak ada apa, kok kamu kesini?") tanya bu Lek kepada Hanif,

Tanpa basa-basi Hanif langsung melangkah masuk kedalam rumah,... Kemudian, ia langsung duduk di sofa yang terbuat dari bahan kayu jati, bu Lek masih memandang Hanif penasaran.

Bu Lek masih mencuri-curi pandang sembari berjalan mendekati Hanif, keponakannya.

"Bu Lek sak iki cerito, wonten nopo kaleh pak De, trus nang ndi bu De sak niki?"

("Bu Lek sekarang cerita semuanya, apa yang terjadi sebenarnya dengan pak De, lalu kemana bu De sekarang?")

Bu Lek masih menatap Hanif, ia masih tampak menimbang-nimbang apakah Hanif harus tahu akan hal ini, ia lalu berkata perlahan,

"Opo too, bu Lek juga ndak tau,... Yang jelas bu De mu pergi,

minggat. Tau-tau pak De mu sakaratul maut"

(""Apa toh, bu Lek juga tidak tau,... Yang jelas bu De mu pergi, Minggat. Tiba-tiba pak De mu sudah sakaratul maut")

Hanif masih tidak puas dengan jawaban bu Lek,


"Lek gak ngunu, duduono Hanif bu Lek, sopo asline bu De niku?" ("Kalau begitu, kasih tahu Hanif bu Lek, siapa sebenarnya bu De itu?")

Bu Lek tampak semakin tidak tenang, gestur tubuh dan wajahnya tidak nyaman. Beberapa kali ia menggigit bibir bawah seperti orang yang terdesak.

Namun Hanif tak mau berhenti, ia terus menerus mencerca bu Lek dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini memenuhi isi kepalanya.

Sampai akhirnya Hanif menunjukkan sesuatu kepada bu Lek,... Tepat di bagin pinggul ada luka hitam misterius yang muncul. Bu Lek tak bisa berkata apa-apa.

"Bapak Ibuk wes suwe mati, keluargane kene ajor sak ajor-ajore, trus..."

("Bapak dan Ibu sudah lama meninggal, keluarga kita juga sudah hancur sehancur-hancurnya, lalu,...) Hanif terdiam sejenak,

"Pak De ben sorop tekan teko kuburan, sambang ning omah,... Ngetok nang ngarep e Hanif ambek Isti,... Opo bu Lek ngerti kae?"

("Pak De setiap matahari sudah tenggelam selalu datang dari kuburan, datang ke rumah kita,... Lalu memperlihatkan wujudnya tepat dihadapan Hanif dan Isti, apa bu Lek tau itu?")

Bu Lek masih diam, ia terus menundukkan kepalanya.

Terjadi jeda diantara mereka,... Ruangan itu mendadak sunyi sampai akhirnya bu Lek berdiri lalu meninggalkan Hanif seorang diri masuk ke dalam kamar miliknya.

Tak Beberapa lama, la kembali dengan membawa selembar kertas yang dilipat. Bu Lek memberikan kertas itu kepada Hanif.

Bu Lek mengenggamkan kertas itu tepat dikepalan tangan Hanif sambil berujar lirih,

"Bapak Ibuk mu mbek pak De mu nduwe duso sing gede karo bu De mu, bu Lek dewe yo gak begitu ngerti ceritone,... Gur golekono jawabane dewe, nek ketemu, kabeh iki bakalan mari."

("Bapak Ibumu dan pak De mu punya dosa yang besar kepada bu De mu, bu Lek sendiri tidak begitu tau ceritanya,... Carilah jawabannya sendiri, kalau ketemu semua ini mungkin akan selesai")


"Wes yo nduk,... Bu Lek, mek isok ngomong iki, budalo mrunu ben awakmu eroh kabeh,... Ben awakmu eroh sopo bu De mu kae?"

("Sudah ya nak,... Bu Lek cuma bisa ngomong segini, berangkatlah kesana biar kamu tau semuanya,... Biar kamu tau siapa bu De mu yang sebenarnya?")

Tanpa membuang-buang waktu lagi, siang itu juga Hanif berangkat dengan bus antar kota.

Karena alamat pada selembar kertas yang diberikan oleh bu Lek merujuk pada suatu tempat yang cukup jauh dari tempat tinggal Hanif, ia harus tau awal dari semuanya.

Menyelesaikannya...

Dari dalam bus, hujan deras baru saja turun,... Hanif harus bergonta- ganti kendaraan juga untuk bisa sampai di sebuah desa yang sedikit berada jauh di pedalaman. Rumah-rumah masih banyak yang terbuat dari bahan kayu triplek atau gedek, jarak satu rumah ke rumah lain juga cukup jauh.

Sumur-sumur tua dengan pohon-pohon bambu menjadi pemandangan yang biasa,...

Hanif terus melangkah diatas tanah yang berlumpur,... Saat dirinya mendekati seorang yang tampak sedang membilas kaki dan tangan di dekat salah satu sumur, tanpa membuang-buang waktu Hanif bertanya kepada lelaki itu.

Saat Hanif menunjuk alamat di selembar kertas yang ia bawa, tiba-tiba lelaki itu memandang Hanif dengan wajah penuh selidik,... Namun, ia tetap menunjukkan sebuah jalan,...

Hanif mengikuti kata si lelaki, ia berjalan sejengkal demi sejengkal, menyusuri jalanan asing itu.

Entah kenapa sedari tadi Hanif merasakan firasat yang buruk,...

Sementara, hari sudah mulai gelap,... Namun, Hanif tak ingin berhenti sampai di sini, ia sudah berjalan jauh dan ia ingin tahu semuanya. Semua tentang apa yang terjadi dengan keluarganya.

Setelah mengikuti kata si lelaki, akhirnya Hanif menemukan apa yang ia cari,... Alamat dari isi di dalam kertas itu, rupanya adalah sebuah rumah besar dengan bangunan khas peninggalan belanda, halamannya sangat luas terlindung dari pagar besi yang sedikit berkarat.


Meski tampak seperti rumah tak berpenghuni, Hanif melihat tanaman- tanaman yang menghiasi rumah ini terawat dengan sangat baik, pohon- pohon rindang tumbuh di sekitarnya.

Meski ia ragu, akhirnya Hanif nekat mengetuk pagar besi berkarat itu dengan batu yang ia temukan.

Kepala seorang perempuan muncul dari sela pintu, ia melihat Hanif lebih seperti mengintip,

"Nyari siapa mbak?" tanya si perempuan ketus, usianya mungkin sepantaran dengan Hanif atau lebih muda sedikit.

Hanif berusaha bicara namun hujan perlahan turun lagi. Hanif menyebut bu De.

Setelah menyebut nama bu De, perempuan itu baru keluar,... Berlari kecil mendekati Hanif lalu membukakan pintu pagar sembari menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. Di sana Hanif melihat sekilas seseorang baru saja mengintip dirinya dari balik selambu putih di jendela salah satu kamar.

"Bener ini rumah bu De"

Belum menyebut nama tiba-tiba perempuan itu melotot, seolah tak mau mendengar nama itu,...

la mempersilahkan Hanif sebelum berjalan pergi meninggalkannya sendiri di ruang tengah dengan banyak foto tua hitam putih, saat itu Hanif hanya melihat-lihat, sebelum...

la menyadari sesuatu dengan rumah ini. Sesuatu yang sedikitnya membuat dirinya sendiri terkejut dibuatnya.

Rumah ini memanjang, dan dari ruang tengah Hanif bisa melihar lorong panjang nyaris sama persis dengan rumah miliknya.

Tak berselang lama, seorang wanita tua menggandeng tangan seorang lelaki yang menutupi kepalanya dengan kain sorban melangkah keluar,... Bola matanya putih seperti tunanetra, tangannya ringkih menggenggam tongkat kayu, mereka duduk memandang Hanif dengan sorot mata dingin.

"Jenengan cari siapa?"

("Kamu mau cari siapa?") kata si wanita tua lebih dulu,

Hanif terpaku memandang si lelaki yang menatap kosong tembok di hadapannya,...

Hanif tersadar oleh pertanyaan itu lalu mulai menceritakan semua, mulai dari kematian orang tuanya hingga kedatangan pak De, wanita itu mendengarkan dengan seksama,...

Sebelum Hanif menyebut nama bu De dan sesuatu terjadi pada si lelaki tua.... la mengangkat kepalanya lalu menoleh pelan sekali menatap Hanif seolah-olah dia bisa melihat dirinya.

"Bu De sing mok sebut iku anakku nduk"

("Nama yang kamu sebut bu De itu adalah nama anakku, nak")

Hanif terkejut saat mendengarnya, bu Lek tak mengatakan hal ini sebelumnya,... la hanya menyuruh Hanif datang ke tempat ini dan mencari tahu siapa bu De itu,...

Disini ia akan menemukan jawaban yang ia cari.

Namun Hanif masih terlihat bingung, sebenarnya untuk apa ia disini.


Wanita tua itu meminta Hanif menceritakan kembali semuanya, Hanif

tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan sampai akhirnya Hanif teringat sesuatu,...

"SOROP" dan Hanif bisa melihat tangan si lelaki tua gemetar hebat mengenggam tongkatnya, si wanita tua berusaha menenangkannya. Lelaki tua yang sebelumnya dibantu oleh tongkat untuk berjalan itu tiba-tiba bisa berdiri seperti orang normal, sementara isterinya terus menenangkan dirinya,

"Sabar pak, sabar"

"Melok aku nduk"

("Ikut aku nak") kata si lelaki tua, suaranya lebih dingin dari sebelumnya, Hanif merinding melihatnya.

Dari balik tirai, perempuan yang membukakan pagar tengah mengintip, wajahnya terlihat cemas, entah apa yang terjadi sebenarnya di sini Hanif tak bisa menafsirkan keadaan di dalam rumah ini apalagi di luar sebentar lagi Sorop akan tiba.

Badan tiba-tiba gemetar, angin dingin merasuk kedalam sukma paling dalam saat Hanif berjalan mengikuti dua sosok manusia asing yang baru dia kenal sedang berjalan perlahan-perlahan masuk semakin jauh ke dalam lorong rumah tua itu. Suasananya lembab, tercium aroma tak menyenangkan.

Semakin ke dalam, rumah itu terasa semakin lembab, dan seperti rumah Hanif, rumah itu benar-benar memanjang dengan ubin semen dan pintu-pintu kamar yang berwarna gelap,... Beberapa sudut di genangi oleh air yang seolah-olah dibiarkan begitu saja.

Hanif ragu, ia ingin bertanya kemana dia akan di bawa namun bibirnya keluh hanya bisa mengekor sembari mendengar gema suara langkah kaki mereka saat sedang berjalan. Pelan-pelan, dari jendela-jendela di kanan kiri kamar, Hanif seperti melihat sosok yang ia kenal, terasa familiar.

Bayangan itu semakin banyak, mulai dari sosok jangkung berdiri disamping jendela, melotot melihat Hanif yang membuang wajah, ia menunduk, dingin. Dingin, sekali.

"Gak usah dipekso ndelok nduk, wes ngadep ngarep wae"

("Tidak usah dipaksa melihatnak, sudah lihat kedepan saja")

Setelah lama berjalan, sampailah Hanif di depan sebuah pintu cokelat yang diukir dengan motif batik jawa tengah,... Ukirannya indah, kokoh terbuat dari bahan kayu jati,...

Namun, yang membuat Hanif merasa aneh ialah, di kiri kanan pintu terdapat bambu kuning yang diikat dengan sulur dari daun kelor, melingkar mengikuti tiang pintu penyangga.

Si wanita tua meragoh kantung bajunya, sementara si lelaki tua hanya berdiri, memandang kosong kearah pintu,...

Saat segelincing kunci perak kusam itu menyentuh lubang dan membuka pintu besar itu, Hanif mendengarnya.

Suara seorang wanita yang tengah menangis. Suaranya familiar, suara yang sudah lama tidak ia dengar, suara orang yang ia kenal.

Suara bu De...

Hanif berjalan mendekat, melewati dua orang tua itu yang masih berdiri memberi ruang untuk Hanif,... Di sana, Hanif melihatnya dengan mata kepala sendiri, bu De tengah duduk di atas ubin dengan kaki dipasung, sementara dua tangannya terentang diikat oleh seutas tali tampar.

Banyak pertanyaan muncul di dalam kepalanya, apa yang terjadi dan kenapa bu De seperti ini.

Suara tangisan bu De terdengar menggema di dalam ruangan yang tak terlalu besar ini, tak ada cahaya disini, hanya bau pesing lembab yang bisa Hanif cium di dalam lingkup ruang yang sempit ini.

Bu De menunduk, terus menerus menangis,... Saat itu entah kenapa Hanif merasa iba melihatnya,... Sebelum, tiba-tiba wanita tua itu menarik Hanif keluar dari kamar dan ketika Hanif melihat bu De lagi, ia melihat wanita yang menangis itu tersenyum menyeringai dengan gigi penuh darah sendiri.

Saat itu, lelaki tua itu berjalan masuk,... la menunduk sebelum menghantamkan tongkat yang ia bawa tepat di tengkorak bu De,...

Hanif termangu, mematung diam sementara wanita tua yang memeganginya memalingkan muka,... Suara gemertak saat tongkat menghantam terdengar, anehnya,... Bu De tertawa..

"Gak cukup keluargamu mok persoro, sak ikikeluarga e wong liyo mok seret, sampe kapan bapak nyadarno awakmu sing wes matigak isok muleh, bapak gak bakal gelem mati sampe kowe sadar nduk ku"


("Tidak cukupkah keluargamu, kamu buat sengsara. Sekarang ini keluarganya orang lain kamu libatkan. Sampai kapan bapak harus menyadarkan kamu kalau yang sudah mati tidak bisa kembali,... Bapak tidak akan mau mati sampai kamu sadar sendiri anakku")

Hantaman terus terdengar, darah mengalir dari kening mengalir ke mulut, bu De menikmati...

Hanif hanya diam, ia tidak tahu apa yang baru saja terjadi, semua begitu cepat,... Suara tongkat jatuh dan tangisan dari si lelaki tua yang menutupi wajahnya membuat Hanif seperti orang bodoh, ia tidak mengerti sama sekali.

Malam sudah tiba,... Hanif duduk di atas kursi di ruang tengah di hadapannya orang tua bu De tengah diam melihat Hanif dengan rasa iba, ia lalu mengatakan semua, siapa bu De nya saat ini dan alasan kenapa semua ini terjadi..

"Sak durunge ketemu ambek pak De mu, bu De wes tau nduwe bojo,... Tapi, sayange nasib e elek, bar setahun rabi, bojone sedo"

("Sebelum bertemu pak De mu, sebenarnya bu De sudah pernah memiliki suami,.. Tapi sayangnya nasibnya sangat jelek, baru menikah setahun suaminya sudah tidak ada")

"Tapi sak durunge bu De mu jek ngarepno bojone sing mbiyen,... Mergo iku, bu de mu ngelakoni poso Sorop"

("Tapi sebelum itu, sebenarnya bu De mu masih mengharapkan suaminya yang dulu,... Karena itu, dia menjalani puasa Sorop tanpa sepengetahuan kami")

"Poso iki soro, biyen sering dilakoni jaman penjajahan kangge nahan kangen nang bojo sing mati disiki, tapi nek di lakoni terus terusan, utek menungso isok gendeng, ilang sak ilange"

("Puasa ini sulit sekali,... Dulu dilakukan jaman penjajahan untuk membuang kangen sama suami atau isteri yang sudah meninggal lebih dulu, tapibila dilakukan terus menerus, isi kepala manusia tidak sanggup menahannya, bisagila, hilang selama-lamanya")

Hanif terdiam melihat lorong panjang rumah itu, begitu gelap, begitu mengancam.

"Poso SOROP?"

("Puasa SOROP?") tanya Hanif.

Lelaki tua itu mengangguk.


"Poso sing dilakoni gur ra mangan ra ngombe, yen SOROP teko, tanah kuburan iku sing dadi ganjel wetenge"

("Puasa yang dijalani untuk tidak makan dan minum, ketika Sorop datang... Tanah kuburan itu yang jadi pengganjal perutnya")

"Tapi bu De mu ketagihan, mulai iku, kejiawaane terganggu,... Bu De mulai melaku nang siji kuburan nang kuburan liane, kanggo mangan lemahe,... Gur iku sing nduwe kuburan tekan merene ben Sorop teko. Sing mok delok nang kamar-kamar kosong kui, iku qorin e sing nduwe kuburan!!"

("Tapi bu De mu ketagihan,... Mulai saat itu, kejiawaannya terganggu,... Bu De mulai berjalan dari satu kuburan ke kuburan lainnya, untuk makan tanahnya,... Itulah alasan kenapa setiap Sorop datang, mereka kesini mengisi kamar-kamar kosong itu, yang kamu lihat tadi adalah Qorin pemilik kuburan!!")

Lelaki tua itu sejenak melirik isterinya yang mengangguk seperti memberi ijin untuk mengatakan semuanya.

"Nduk,... Biyen, pak De mu bengi-bengi pas udan deres mrene"

("Nak,... Dulu, pak De mu malam-malam saat hujan deras datang kesini")

"Pak De mu diterke karo wong tuwomu gendong bayi"

("Pak De mu di antarkan sama orang tuamu gendong bayi")

"Jabang bayi sing jek abang, lahir soko rahim'e anakku, bu De mu dewe, tapi,..."

("Jabang bayi yang masih merah, lahir dari rahim anakku, bu De mu sendiri, tapi,...")

Lelaki tua itu melihat isterinya kembali,

"Sirah'e jabang bayi iku wujud e sapi"

("Kepala bayi merah itu berwujud sapi")

"Jabang bayi kui wes mati pas dilahirno,... Pak De mu jalok tolong iku di kubur nang omah iki, Tapi,... nang kene akeh Qorin'e bu De mu,... ben di kubur nang nggon liyoh bakal dadi rame, gur iku, jasad jabang bayi iku di kubur nang jero kamar omahmu"

("Jabang bayi itu sudah mati saat dilahirkan,... Pak De mu minta tolong agar jasadnya dikubur disini, tapi disini banyak Qorin bu de mu,... Bila di kubur di tempat lain akan menjadi ramai pembicaraan,... Akhirnya, sepakat, jasad itu di kubur di salah satu kamar di rumahmu")


"Bu De mu murka pas eroh opo sing dilakoni bapakmu, bapakmu ngehasut pak De nek sing metengi bu De iku ngunu Qorin-qorin sing ditekakne nang omahmu"

("Bu De mu marah besar saat tahu apa yang dilakukan oleh ayahmu, ia berkata kepada pak De mu bahwa yang menghamili bu De adalah jin yang datang ke rumahmu")

Lelaki tua itu sejenak tersenyum,

"Gak onok sing eroh cerito asline koyok opo, soale wong tuamo, pak De mu yo podo wes gak onok"

("Tidak ada yang tau cerita aslinya seperti apa, karena orang tuamu, pak De mu juga sudah gak ada)

"Tapi,..."

"Pak De mu ngelakoni poso Sorop pisan soale ati ne mulai percoyo nek cah sing mati iku mungkin anakke dewe sing cacat"

("Tapi pak De mu juga akhirnya menjalani puasa Sorop juga, karena hatinya mulai percaya bahwa bayi yang mati itu mungkin anaknya sendiri yang cacat")

Saya terdiam sejenak saat mendengar ceritanya,... Tentu banyak hal yang saya pikirkan saat itu,... Seperti yang saya katakan di cerita awal setahun yang lalu, cerita ini adalah aib besar yang mungkin sukar dipercaya, dan akhir cerita bagaimana?...

Kuburan bayi itu di bongkar,

Tulang belulang itu lalu disimpan di dalam kain kafan putih, diikat tali temali lalu diberikan kepada bu De,..

Konon saat itu diberikan, setiap malam di rumah orang tua bu De, Hanif pernah mendengar bu De tertawa begitu keras sambil bernyanyi lagu tidur untuk anaknya.


Sampai sekarang wanita itu masih hidup. Namun saya tak akan bertanya dimana beliau tinggal, bagi saya semua ini sudah cukup,...

Soal alasan kenapa orang tua Hanif terlibat saya harap kalian bisa menangkap pesan tersiratnya, saya pun malas menjelaskan. Haha....

Waow,.... Rasanya lega akhirnya saya bisa menyelesaikan cerita paling lama yang hampir memakan waktu satu tahun,...

Semua yang terjadi pada saya atau siapapun yang terlibat, kalian tidak akan percaya bila saya jabarkan satu-satu, namun biarlah cerita ini saya tutup sampai disini.

Mungkin akan saya hapus sewaktu-waktu.

Sampai jumpa lagi di cerita lain, saya mau istirahat dulu. Saya sudah mulai merasa mau muntah dari tadi....

Maaf cerita ini tidak bisa sempurna karena banyak yang saya sedikit potong dan kaburkan.

Terimakasih,.... Maturnuwun,.... Saya pamit.

TAMAT